Diberdayakan oleh Blogger.

HMI dan Arsip-Arsip yang Terbengkalai : Antara Jacky Chan dan HMI (Bag.3)

Jumat, 22 Februari 2019

Beberapa fungsionaris PB HMI 1963-1966 saat berpose bersama Bung Karno
di Istana Merdeka.

Mungkin pembaca sudah akrab dengan aktor komedi dari Hongkong yang terkenal karena aktingnya yang kocak saat bermain film. Ya. Jacky Chan. Aktor film satu ini memang tak suka menggunakan tenaga stuntman dalam beberapa adegan film yang dibuatnya. Beberapa film yang diperankan olehnya, sebagian sudah kutonton. Meski tak semuanya. Tulisan kali ini adalah bagian dari sebuah pelajaran yang penulis petik saat menonton salah satu filmnya yang pernah diputar di stasiun televisi swasta tanah air.

Di tahun 90-an, industri perfilman tanah air memang pernah digempur beberapa film yang berasal dari luar negeri. Terutama dari Hollywood, Hongkong dan Bollywood. Televisi swasta yang saat itu mulai tumbuh di Indonesia, seperti TPI, SCTV, RCTI, Indosiar dan Anteve, turut terkena ‘gelombang tsunami sungai Gangga’ ini. Merangseknya film impor ke tanah air ini mengundang keprihatinan pemerhati perfilman, Salim Said. Dalam sebuah diskusi perfilman nasional yang digelar oleh Anteve pada tahun 1996, Salim Said memprihatinkan kondisi perfilman tanah air yang merosot dan terjun bebas hingga membuat layar kaca di Indonesia didominasi film-film dari Hollywood, China, Amerika dan India (Republika, 12 Mei 1996,hal.3).

Bila kita memperhatikan perkembangan film impor di layar kaca, kita tentu masih ingat kegandrungan masyarakat Indonesia dengan beberapa telenovela dari negara Amerika Latin. Dari Maria Mercedes, Marimar, Rosalinda hingga Carita de Angel. Kesemuanya itu membuat masyarakat Indonesia, saat itu, menjadi demam telenovela. Belum selesai sembuh dari demam film Amerika Latin itu, film Bollywood dan Hongkong menyerbu masuk ke dalam dunia industri penyiaran di tanah air. Saat itu, film India pertama kali diputar oleh stasiun televisi swasta TPI. Langkah ini kemudian diikuti oleh televisi swasta lainnya. Sampai-sampai frekuensi pemutaran film Bollywood ini, untuk di TPI saja, sampai lima kali penyiaran setiap minggunya. Ini belum termasuk televisi swasta lainnya yang juga tak mau kalah menyiarkan film-film terbaru dari negeri asal Shah Rukh Khan itu. Intinya, saat itu, tiada hari tanpa film India!

Semua film, sejatinya menyimpan pesan yang ingin disampaikan pada penontonnya. Seburuk apapun film itu, ada pesan yang hendak diutarakan oleh pembuatnya. Termasuk film yang diperankan oleh Jacky Chan. Sekalipun dipenuhi adegan-adegan yang sangat kocak, tak jarang ada beberapa percakapan yang bila dipikirkan, mengandung makna yang sangat dalam. 

Ada satu perkataan Jacky Chan dalam film Drunken Master itu sangat menginspirasi bagiku. Perkataan itu diucapkannya saat adegan menjelang akhir. Adegan itu adalah saat Fei Hung (diperankan oleh Jacky Chan), bersama para pekerja tambang, menggagalkan penyelundupan batu-batu giok antik milik pemerintah Cina yang coba dibawa kabur oleh kedutaan Inggris. Dalam upaya penyelundupan itu, pihak kedutaan Inggris menyertakan beberapa centeng yang berasal dari masyarakat Cina sendiri. Sebagai centeng dari Cina, yang sama dan sebangsa dengan Fei Hung, maka Fei Hung menegurnya. Begini tegurannya :
“Apa kalian sadar apa yang kalian lakukan? Kalian menolong mereka, mencuri sejarah kita, kebudayaan kita,”.
Koran Republika, Jum'at 20 September 1995

Perkataan Fei Hung ini sangat mengena bagiku. Terutama setelah memahami alur film itu. Fei Hung atau Jacky Chan sepertinya ingin memberikan pelajaran secara tidak langsung tentang betapa berharganya sebuah barang yang memiliki nilai sejarah. Apalagi bila barang itu berkaitan dengan sejarah sebuah bangsa. Kehilangan barang yang memiliki nilai sejarah, nantinya akan mengakibatkan hilangnya sebuah bangsa. Bila sudah hilang, saat hendak mencari akar sejarah bangsanya, tentu akan mencari ke luar negeri atau ke manapun barang bukti sejarah itu berada.

Dari film Drunken Master itu, aku jadi memikirkan setiap hal yang berkaitan dengan hidupku. Apalagi bila hal-hal itu berkaitan dengan organisasi tempat aku dulu ditempa, HMI. Aku tak bisa diam, tak nyaman, dan tak tenang bila hal-hal yang berkaitan dengan HMI itu berupa potongan berita di koran, majalah, buku dan dokumentasi foto, dibiarkan begitu saja. Tak dirawat dan tak diperhatikan. Saya kuatir, itu semua akan  terbawa oleh angin sejarah. Tak tertulis. Tak tercatat. Tak tersimpan. Dan tak jadi apa-apa.

Meski pun sudah ada buku sejarah HMI yang ditulis oleh ayahanda Agus Salim Sitompul, tapi apakah semua kader HMI membaca buku itu secara tuntas? Apakah hanya berhenti di sana saja? Berhenti di ayahanda Agus Salim Sitompul saja? Tentu tidak bukan?

Ada banyak pula buku tentang HMI yang sudah ditulis oleh orang dalam HMI sendiri atau pun orang luar HMI. Penelitian-penelitian tentang HMI pun tak terhitung banyaknya. Baik itu berupa skripsi, tesis, jurnal bahkan hingga disertasi. Tulisan-tulisan opini tentang HMI di media cetak, jangan salah, sungguh luar biasa banyaknya. Tinggal kita mau melacaknya saja.  Problemnya adalah, apakah kita pernah memikirkan untuk mengumpulkan itu semua menjadi satu, kemudian merawatnya dan menjaganya untuk kepentingan organisasi?. Sungguh, jangan sepelekan hal ini!

Kita kadang merasa jumawa sebagai organisasi tertua dan terbesar di Indonesia, tapi senyatanya kita masih lemah dan keropos dalam hal pemahaman kita terhadap organisasi yang kita cintai ini. Rentang waktu yang begitu jauh antara kita dengan para pendiri dan pendahulu HMI, akan membuat pemahaman kita pada organisasi ini semakin tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh mereka saat mendirikan HMI. Lalu bagaimana agar kita bisa, setidaknya, mendekati maksud dan kehendak mereka saat dan dalam mendirikan HMI?

Tentu jawabnya adalah seperti yang dikatakan oleh Jacky Chan dalam film Drunken Master tadi di atas : menjaga bukti sejarah dan bukti kebudayaan organisasi kita!

Mungkin ada yang bertanya, dengan cara apa dan bagaimana?

Kalau saya sih berharap, sudah saatnya HMI atau KAHMI memiliki sebuah badan yang mengurusi segala hal yang berkaitan dengan arsip, dokumen, foto, buku, majalah yang berkaitan dengan HMI atau pun KAHMI. Sejak 1947 organisasi ini berjalan, tentu sudah banyak pendapat dari kalangan tokoh bangsa yang berbicara soal dan tentang HMI. Lacak dan kumpulkan semuanya itu dalam, entah apakah namanya, Badan Arsip HMI atau apalah. Badan Arsip HMI ini bisa juga disebut sebagai Perpustakaan HMI yang menyimpan segala hal tentang HMI. Entah itu hasil-hasil kongres, hasil Konfercab, hasil Musda, hasil Munas atau dokumen hasil dari rapat harian dan presidium. Simpan semuanya di sana.

Dan kalau bisa, Badan Arsip atau Perpustakaan HMI itu tidak berada di Sekretariat PB HMI.  Hal ini demi menjaga keamanan semua arsip dan dokumen yang ada itu untuk keberlangsungan organisasi di masa depan. Kalau ada di Sekretariat PB HMI, bisa-bisa dibakar oleh kader HMI yang kerap berlaku barbar karena tidak puas dengan keputusan rapat harian PB HMI!

Jakarta, 23 Februari 2019


HMI dan Arsip-Arsip yang Terbengkalai (Bag.2)

Rabu, 20 Februari 2019


Keterangan : Dari Kiri ke Kanan, Ny. Hartini Soekarno (meng-
gunakan peci HMI), Tuti Alawiyah (mahasiswi-anggota HMI),
Presiden Soekarno (menggunakan selempang dan lencana HMI)
Di Istana Bogor, 24 Desember 1965.
Hari itu, Senin 28 Januari 2019. Masih di tempat yang sama, di lantai 23 Perpusnas RI yang terletak di Jalan Medan Merdeka Selatan. Sejak jam 09.45 Wib, aku sudah tenggelam dalam majalah Hikmah milik Partai Masyumi. Membaca lembar demi lembar halaman yang ada pada majalah itu. Menandainya. Kemudian menuliskannya pada buku kecil yang selalu kubawa. Aku ambil kertas putih sebagai penanda halaman yang hendak difotocopy. Tak lupa pula aku memotret isi dari majalah itu yang dianggap penting.

Sekitar jam 14.09 Wib, kulihat Akril datang melalui pintu lift lalu menuju ke arahku. Kami bicara sebentar. Mendiskusikan isi dari majalah Hikmah yang sedang kubaca. Ia lalu menuju ke komputer untuk mencari bahan bacaan yang ada di lantai 23 itu. Sedang aku, kembali fokus pada bacaanku dan pencarianku. Sepintas kulihat Akril mengambil selembar kertas. Ia menulis pada lembaran kertas putih itu, kemudian diserahkannya pada petugas perpustakaan. Entah apa yang dikatakan oleh petugas itu, kulihat Akril langsung menuju lift. Aku tak tahu apakah ia mau naik ke lantai 24, lantai paling atas dari Perpusnas RI atau mau turun.

Sekira sepuluh menit, Akril datang lagi dan menunjukkan satu buah foto bergambar Soekarno sedang mengenakan selempang dan lencana HMI. Di sisi kanan Soekarno, ada Tuti Alawiyah, dan Ibu Hartini yang mengenakan peci HMI. Tertulis pada foto itu lokasi di mana foto itu diabadikan, Istana Bogor 24 Desember 1965. Sampai saat ini, aku belum tahu ada acara apa HMI pada tanggal itu di Istana Bogor. Nanti saja aku cari, begitu pikirku. Aku pun meminta kepada Akril untuk mengirimkan foto itu ke hapeku. Setelah dikirim, ia sibuk lagi di depan komputer pencarian. Entah apa lagi yang dicari.

Kulanjutkan lagi membaca tulisan Hamka, Tjemburu (Ghirah) pada majalah Hikmah No.27 Tahun VIII edisi 3 Juli 1954. Pada tulisan itu, keprihatinan Hamka sangat tampak saat melihat pergeseran budaya yang terjadi di tanah air. Kehormatan yang seharusnya dijaga, malah dibiarkan dirusak oleh tindakan dan perilaku kita sendiri. Hamka mencontohkan masuknya budaya Barat ke dalam kehidupan masyarakat Indonesia dalam tulisannya itu.

Tulisan Deliar Noer di Majalah Hikmah
4 Juni 1955
Hamka memulainya dengan sebuah peristiwa di Medan yang terjadi pada tahun 1928. Waktu itu, seorang pemuda melakukan aksi pembunuhan terhadap pemuda lainnya dikarenakan kehormatan adik perempuannya diganggu. Saat divonis 15 tahun penjara karena aksi pembunuhannya itu, pemuda sang pembunuh itu tak sedikit pun menunjukkan rasa penyesalan. Malahan ia tersenyum. Baginya, membela kehormatan adik perempuannya adalah membela kehormatan keluarga besarnya. Justru kalau pemuda itu tak melakukan tindakan apa-apa atas penghinaan yang dilakukan oleh pemuda yang telah dibunuhnya itu, kehormatan keluarganyalah yang telah hilang.

Dalam tulisan itu, Hamka juga menyuguhkan sebuah peristiwa di Tapanuli Selatan pada tahun 1938. Pada tahun itu, ada seorang ibu membawa anak perempuannya mandi di sungai Batang Gadis. Selesai mandi, dikeluarkannya pisau dari dalam ikat pinggangnya, lalu ditikamnya anaknya itu kemudian disembelihnya. Saat diadili di pengadilan dan ditanyakan motif pembunuhan yang dilakukannya, sang ibu menjawab ; “lebih baik ia mati, daripada hidup memberi malu,”. Anak perempuan itu dibunuh dikarenakan ia telah ‘berintaian’ dengan seorang laki-laki. Meski dihukum, tak ada orang kampung yang menyalahkan perbuatan ibu itu!

Lewat tulisannya itu, Hamka mewanti-wanti agar bangsa Indonesia tak mudah tergoda dengan ekspansi budaya Barat yang masuk lewat penyebaran film dan fashion. Dari sana, budaya kita secara perlahan-lahan akan dikikis hingga menganggap apa yang dilakukan oleh orang-orang Barat adalah hal yang lumrah. Misalnya berciuman dengan yang bukan muhrimnya, memakai pakaian mini, hingga berdansa dengan perempuan lain yang bukan istrinya.

Bagi orang Barat, hal-hal yang demikian adalah biasa. Namun, bagi masyarakat kita, hal yang demikian adalah hal yang tabu. Ada dua peristiwa yang saya catat, di mana hanya gegara dansa saja, para elite politik kita saat itu dicerca oleh umat Islam. Pertama, laporan dari Harian Abadi dalam rubrik surat kiriman atau surat pembaca. Saat itu, koran Harian Abadi edisi 19 Januari 1955 memuat gambar dr. Helmi (Duta Besar Indonesia) sedang berdansa dengan seorang wanita yang bukan muhrimnya. Gambar itu kemudian memancing reaksi sebagian umat Islam yang jengah melihat pemimpinnya berlaku tak pantas. Kedua, surat protes Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia yang ditujukan kepada Perdana Menteri Indonesia, Ali Sostroamidjojo. Dalam surat tersebut, PB PII memprotes keras Panitia Konferensi Asia-Afrika yang berencana menyediakan ‘Dancing Room’ bagi para utusan peserta konferensi.

Menurut PB PII, dansa adalah sebuah tari yang timbul dari luar daerah Asia Afrika yang datang dan masuk ke wilayah mereka dengan membawa nafsu kolonialisme bangsa-bangsa Barat. Bagi bangsa Indonesia, menurut surat PB PII itu, dansa merupakan sebuah tari yang tidak hanya bertentangan dengan adat istiadat bangsa Indonesia, tetapi juga sebuah tingkah yang menyinggung perasaan budaya nasional Indonesia. Maka, lewat surat tersebut, PB PII memberikan saran agar lebih baik memperkenalkan tarian tradisional Indonesia dalam forum internasional itu.

Saat hendak membaca halaman lain dari majalah Hikmah, kulihat Akril diberikan satu bendel majalah oleh petugas perpustakaan. Aku tak tahu nama dari majalah itu. Ia membukanya. Dilihatnya halaman demi halaman. Kemudian menyorongkan majalah itu kepadaku sambil berkata :

“Bang, ini majalah PB HMI terbitan tahun 1954-1955,”katanya.

Majalah Media terbitan PB HMI edisi tahun 1954-1955
Segera saja kulihat. Kuperhatikan. Kuhitung semuanya. Ada 12 edisi terbitan majalah Media. Eureka! Akhirnya, ketemu juga. Inilah majalah yang dimaksud oleh Deliar Noer dalam tulisannya di majalah Hikmah 4 Juni 1955 yang berjudul Sedikit Tentang HMI : Konferensi Akbar di Kaliurang. Sebelumnya, aku sudah menemukan majalah Media terbitan PB HMI edisi 1- 4 tahun 1959, dan sudah difotocopy untuk koleksiku. Melihat majalah Media tahun 1954-1955, aku pun meminta kepada petugas perpustakaan untuk memfotocopy satu bendel majalah itu dan menjilidnya.

Alhamdulillah. Satu persatu pencarianku berhasil. Namun, rasa penasaran dan rasa ingin tahuku bukannya makin pudar. Justru semakin tinggi. Aku masih penasaran. Ada rentang waktu yang kosong di tahun 1956-1958. Benarkah di masa itu PB HMI tidak menerbitkan majalah Media? Jika memang iya, apa alasan dan kendalanya? Pertanyaan-pertanyaan itu masih menghantuiku.

Jakarta, 21 Februari 2019.

HMI dan Arsip-Arsip yang Terbengkalai

Senin, 18 Februari 2019


Beberapa hari ini, saya melakukan aktivitas yang tak biasa. Menekuni dan menelusuri arsip-arsip lawas. Terutama arsip tahun 1950-an hingga 1998. Minat untuk melacak arsip-arsip lawas ini dikarenakan informasi yang saya dapat saat melakukan pembacaan terhadap sepak terjang Partai Masyumi di saat Pemilu 1955. Saat membaca buku Remy Madinier, Partai Masjumi : Antara Godaan Demokrasi dan Islam Integral, saya menemukan beberapa literature yang dipakainya dalam menulis buku tersebut. Terutama literature yang bersumber dari koran dan majalah.

Dari sanalah saya kemudian melakukan pencarian terhadap koran dan majalah yang dijadikan referensi oleh peneliti Centre Nationale de Recherche Scientifique, Paris, Prancis itu. Penelusuran saya mulai dari harian milik Partai Masyumi yang sempat berjaya di tahun 1950-an, yakni Harian Abadi. Saat mencoba membaca koran Harian Abadi di Perpustakaan Nasional RI yang terletak di jalan Merdeka Selatan, minat untuk tenggelam dalam dunia arsip kemudian tumbuh. Hal ini dikarenakan informasi yang didapat dari menelusuri arsip-arsip lawas itu di luar pengetahuan yang saya dapat selama ini. Terutama pengetahuan soal organisasi di mana saya dulunya sempat berproses di dalamnya, HMI.

Di koran Harian Abadi, edisi 30 November 1958, pada rubrik ‘Kami Perkenalkan’, koran yang afiliasi politiknya ke Partai Masyumi itu mengangkat profil Ketua Departemen Keputrian PB HMI, Titie Raya. Libido saya bangkit seketika untuk membaca koran lawas yang sudah berbentuk microfilm itu. Meski rangkaian kalimat yang tertera pada koran lawas berbentuk microfilm itu sudah agak sulit untuk dibaca, saya memaksakan diri untuk membacanya hingga tuntas. Kacamata saya lepas. Agak sulit membaca koran yang sudah bulukan itu bila masih menggunakan kacamata. Begitu pikirku.

Dalam rubrik itu dikatakan, selain sebagai aktivis di HMI, Titie Raya juga memiliki minat dalam dunia pers. Terbukti ia menjabat sebagai Redaktur pada majalah ‘Wanita’ Jakarta. Tak hanya itu. Titie Raya juga memiliki keahlian dalam berdeklamasi. Pernah pada bulan Juli 1958, dilangsungkan Pekan Kesenian Mahasiswa se-Indonesia di Yogyakarta. Dan Titie Raya ikut sebagai salah satu pesertanya di sana. Kegemarannya dalam membaca puisi dan bakat seni yang ada dalam dirinya, posisi sebagai runner up  pun digondolnya.

Selain memiliki darah seni, Titie Raya juga menyimpan sikap kritis terhadap aktivitas perempuan yang ada saat itu. Terutama munculnya kontes-kontes kecantikan yang berupaya mencari dan menyaring perempuan potensial. Pagelaran itu dikritiknya habis-habisan. Ia tidak setuju terhadap adanya kontes-kontes kecantikan itu, yang menurutnya, para penonton tidaklah melihat pada pakaian yang dikenakan oleh perempuan yang sedang berjalan di atas catwalk itu. Melainkan melihat pada fisik perempuannya saja. Berbeda dengan kontes pakaian pelajar atau mahasiswa yang pernah digelar oleh HMI di Solo. Pada pagelaran kontes yang digelar HMI, aspek kesopanan, praktis, ekonomis, harmonis, dan tentunya memperhatikan norma-norma kesusilaan budaya ketimuran lebih ditekankan dibandingkan pada penonjolan fisik belaka.

Dalam koran Harian Abadi itu juga diterangkan Titie Raya gemar dalam dunia tulis menulis. Terutama dalam menulis cerita-cerita pendek atau cerpen. Kegemarannya itu, katanya, karena menulis bisa dilakukan tanpa meninggalkan aktivitas kuliahnya. Penting untuk diketahui, Titie Raya ini berasal dari Bojonegoro Jawa Timur. Ia menyelesaikan studi SMA-nya di kota Malang kemudian melanjutkan kuliahnya pada Jurusan Ilmu Purbakala, Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Nama aslinya adalah Titie Said Sadikun. Ia lahir pada 11 Juli 1935.

Kembali pada penelusuran arsip-arsip lawas tadi. Setelah membaca profil Titie Raya itu, rasa penasaranku semakin tinggi. Segera saya melacak nama ini. Pada Mbah Google saya bertanya. Saya ketik namanya. Enter. Muncul data tentang sosok Titie Raya ini lengkap beserta karya-karya yang telah ditorehkannya serta aktivitas perjuangannya baik di ranah sastra dan dunia politik. Ternyata, Titie Raya pernah menjabat sebagai anggota DPRD Fraksi Golkar di DPRD Provinsi Bali, tanah kelahiranku.

Saya baca beberapa pendapat dari kalangan sastrawan dan budayawan tentang sosok satu ini. Misalnya dari Paus sastra Indonesia, HB.Jassin, yang mengatakan kalau Titie Raya ini memberikan kesan yang jauh lebih dewasa jika dibandingkan dengan pengarang wanita lainnya. Ajip Rosidi bahkan mengatakan bahwa Titie Raya adalah sosok cerpenis yang sangat terampil dan rajin melukis serta memotret panorama Indonesia lewat karya-karyanya. Pendapat dan pandangan dua sastrawan itu makin membuat rasa penasaranku semakin tinggi.

Segera saja saya menulis beberapa catatan media massa mana saja yang pernah menjadi tempat Titie Raya bekerja dan menuliskan pandangan-pandangannya, baik lewat tulisan berbentuk opini atau pun cerpen. Majalah mingguan Hidup, majalah Wanita, Majalah Brawijaya, Roman, Widjaja, Indonesia, Berita Minggu, Star Weekly,Varia, Sastra, Kartini, Putri Indonesia dan Ananda menjadi target pencarian selanjutnya. Pada buku tulis kecil yang selalu kubawa, tak lupa pula saya tuliskan judul-judul karya tulisnya. Saya ingin melacaknya. Saya ingin membaca karyanya. Mengetahui pandangannya yang disampaikan lewat tulisan-tulisannya itu.

Bermula dari Remy Madinier, saya dituntun ke Harian Abadi, kemudian diperkenalkan ke Yunda Titie Raya dan tenggelam masuk dalam majalah Hikmah yang dikeluarkan oleh pentolan-pentolan Masyumi. Lagi-lagi saya menemukan informasi dan data baru yang belum pernah diketahui sebelumnya saat berproses di HMI. Melalui tulisan Deliar Noer dalam majalah mingguan Hikmah 4 Juni 1955 yang berjudul Sedikit Tentang HMI : Konferensi Akbar di Kaliurang, yang mengatakan bahwa PB HMI pada tahun 1954 pernah menerbitkan majalah dengan nama ‘Media’ yang telah terbit sebanyak 12 edisi. Membaca data itu, semangat investigasiku makin berlipat-lipat.

Saya telusuri lagi nama majalah itu di Perpusnas. Dibantu Akril (HMI Cabang Kendari), saya mengetik nama majalah itu pada komputer yang siap sedia melayani pembaca untuk mencari referensi bacaan yang diperlukan. Alhamdulillah ketemu. Namun hanya ada tiga edisi saja. Itu pun tahun terbitnya bukan tahun 1954, melainkan tahun 1959. Semangat sudah mulai menurun karena tak sesuai ekspektasi. Di sisi lain, pikiranku sudah mulai meraba-raba dan menganalisa tiga edisi majalah Media yang ada di hadapanku. Saya mulai membuka lembar demi lembar majalah Media itu. Membacanya sekilas sambil membayangkan para pendahulu yang bersusah payah menuliskan perjuangan HMI waktu itu.

Saya berpikiran, andai saja para pendahulu itu tak menuliskan aktivitas HMI di masa mereka, maka, saya yakin generasi selanjutnya tak akan pernah mengetahui sepak terjang dan perjuangan HMI di masa lalu. Dengan ditulis, ia abadi. Ia menjadi penjaga ingatan. Menjadi tapak kaki yang perlu untuk ditelusuri jejak-jejaknya. Semakin menelusuri, semakin masuk dalam samudera ilmu pengetahuan tak bertepi, dan semakin tak ingin kembali. Selalu ingin berduaan bersama arsip-arsip lawas itu.

Saya sangat menyayangkan minimnya minat para kader HMI dalam mencari, menjaga dan merawat ‘penyimpan ingatan’ itu. Entah apakah ini dikarenakan kerja-kerja mencari ‘penyimpan ingatan’ itu sepi dari riuh tepuk tangan, puja-puji dan minim materi. Ataukah ini dikarenakan telah menipisnya hasrat kader HMI dalam menekuni dunia pengetahuan dan keintelektualan yang tersimpan dalam buku-buku, arsip, koran dan majalah? Wallahu A’lam. Saya tak tahu. Yang kutahu, kutemukan kenikmatan di sana saat mencari ‘penyimpan ingatan’ itu yang masih berserakan. Dan saat menemukannya, lalu digandakan untuk arsip perpustakaan pribadiku. Menjaganya kemudian melestarikannya sebagai bahan untuk tulisan-tulisanku nantinya.

Jakarta, 19 Februari 2019

Membaca itu Keren

Senin, 21 Januari 2019


Di tahun 2019 ini, aku memancangkan tekad untuk membaca buku lebih banyak lagi dibandingkan tahun sebelumnya. Di awal tahun, tepatnya di tanggal 1 Januari, aku bersama temanku menuju terminal Senen untuk berburu buku bacaan dan majalah. Temanku itu kebetulan juga mempunyai tekad yang sama. Ia hendak membaca buku lebih banyak lagi, katanya kepadaku.

Di terminal Senen itu, aku membeli majalah Tempo, Basis, Gatra, dan majalah Forum. Semuanya sekitar 100 eksemplar banyaknya. Kudapat semua itu dengan harga yang sangat murah. Sekitar Rp.3000,00/eksemplar. Selain majalah, aku juga mendapatkan buku karya Lothrop Stoddard, The Rising Tide of Colour atau Pasang Naik Kulit Berwarna, Filosofi Catur karya Katherine Neville dan Jiwa-Jiwa Mati karya Nikolai V.Gogol.

Kesemuanya hingga kini memang belum terbaca. Hal ini dikarenakan aku juga memburu buku-buku terbitan terbaru yang ada di Gramedia. Dari Gramedia Matraman, hingga tulisan ini dibuat, aku mendapatkan buku Kenang-Kenangan Hidup karya Hamka, Islamofobia karya Karen Armstrong, John L.Esposito, Imam Abdul Malik Mujahid dkk, Assassin karya Bernard Lewis, Marxisme : Asal Usul Ateisme dan Penolakan Kapitalisme karya O.Hashem, Perempuan dan Terorisme karya Leebarty Taskarina, Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan karya Rusdi Mathari, Matinya Kepakaran karya Tom Nichols, Skandal Politik Tokoh-Tokoh Dunia karya Nigel Cawthorne, dan Biografi Politik Mohammad Hatta karya Deliar Noer.

Bagiku, mengumpulkan bacaan berupa buku itu ibarat mengumpulkan bahan makanan agar mampu memenuhi kebutuhan selama sebulan lamanya. Kebiasaan pergi ke lapak-lapak buku adalah kebiasaanku sejak dulu kuliah di Surabaya. Koleksi bacaan yang kumiliki membuatku tak mengalami kebingungan saat hendak mencari bahan untuk dibaca. Tinggal mengambil saja di antara tumpukan buku yang ada di kamar tidurku. Bila ide datang, tinggal memilih referensi yang ada yang kumiliki. Dibaca sebentar, lalu menuliskan ide yang datang itu. Itulah manfaat yang kudapatkan dari berburu buku dan mengkoleksinya kemudian.

Memang sih tidak semua buku itu terbaca. Ada di antara buku-buku itu yang masih tersegel plastik. Melekat juga harganya. Bagiku, itu tak jadi soal. Suatu saat buku itu pasti terbaca semuanya. Misalnya saja buku seri Historia terbitan Kompas. Dari buku seri Historia terbitan Kompas itu, aku baru memiliki dua buah. Pertama, Hamka : Ulama’ Serba Bisa Dalam Sejarah Indonesia, dan Ho Chi Minh dan Sukarno. Keduanya kubeli di tahun 2018.

Dari kedua buku itu, baru Hamka yang selesai dibaca pada 18 Januari lalu. Itu pun karena aku penasaran dengan sosok ulama kelahiran Maninjau itu. Meski namanya sering kudengar, terutama saat kuliah dulu, karya-karyanya tak semuanya kubaca. Yang terbaca hingga tuntas hanya novelnya yang berjudul Tenggelamnya Kapan van Der Wijcks. Selainnya, masih belum.

Dari buku seri Historia terbitan Kompas itulah aku tertarik untuk mengetahui lebih jauh sosok satu ini. Kemudian aku mengeluarkan buku-buku terkait Hamka lainnya yang ada di tumpukan buku di kamarku. Ada dua koleksi buku yang berbicara soal kehidupan Hamka yang kumiliki. Pertama, Kenang-Kenangan Hidup karya Hamka, kedua Adicerita Hamka : Visi Islam Sang Penulis Besar untuk Indonesia Modern karya James R.Rush. Kedua buku itu aku baca di bulan Januari ini secara bergantian.

Saat membaca kedua buku itu, kadang aku menyelinginya dengan membaca novel sastra. Bagiku, saraf otak juga perlu dilemaskan bila dirasa tegang saat membaca buku-buku serius. Obatnya ya membaca juga. Tapi yang dibaca buku dengan genre yang berbeda. Yakni sastra. Dengan membaca sastra, saraf otak mengendur kembali. Rileks. Nyaman. Karena alur ceritanya berjalan mengalir hingga jalan cerita terakhir.

Selama bulan Januari 2019 ini, buku yang terbaca tuntas hanya Hamka seri Historia dan Sengsara Membawa Nikmat-nya Tulis St.Sati. Selebihnya masih separuh yang sudah dibaca. Assassin karya Bernard Lewis pun baru sampai Bab 2 yang terbaca. Selebihnya masih belum. Sedangkan Kenang-Kenangan Hidup karya Hamka, yang berisi empat jilid atau empat bagian dengan jumlah halaman sebanyak 656, baru terbaca jilid satunya saja. Selebihnya masih berjalan. Adicerita Hamka pun baru mencapai 29 halaman yang terbaca.

Bagiku, membaca dengan pola demikian, yang melompat-lompat, tak menjadi persoalan. Inilah yang disebut oleh Hernowo Hasim dengan istilah membaca pola ngemil. Kita membacanya sedikit demi sedikit. Dan tekadku, membacanya hingga tuntas lembar demi lembarnya. Alhamdulillah, hingga tanggal 22 Januari ini, baru dua buku yang tumpas terbaca. Hamka seri Historia dan Sengsara Membawa Nikmat, Tulis St.Sati. Yang lainnya, masih proses pembacaan hingga kini. Semoga Allah memberikan kekuatan kepadaku untuk terus semangat dan diberi motivasi untuk terus membaca.

Jakarta, 22 Januari 2019

Terapi Kejut Program Kerja PB HMI

Senin, 31 Desember 2018

Wajah Klinik HMI di Sekretariat PB HMI sebelum tragedi Tsunami Selat Banten
Tahun 2018 telah berlalu dengan beragam kisah dan dinamikanya. Dan banyak hal yang telah terlewati bersama di tahun itu. Kongres HMI ke-XXX di kota Ambon hingga Munas LAPMI ke-VII di Surabaya. Di tahun itu pula, dinamika yang keras di kota Ambon saat kongres dapat terlewati dengan sangat manis dan heroik dengan terpilihnya saudara Respiratori Saddam Al-Jihad (RSA). Sayangnya, dinamika saat itu luput ditulis oleh penulis.

Kemalasan berhadapan dengan laptop menjadi faktor paling utama mengapa dinamika saat itu tak sempat tertuliskan. Namun, di luar itu, niat untuk menulis masih tetap membara meski hanya sekedar catatan harian yang tidak dipublikasikan. Bagi penulis sendiri, menulis catatan harian adalah agenda wajib layaknya sholat lima waktu.

Zaman bergerak, waktu demi waktu terlewati. Perhatian atas jalannya Himpunan tak sedikit pun alpa untuk diikuti. Sebagai bagian dari Stering Committee Kongres Ambon, penulis memiliki harapan membuncah atas terpilihnya RSA kala itu. Masih terpacak dalam ingatan saat usai perhitungan suara, penulis beserta dengan dua kandidat yang berasal dari LPP sempat berfoto bareng dan saling berbisik, “di bawah RSA, HMI akan lebih produktif dan optimis dengan wajah baru yang diusungnya untuk Himpunan”.

Harapan membuncah itu tak hanya dari penulis dan dua kandidat dari LPP itu,melainkan dari segenap keluarga besar HMI. Bagaimana tidak, sejarah telah tertulis di kota Manise dengan terpilihnya RSA dengan jumlah suara mutlak dan telak melebihi kandidat lainnya. Menjadi wajar bila kemudian, harapan yang tinggi serta impian wajah baru HMI dipanggul oleh RSA dan kepengurusannya.

Seiring berjalannya waktu, harapan itu terjawab dengan beberapa program kerja yang membuat keluarga besar HMI se-Indonesia berdecak kagum dan mengapresiasi kerja-kerja PB HMI yang berbeda dengan periode sebelumnya. Agenda launching program kerja digencarkan baik melalui media sosial facebook, instagram hingga status whatsapp pengurus besar. Meski kegiatan itu akan digelar pada bulan depan, launching program itu sudah dapat diketahui oleh kader-kader HMI sebulan sebelumnya.

Launching studio HMI TV dengan tagline HMI Go Digital dibeber. Launching Klinik HMI disuguhkan. Pengadaan ambulance bagi masyarakat miskin yang tak mampu, digelar. Pembukaan HMI Cabang luar negeri pun dilakukan. Semuanya mendapat standing applause dari keluarga besar HMI tak terkecuali program kerja lainnya yang sudah dilaksanakan oleh PB HMI. Penulis memperhatikan, program kerja yang sudah dilaunching ini tak main-main tentunya. Apalagi, dari media online Kumparan diberitakan bahwa PB HMI akan menggandeng Net Mediatama untuk menjadi mentor dari pengelolaan HMI TV ini nantinya. Sebuah program kerja yang menurut penulis adalah hal baru dan akan menjawab tantangan HMI di masa depan.

Kandidat Kongres HMI ke-XXX Ambon beserta OC Kongres
Tak mengherankan bila setiap agenda program kerja yang berisi serimonial launching ini mendapat dukungan dari publik HMI. Lihat saja untuk program pengadaan ambulance yang diposting oleh RSA di akun instagramnya mendapat tanda like sebanyak 2.086 dan pamflet HMI Go Digital disukai sekitar 988 penyuka. Belum lagi dukungan-dukungan yang diberikan melalui grup-grup whatsapp yang penulis ikuti. Ini menandakan bahwa program kerja ini mendapat dukungan sebagian besar kader HMI.

Sayangnya, launching hanya sekedar launching. Ia tidak dibarengi dengan tindak lanjut program untuk keberlanjutan dari program yang telah dilaunching itu. Imbasnya adalah launching studio TV yang awalnya mendapat gemuruh tepuk tangan dari keluarga besar HMI kini tak terdengar lagi beritanya. Tak lagi ditemukan kiriman berupa link tv streaming yang mengabarkan kegiatan-kegiatan PB HMI. Justru, akun instagram dengan nama HMI TV dibuat oleh orang lain yang entah siapa pengelolanya. Hantu blau mungkin. Jika demikian adanya, untuk apa kegiatan launching tv itu digelar bila tidak ada keberlanjutannya?

Itu pertama. Kedua, terkait dengan launching klinik HMI. Bagi penulis, program ini merupakan program kerja yang sangat bermanfaat bila fungsionaris pengurus besar mampu menerjemahkan apa yang sudah dilaunching itu. Masih sulitnya masyarakat kecil untuk mendapat pengobatan di rumah sakit negeri atau pun swasta, pengadaan klinik HMI sedikit banyak akan memberikan citra positif HMI di mata masyarakat. HMI jadi lebih dikenal dan dekat dengan masyarakat yang kurang mampu.

Ironisnya, nasib keberadaan klinik HMI tak berbeda jauh dengan studio tv yang sudah dilaunching. Klinik HMI itu teronggok tak berdaya. Sepi dari pengunjung. Alih-alih difungsikan, ruangan itu bahkan menjadi tempat menaruh barang-barang yang tak ada hubungannya dengan persoalan kesehatan dan perawatan. Padahal, untuk pembangunan klinik HMI itu harus membuang atau menggeser perpustakaan yang sudah ada.

Ruang perpustakaan HMI yang sebelumnya minim koleksi, seharusnya tak perlu mengalami pergeseran atau bahkan ditiadakan sama sekali. Justru perpustakaan itu harus dikembangkan dengan menambah koleksi bacaan-bacaan yang bisa menambah cakrawala berpikir pengurus besar. Bagi penulis, keberadaan perpustakaan di sekretariat organisasi kemahasiswaan adalah hal yang wajib ada sebagai penanda bahwa organisasi kemahasiswaan itu bercirikan intelektual. Sebagaimana diketahui, intelektualitas adalah ciri khas HMI. Meniadakan hal itu sama saja meniadakan salah satu dari tafsir lima kualitas Insan Cita yakni kualitas Insan Akademis.

Penulis bersama Dirut LEPPAMI dan dua kandidat Ketua Umum PB HMI dari LPP 
Dibandingkan periode sebelumnya, periode kali ini memang lebih baik dalam hal pengadaan fasilitas bacaan berupa koran harian yang menjadi langganan setiap harinya. Sependek ingatan penulis, ada empat koran harian yang menjadi langganan sekretariat PB HMI. Yakni Republika, Kompas, Sindo dan Tempo. Keempat koran itu selalu datang menunggu untuk dibaca tiap paginya oleh kader HMI atau pengurus besar yang berkunjung ke sana. Sayangnya, keempat koran itu jarang disentuh dan dibaca sebagai asupan informasi yang berguna untuk menambah wawasan fungsionaris pengurus besar guna mengupgrade informasi yang sedang terjadi. Mungkin mereka merasa cukup dengan membaca informasi melalui media online. Namun, sebenarnya ada juga beberapa informasi yang tak semuanya didapat di media online. Belum lagi bila kita berbicara soal efek media online yang tingkat akurasinya sangatlah rendah. Untuk pembahasan ini, mungkin akan butuh waktu dan ruang yang sangat panjang untuk mendiskusikannya.

Jadi, program kerja yang telah dilakukan oleh PB HMI selama ini menurut penulis hanyalah ibarat terapi kejut saja. Sebab, kegiatan-kegiatan yang dilakukan itu hanyalah kegiatan-kegiatan insidentil yang tak memiliki efek jangka panjang bagi Himpunan. Bila demikian adanya, di mana letak keberlanjutannya? Wassalam!

Jakarta, 1 Januari 2019


Sejumput Kenangan Bersama LAPMI

Rabu, 03 Oktober 2018

Moment Pelantikan Bakornas LAPMI PB HMI 2016-2018 di Dewan Pers Jakarta
Akhirnya, selesai sudah tugasku mengawal Bakornas LAPMI PB HMI. Ada rasa haru dan bahagia karena sudah terbebas dari tanggungjawab yang dipikul sejak dua tahun lalu. Yakni sejak 2016-2018. Sepanjang dua tahun itu ada banyak dinamika yang terlewati dalam mengawal jalannya organisasi LAPMI ini.

Sebagai badan otonom, LAPMI memang kerap dipandang sebelah mata. Itu bisa dilihat dari minimnya perhatian Pengurus Besar terhadap LAPMI. Kecilnya anggaran operasional serta dibatasinya ruang gerak untuk berkreasi, adalah bentuk kecil dari minimnya perhatian itu. Bila saja anggaran operasional itu disejajarkan dengan bidang-bidang yang ada di PB, serta diberinya ruang untuk berkreatifitas bagi LAPMI dan LPP lainnya, tentu kita akan menyaksikan begitu dinamisnya wajah organisasi HMI secara keseluruhan.

Namun, kendala-kendala itu, tidak lantas membuatku patah arang. Aku punya tekad yang besar untuk menjadikan LPP khususnya LAPMI menjadi lembaga yang seksi dan menarik minat para kader untuk berbondong-bondong masuk ke dalamnya. Berbagai kegiatan sempat dilakukan. Tentunya target utama adalah menaikkan tingkat literasi kader HMI menjadi lebih baik lagi dibanding sebelum-sebelumnya. Mengapa gerakan literasi ini menjadi target utama di periode kepengurusanku?

Pertama, aku menilai literasi adalah hal yang penting bagi tiap aktivis mahasiswa. Literasi tak melulu hanya terkait dengan gerakan baca tulis. Ia lebih luas dari itu. Literasi berbicara segala hal yang berkaitan dengan kehidupan. Minimnya kepedulian mahasiswa zaman now akan kondisi kebangsaan dan keummatan kita saat ini, menurutku, dikarenakan rendahnya tingkat literasi mahasiswa. Sehingga ia menjadi apatis. Menjadi tak peduli dengan keadaan yang ada di sekelilingnya. Bagi mahasiswa dengan tipe seperti ini, tak ada alasan untuk ikut campur dengan persoalan orang lain. Mau susah atau tidak kehidupan orang-orang disekelilingnya, ia tak peduli. Ia lebih mementingkan kehidupan dirinya sendiri. Merasa nyaman dengan fasilitas yang ia dapat, bagi mahasiswa dengan tipe seperti ini, ia sudah merasa puas.

Ia tak punya rasa peduli terhadap orang sekitar yang tak mampu dalam menjalani kehidupan. Yang hanya sekedar makan saja tak bisa, apalagi mau sekolah. Selayaknya, mahasiswa turun pada masyarakat-masyarakat yang mengalami kendala seperti ini. Kesulitan dalam menempuh pendidikan serta rendahnya pendapatan yang dihasilkan oleh masyarakat, menurutku, ini dikarenakan rendahnya tingkat literasi mereka. Maka sebagai kalangan terdidik, sudah semestinya ia turun ke bawah. Bergaul dengan masyarakat. Mengajak masyarakat untuk meuju pada kehidupan yang lebih baik serta mengajarkan mereka untuk cinta pada ilmu pengetahuan.

Dengan cara apa dan bagaimana?

Dengan cara menggalakkan kembali sistem pendidikan non formal seperti yang dilakukan oleh Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswa-nya. Taman Siswa milik bapak pendidikan Indonesia ini, sistem pendidikannya sangatlah berbeda dengan sistem pendidikan bentuk kolonial yang saat ini menjadi sistem baku pendidikan nasional. Di sana, di Taman Siswa, tidak ada pemberian ijazah layaknya lembaga pendidikan kita saat ini. Yang diutamakan adalah memberikan bekal keilmuan bagi para peserta didiknya. Ijazah hanyalah sekedar formalitas belaka yang tak ada kaitannya dengan skill dan kemampuan peserta didik. Ijazah hanya bukti bahwa seseorang telah menempuh pendidikan. Ia tidak bisa dijadikan sebagai sebuah bukti bahwa seseorang memiliki pengetahuan yang tinggi.

Pengetahuan tinggi seseorang bisa dilihat dari pembicaraan dan tutur kata yang disampaikannya. Biasanya itu tampak saat ia sedang berbicara dan penggunaan kata serta kalimat yang mudah dipahami oleh lawan bicaranya. Komuniken akan mudah memahami apa yang disampaikan oleh komunikator. Di sinilah seseorang itu bisa dinilai lewat struktur kalimat yang diutarakannya kepada lawan bicaranya.

Selama ini, aku kerap menyaksikan dan berdiskusi dengan kader-kader HMI di tingkat bawah, terutama saat mengisi training-training, di mana saat mereka mengajukan pertanyaan struktur dan pola kalimat yang dikeluarkannya terkadang tidak tepat. Maksudnya sih hendak menunjukkan diri sebagai mahasiswa yang pintar dengan pemilihan kata-kata yang kontemporer dengan akhiran ‘si’. Parahnya, penggunaan itu malah terkadang tidak tepat makna dan artinya. Sehingga tangkapan atas pertanyaan itu menjadi tidak pas. Entah ini dikarenakan aku yang kurang membaca literature atau seperti apa, aku tak tahu.

Berdasarkan pengalaman itulah, di Bakornas LAPMI aku beserta kawan-kawan menggalakkan kembali gerakan-gerakan diskusi. Baik itu berupa kegiatan bedah buku atau pun diskusi tematik yang disesuaikan kondisi kekinian. Jamak diketahui, kecintaan kader HMI akan buku memang sangat mengkhawatirkan. Entah ini dikarenakan ketidakmampuan mereka membeli buku atau sulitnya mendapatkan akses terhadap buku-buku. Namun bagiku, alasan-alasan itu tidaklah rasional dan mengada-ada.

Diskusi Mengenang Cak Nur yang diisi oleh Kakanda Fachry Ali

Mewabahnya smart phone sebenarnya untuk memudahkan penggunanya untuk mengakses informasi, baik itu berupa buku digital atau pun berita. Sayangnya, kerap kader HMI lebih banyak menggunakan smart phone miliknya hanya untuk sekedar mengirim pesan, membuka media sosial dan stalking status kawannya serta bermain game. Tak lebih dari itu.

Kembali ke persoalan yang tadi. Pada kecintaan kader HMI akan buku dan bacaan. Sepengalamanku saat di Bakornas LAPMI kemarin, dan saat bersentuhan dengan Pengurus Besar HMI, mereka enggan menyediakan waktunya untuk membaca buku sekalipun hanya lima belas menit setiap harinya. Jangankan buku, koran pun jarang mereka sentuh. Padahal, sekretariat PB HMI selalu berlangganan empat koran. Yakni Kompas, Republika, Sindo dan Tempo. Bahkan tak jarang, seminggu sekali terkadang ada majalah Tempo. Empat koran itu sering aku lihat masih rapi kondisinya dan tidak terbaca sama sekali. Kalau terbaca, mungkin akan terlihat lecek kertas koran itu. Sayangnya itu tidak. Dan itu aku saksikan selama aku tinggal di sekretariat LAPMI di lantai 3.

Tiap malam, empat koran itu aku bawa ke sekretariat LAPMI. Aku baca. Aku sigi. Terkadang aku corat-coret karena data yang ada pada koran tersebut sangat penting, menurutku. Aku memang tak sempat membaca koran-koran itu di siang harinya dikarenakan waktu siang aku gunakan untuk silaturahmi atau bertemu dengan sahabat dan kerabat. Namun, malam harinya, aku selalu menyempatkan diri untuk membaca empat koran itu. Karena aku merasa bingung tak karuan bila tak membaca informasi yang ada pada koran-koran itu. Kebingungan juga selalu menyelimutiku bila selama seminggu saja tidak membaca buku. Jadi, aktivitasku sebenarnya tak jauh-jauh dari itu. Koran,buku, koran, buku, koran, buku. Tak lebih. Selalu di seputaran itu.

Empat koran langganan Sekretariat PB HMI itu pun kini masih ada di sekretariat LAPMI. Seonggok banyaknya. Dan ada di bawah meja komputer di dalam sekretariat LAPMI. Aku memang melarang kawan-kawan untuk menjual onggokan koran itu. Karena bagiku, data dan informasi yang terdapat pada koran-koran itu sangatlah penting. Dan suatu saat pasti akan berguna bila hendak menulis artikel, makalah atau pun paper. Pengagungan terhadap arsip, baik itu berupa koran atau pun berkas, memang sangatlah rendah. Tingkatannya berada di atas dikit dibanding sampah.

Cobalah perhatikan saja, berkas-berkas konfercab dari berbagai cabang di seluruh Indonesia. Masihkah ia dirawat dengan baik pasca pembahasan dan penetapan di rapat harian PB HMI? Tidak! Berkas-berkas itu dibiarkan terbengkalai dan tak terawat dengan baik. Bahkan tak jarang dijadikan alat pembersih kotoran. Disobek dan dijadikan pembersih tumpahan kopi atau teh di atas meja. Sungguh miris sekali melihat penghargaan kita terhadap berkas-berkas itu. Padahal, berkas-berkas itu adalah bukti sejarah perjalanan HMI Cabang yang bila dirawat dengan baik akan sangat berguna kelak dikemudian hari.

Berkas-berkas itu juga menjadi saksi, bagaimana perdebatan dilakukan demi meluluskan atau menjegal keinginan satu kelompok atau gerbong di HMI. Tak jarang, karena berkas-berkas itu, saling sikut, saling caci, bahkan baku pukul dilakukan. Namun, bila sudah diputuskan dan ditetapkan, hidup berkas itu menjadi merana. Ia diletakkan begitu saja dipojokkan lemari tanpa seorang pun yang akan menyentuh dan membukanya kembali. Jangankan menyentuh, menoleh pun tidak. Lain halnya, bila berkas tersebut belum diputuskan di rapat harian, keberadaannya akan dicari. Tak ada di kawan PAO yang satu, akan ditanyakan ke kawan PAO lainnya. Keberadaannya menjadi sangat penting. Seakan-akan berkas itu menjadi taruhan perjalanan hidup suatu kelompok (*).

Merespons Seruan Perdamaian PB HMI di Forum ICYF DC

Kamis, 19 April 2018

Pasca kongres HMI ke-XXX di Ambon Februari lalu, segenap keluarga besar HMI banyak menaruh harapan pada lokomotif gerakan organisasi Hijau Hitam ini. Sebagai mandataris kongres, Ketua Umum PB HMI saat ini, Respiratori Saddam Al-Jihad, selalu ditunggu-tunggu statement, gerakan dan kiprahnya dalam menyikapi kondisi politik dan sosial di tanah air. Tak hanya itu, gerakan dan kiprahnya sebagai salah satu lokomotif gerakan organisasi mahasiswa Islam Indonesia pun dinantikan oleh umat Islam Indonesia dalam menyikapi kondisi politik global yang saat ini sedang panas-panasnya.
 
Lewat tulisan ini, penulis hendak merespons seruan Ketua Umum PB HMI dalam forum Islamic Conference Youth Forum for Dialogue and Cooperation yang dihelat di Baku, Azerbaijan, sejak 15-19 April kemarin. Terutama, penulis sangat mengapresiasi langkah yang dilakukan oleh Ketua Umum PB HMI dalam forum tersebut. Pertama, soal seruannya pada penduduk dunia agar saling mengaja perdamaian. Seruan ini merupakan oase di tengah kegilaan para pemimpin dunia di belahan dunia sana yang mencoba mengotori nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.

Telah kita ketahui bersama, beberapa hari lalu, tepatnya pada 14 April 2018, satu hari sebelum forum ICYF DC tersebut digelar, Syria dibombardir 105 rudal pasukan militer USA, Inggris dan Prancis hingga membuat negara yang dipimpin oleh Bassar Al-Assad itu nyaris koyak. Serangan ini tentu membuat sebagian penduduk dunia, terutama masyarakat di dunia Islam, menjadi prihatin akan masa depan rakyat Syria. Karena merekalah tentunya yang akan menjadi korban pertama dari konflik elite para pemimpin dunia yang menjadikan Syria sebagai medan pertempuran.

Motif serangan itu pun masih simpang-siur. Benarkah serangan itu merupakan jawaban USA dan sekutunya atas penggunaan senjata kimia yang dilakukan oleh pemerintahan Bassar Al-Assad? Ataukah serangan itu merupakan ketakutan USA dan sekutunya atas perkembangan dan kemajuan kekuatan riset dan militer Syria? Marilah kita tengok target dari serangan membabi buta tersebut.

Berdasarkan laporan juru bicara militer Rusia, Kolonel Jenderal Sergei Rudskoi, sebagai mana dikutip oleh www.bbc.com , bahwa yang menjadi target dari serangan tersebut adalah landasan udara, industri, dan fasilitas riset yang dimiliki oleh Syria. Pertanyaannya kemudian adalah atas alasan apa fasilitas riset juga menjadi target dari serangan USA dan sekutunya?

Bila alasan yang diajukan adalah karena fasilitas riset yang ada di Syria menjadi lokasi dari pembuatan senjata kimia, menurut penulis, ini adalah alasan yang mengada-ada dan dipenuhi dengan tabir kebohongan. Masih lekat dalam ingatan, kala USA melakukan invasi atas Irak pada tahun 2003 lalu. Dengan dalih bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal, Negeri Paman Sam itu berupaya menggiring opini publik dunia akan ancaman besar yang akan terjadi bila Irak dibiarkan bebas memproduksi senjata pemusnah massal. 

Hingga perang usai di Irak dengan kemenangan yang diraih oleh pihak agresor, tak ditemui secuilpun lokasi pembuatan senjata pemusnah massal sebagaimana yang digaung-gaungkan oleh USA sebelumnya. Alasan bahwa Irak memproduksi senjata pemusnah massal adalah kebohongan pihak USA demi mendapat legitimasi penduduk dunia akan tindakan yang dilakukannya atas Irak. Dan, saat ini, dengan alasan dan pola yang sama, USA mencoba untuk menggiring opini publik internasional agar tindakan yang dilakukannya atas Syria mendapat pembenaran.

Kedua, penulis juga mengapresiasi dorongan PB HMI untuk dibentuknya Pusat Pemberdayaan dan Pembangunan Pemuda dengan menjadikan pendidikan sebagai salah satu jalan keluarnya.  Pada point ini penulis seketika teringat dengan tuturan Nurcholish Madjid yang mengatakan bahwa pendidikan yang baik adalah yang dapat membentuk manusia liberal dan kritis yang nantinya akan mengarahkannya menjadi manusia merdeka (untuk ini, lihat buku Nurcholish Madjid, Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan : Pikiran-Pikiran Madjid Muda, Penerbit Mizan, hal. 330-331)

Pemuda, sebagai generasi penerus bangsa, memiliki beban dan tanggungjawab yang besar untuk membawa negara ini menuju pada arah yang dicita-citakan oleh pendiri bangsa. Beban berat yang harus dipikul ini tentu membutuhkan banyak kecakapan dan keahlian yang mumpuni. Tak hanya kecakapan dalam hal-hal yang berkaitan dengan persoalan duniawi, melainkan juga harus mumpuni dan tak melupakan persoalan ukhrowi. Sebab, sebagaimana dikatakan oleh Cak Nur, pendidikan, terutama pendidikan Islam, haruslah dapat memberikan arah pengembangan dua dimensi, yakni dimensi ketuhanan dan dimensi kemanusiaan. Pada dua wilayah pijakan itulah yang harus terus disuarakan oleh PB HMI. Karena dengan demikian, konsep dan gagasan pembaharuan pendidikan sebagaimana diidam-idamkan oleh Cak Nur, dapat diteruskan oleh kader HMI setelahnya.

Nah, di sini menjadi tampak bahwa forum pemuda muslim dunia yang dihadiri pemuda dari negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI), adalah panggung yang sangat tepat untuk melemparkan gagasan keislaman dan kebangsaan HMI. Sebagai anak kandung umat dan bangsa, peran HMI memang harusnya lebih meluas lagi. Tak melulu hanya menyikapi persoalan internal HMI, melainkan juga merespons segenap problematika keumatan yang sedang melilit umat Islam saat ini.

Seruan itu, layaknya direspon positif oleh kader HMI di manapun berada. Hal ini, selain sesuai dengan misi keumatan HMI, juga merupakan peluang bagi HMI untuk tampil dan berkiprah di panggung dunia Internasional. Upaya-upaya seperti ini, merupakan jalan kembali HMI untuk menancapkan perannya dalam percaturan dunia Internasional. Hal yang selama beberapa periode kepengurusan PB HMI, kerap alpa dilakukan.

Saat ini era sudah berubah. Roda zaman telah bergerak. Masyarakat dunia sudah terkoneksi antara satu dan lainnya lewat terjadinya gelombang revolusi media informasi dan komunikasi. Perubahan ini tentu membawa imbas yang tak sepele bagi manusia. Terutama kalangan pemuda dan mahasiswanya. Dan, kini publik menunggu. Konsep perbaikan macam apa yang ditawarkan oleh PB HMI, terutama bidang Pemberdayaan Umat PB HMI dalam memberikan solusi atas silang sengkarut sistem haji dan umroh yang banyak memakan korban dari umat Islam sendiri?

Lho kok ke persoalan haji? Tak apa-apa. Hitung-hitung buat kalimat pengunci. Dan pengingat buat Ketua Bidang ini di PB HMI. He he he.. Peace Bang Akbar Hanubun. (*)

Hanya Video Tutorial Menghidupkan Orang Mati Yang Tak Ada di Youtube

Rabu, 18 April 2018

Seharian kemarin, aku diselimuti kegundahan yang sangat. Bagaimana tidak, data penelitian thesisku yang kusimpan pada sebuah flash disk, tiba-tiba tak bisa terdeteksi di laptop milikku. Karuan saja, seketika aku kalang kabut dibuatnya. Pikiran buruk langsung menyerbuku. Bagaimana bila flash disk itu rusak? Bagaimana bila data pada flash disk itu hilang? Bagaimana....?  Dan bagaimana bila....? Apa yang harus kulakukan agar data itu bisa kembali dan flash disk bisa normal lagi? Kalau tidak bisa, bagaimana kelanjutan thesisku? Apakah aku harus berganti fokus penelitian?

Gempuran pertanyaan-pertanyaan itu memberondongku. Menyerangku hingga membuatku kalut. Aku bertanya pada adik komisariatku yang kutahu ia pandai dalam persoalan per-IT-an. Aku ceritakan padanya terkait kondisi flash diskku padanya. Kemudian ia mencoba untuk memasukkan flash disk itu pada laptop miliknya.

“Tak terbaca, bang. Tadi gimana awalnya bang?”
“Yah abang masukkan itu ke laptop. Awalnya terbaca oleh laptop abang. Abang buka-buka folder dan masih bisa. Awalnya niat abang itu hendak memindahkan data-data penelitian thesis itu ke laptop. Ndilalah kok langsung tak terbaca seketika”, begitu aku menjelaskan padanya.

Adik komisariatku itu kemudian masih mencoba mengutak-ngatik flash disk itu pada laptop miliknya. Digoyang-goyang ke kanan dan ke kiri. Tetap tak bisa. Pikiranku langsung terbang ke sana-ke mari untuk mencari solusi. Bertanya pada Togar, pengurus LTMI PB HMI terkait kondisi flash diskku itu. Disarankan untuk buka pilihan ‘view’ di toolbar. Lalu kasih centang ‘show hidden’. 

Dasar aku orang yang gaptek, aku bertanya kembali padanya.
 "Toolbar itu yang mana sih?"
 "Abang buka saja explorer, terus nanti nampak menu C,D, Removable disk segala macam. Toolbar itu yang ada menu 'tools, view,dll",jawab Togar.

Makin bingunglah aku dengan istilah explorer itu. Berhubung di sebelahku duduk Mantan Ketum Kohati Surabaya, Dek Eka, aku bertanya padanya tentang yang dimaksud dengan explorer itu. Kampret! Ternyata yang sering saya buka dan saya nggak tahu namanya kalau yang dimaksud explorer itu yang ini.

Aku jalankan sarannya Togar itu. Tapi tetap tak terdeteksi. Aku coba kirim pesan via whatsaap lagi pada Togar terkait kondisi itu. Jawabnya :

“Berarti flash disknya rusak bang. Apalagi sampai panas flash disknya”,kata Togar.
“Terus data-data thesis saya gak bisa balik dong?”
“Ya nggak bisa pak dir”
“Allahu Akbar”,jawabku sambil menepuk jidatku.

Aku hubungi kawan-kawanku yang lain. Jawaban mereka sama. Rusak! Makin kalutlah aku jadinya. Di tengah kekalutan itu, pikiranku mengarahkan untuk melihat-lihat video tutorial di youtube terkait cara mengembalikan data pada flash disk yang rusak tanpa harus melakukan format terhadapnya.

Aku memang tidak ahli dalam hal memperbaiki alat-alat teknologi. Termasuk soal flash disk ini. Terlintas dalam benak untuk membuang flash disk yang rusak itu. Namun, keingintahuanku yang tinggi dan penasaran untuk mengembalikan data penelitian thesis membuatku harus belajar. Ke mana harus belajar? Aku harus buka youtube! Di sana mungkin ada tutorial soal mengembalikan data pada flash disk yang rusak. Begitu kata hatiku. Karena seingatku, aku pernah melihat kawanku belajar tutorial design layouter via youtube. Maka aku langsung menuju warkop Pondok Kopi yang menyediakan fasilitas  wifi.

Aku buka youtube. Aku ketik “cara mengembalikan data yang hilang di flashdisk rusak”. Seketika itu juga berderet video tutorial soal cara mengembalikan data pada flash disk yang rusak. Aku lihat satu persatu dari beberapa deretan video itu untuk mencari yang mana dari salah satu video itu yang masalahnya sama denganku. Akhirnya aku dapatkan juga salah satu tutorial yang menjelaskan soal itu. Di bawah ini aku sertakan linknya :


Lewat tutorial yang ada di video ini aku belajar. Mengikuti petunjuknya dengan detail satu persatu. Alhamdulillah. Akhirnya bisa kembali juga. Segera saja aku buka folder yang berisi hasil penelitian thesisku yang sudah kulakukan sejak empat tahun lalu dan bersegera memindahkannya ke laptopku. Aku takut dan kuatir kalau tidak segera dipindah, flash disk ini akan mengalami kerusakan yang lebih parah dari sebelumnya. Aku pindahkan rekaman wawancara dengan beberapa narasumber penelitianku, foto-foto penelitian serta beberapa hal yang kuanggap penting demi mengantisipasi agar tak kecolongan lagi.

Dari kejadian ini aku mengambil pelajaran, bahwa semua ilmu terkait apapun sepertinya kini banyak jalan keluarnya di internet. Tinggal buka youtube, ketik, lalu enter. Maka semua persoalan yang dihadapi akan segera mendapatkan jawabannya dengan video yang berderet-deret. Entah, aku masih belum menemukan apakah ada persoalan yang belum bisa terjawab di internet pada era teknologi seperti saat ini?

Tutorial apapun sepertinya ada. Memperbaiki ini, ada. Memperbaiki itu, ada. Video tutorial menulis, ada. Video tutorial make up, ada. Tutorial memakai hijab, juga ada. Anda tinggal buka youtube. Jadi, saran saya, jangan membuang barang apapun yang anda miliki serusak apapun. Siapa tahu itu masih bisa difungsikan kembali atau dialihfungsikan ke barang dalam bentuk baru.

Dan, mungkin yang belum ada di youtube video tutorial menghidupkan kembali orang yang sudah meninggal dunia. Atau mungkin kalian mau mencoba untuk menghidupkan orang yang sudah meninggal kemudian video tutorial itu dibagikan ilmunya kepada semua manusia di atas bumi ini? He he (*)

Surabaya, Kamis 19 April 2018

Ma Yan, Kisah Pendidikan Gadis Kecil di Pedalaman China

Jumat, 13 April 2018


Kali ini, aku akan mereview buku yang ditulis oleh Sanie B.Kuncoro yang berjudul ‘Ma Yan, Perjuangan dan Mimpi Gadis Kecil Miskin di pedalaman China untuk Meraih Pendidikan’. Buku ini sebenarnya sudah pernah saya baca beberapa tahun lalu saat masih di Surabaya. Dan, kini aku tergerak membacanya kembali untuk kedua kalinya. Kupikir tak ada salahnya membaca ulang buku-buku yang sudah terbaca bukan? Konon, dengan membaca ulang buku yang sudah terbaca, kita akan dapat menemukan satu pengetahuan dan pembacaan baru dari apa yang sudah dibaca sebelumnya.

Aku yang pernah membaca buku ini beberapa tahun lalu di Surabaya, sebenarnya lupa dengan alur cerita yang ada di dalamnya. Namun, saat melakukan pembacaan untuk yang kedua kalinya, aku ditarik masuk kembali dalam cerita yang ada di buku ini. Dan sungguh, aku menemukan hikmah, pengetahuan, dan motivasi baru yang kudapat saat membaca ulang buku ini.

Buku ini diangkat dari kisah nyata yang mengambil desa Zhangjishu sebagai latarnya. Desa yang jaraknya ribuan kilometer dari Beijing ini, menunjukkan wajah lain dari China yang terkenal karena revolusi kebudayaannya. Kisah dalam buku ini bermula dari kedatangan kelompok ekspedisi ke desa terpencil itu. Saat hendak berangkat untuk melanjutkan perjalanan ke Yinchuan, ibu kota di wilayah Ningxia, kelompok ekspedisi ini dihentikan oleh seorang perempuan yang tergopoh-gopoh mengejar mobil yang mereka tumpangi. Perempuan itu kemudian mengajak kelompok ekspedisi itu ke kediamannya yang sangat sederhana. Perempuan itu kemudian menyerahkan tiga buah buku tulis berwarna coklat yang berisi tulisan tangan berhuruf China beserta sebuah surat bersampul.

Di sinilah cerita itu dimulai. Ternyata, tiga buah buku tulis berwarna cokelat beserta surat bersampul itu adalah catatan seorang anak kecil berusia 12 tahun bernama Ma Yan, anak dari perempuan yang menghentikan kelompok ekspedisi tadi. Catatan harian itu berisi semua harapan dan cita-cita Ma Yan yang memiliki keinginan untuk terus menempuh pendidikan meski kondisi orang tuanya yang diselimuti kemiskinan.

Kedua orang tua Ma Yan, adalah buruh tidak tetap dengan bayaran yang pas-pasan yang cukup hanya buat makan saja. Jangankan untuk membayar biaya pendidikan, untuk makan saja bahkan terkadang tidak cukup. Sebuah kondisi kemiskinan yang mengenaskan bagi sebuah keluarga dan tak akan bisa dijelaskan dengan kata-kata. Bagi Ma Yan, dunia ini tidak asing dengan kemiskinan dan tidak semua orang tahu seperti apa dan bagaimana kemiskinan itu sesungguhnya hingga ia mencecapnya sendiri.

Meski demikian, semangat orang tua Ma Yan, terutama ibunya, menginginkan agar kemiskinan itu tak menurun pada anak-anaknya. Kemudian mereka berinisiatif dan berusaha sekuat tenaga untuk menyekolahkan kedua anaknya pada sebuah sekolah yang jaraknya sekitar 20 kilometer dari rumah mereka. Setiap hari, Ma Yan dan adiknya harus menempuh perjalanan sejauh itu dengan berjalan kaki melewati jalan berbatu dan jurang. Terkadang, saat perjalanan ke sekolah itu, mereka harus menghadapi para pembegal yang merampas apa saja yang mereka miliki. Tak hanya bekal sekolah mereka, melainkan juga buku dan pena yang mereka miliki.

Kisah yang begitu mengharukan adalah saat Ma Yan memiliki keinginan untuk membeli pena yang harganya 2 yuan. Ma Yan berharap, saat ia memiliki pena, ia bisa menuliskan keluh kesahnya, harapan dan cita-citanya pada buku tulis yang ia miliki. Untuk mendapatkan pena itu, Ma Yan harus rela berlapar-lapar diri selama dua minggu lamanya. Selama satu pekan, memang Ma Yan diberi uang belanja oleh orang tuanya sebanyak 1 yuan. Uang itu ia simpan terus dan tidak digunakan untuk membeli sayur dan lauk sebagai tambahan menu makannya di sekolah. Jadi, hanya untuk mendapatkan pena itu, Ma Yan harus makan nasi putih saja selama dua minggu! Baginya, tak apa kelaparan, yang penting harapannya untuk memiliki pena yang dicita-citakannya bisa terkabul. Itu saja, harapnya.

Dua pekan lamanya Ma Yan hanya makan nasi putih saja di sekolah. Meski begitu, Ma Yan tak kehilangan akal. Ia memainkan pikirannya dan mengibaratkan dirinya sedang menikmati makanan yang enak dengan sayur, lauk dan daging yang segar. Karena usaha kerasnya itulah, Ma Yan berhasil memiliki pena yang ia inginkan. Buat Ma Yan, tidak ada cita-cita yang mudah , betapa pun sederhananya cita-cita itu. Maka, mulailah ia menulis catatan harian dengan pena yang ia miliki. Berikut ini, aku kutipkan salah satu catatan harian yang ia tulis pada 12 September :

“Ibuku adalah seorang yang luar biasa. Demi kami, anak-anaknya, tidak ada yang tidak dilakukannya. Ibu, kau begitu agung. Aku mencintai semangatmu. Kau sangat kuat, begitu murni. Kau adalah teladan bagi putrimu. Dalam hati putrimu, kau adalah perempuan yang hebat senantiasa”

Menurut Ma Yan, jika sekiranya ia berhasil dalam hidup, keberhasilannya adalah keberhasilan ibunya. Ma Yan menyadari, ibunyalah yang bekerja keras agar ia tetap bisa menempuh pendidikan di saat kondisi perekonomian keluarga sedang kempes. Saat itu, oleh ibunya, Ma Yan diminta untuk berhenti sekolah karena tiadanya yuan untuk membayar biaya sekolahnya. Berdasarkan tradisi yang ada, bila kondisinya sangat mengenaskan, maka hanya anak laki-lakilah yang biasanya ditoleransi untuk meneruskan pendidikan sampai ke jenjang yang lebih tinggi. Sedangkan bagi anak perempuan diberhentikan untuk selanjutnya bekerja menopang penghidupan keluarga.


Ma Yan menolak permintaan ibunya agar berhenti sekolah.  Ia juga memberontak terhadap tradisi yang mengekang anak perempuan untuk melanjutkan pendidikan. Baginya, tak ada perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan dalam hal menempuh pendidikan. Semuanya setara dan mempunyai hak untuk itu. Sebagai jawaban atas permintaan ibunya, Ma Yan kemudian menulis surat pada secarik kertas untuk diberikan pada ibunya. Ironisnya, dikarenakan ibunya yang buta huruf, ia tak bisa membaca surat yang ditulis oleh Ma Yan. Dan, meminta Ma Yan sendiri yang membacakan surat itu di hadapannya.

Sedikit akan aku sertakan kalimat yang ditulis oleh Ma Yan dalam surat yang ditujukan kepada ibunya itu :

”Sekolah adalah persemaian masa depan, peluang untuk meraih sesuatu, berhenti sekolah berarti kehilangan peluang itu”.

Karena terharu akan semangat belajar Ma Yan yang tinggi, sang ibu akhirnya urung untuk menghentikan sekolah Ma Yan. Sang ibu bertekad, anaknya harus terus sekolah agar kemiskinan yang menghiasi kehidupan keluarga mereka tak lagi dirasakan oleh anak-anaknya. Di sinilah tampak begitu besarnya peran ibu bagi perkembangan pendidikan anak. Meski kemiskinan menjerat, bila keinginan untuk belajar ditopang oleh keluarga, terutama orang tua, maka kemiskinan bukanlah penghalang.

Dari buku ini aku memetik sebuah pelajaran tentang pentingnya semangat untuk tetap menjaga cita-cita, mencari ilmu, serta bekerja keras yang merupakan kunci untuk meraih kesuksesan. Ma Yan juga mengajarkan tentang pentingnya untuk menulis catatan harian. Dengan menggunakan pena yang didapatnya dari hasil berlapar-lapar diri, Ma Yan menulis banyak hal di buku catatannya. Tentang Ayah, ibu, teman-teman, hari-hari yang dijalani, juga harapan dan impiannya. Ia munulis catatan harian itu dengan tekun. Ditulisnya apa pun yang tersimpan di benaknya. Kesedihan, keputusasaan, kemarahan sekaligus kebahagiaan. Semuanya! Pada Ma Yan, kita harusnya malu!

Di tengah himpitan ekonomi kedua orang tuanya, Ma Yan masih memiliki semangat yang tinggi untuk belajar. Tak jarang, ia harus ikut membantu kedua orang tuanya di ladang demi mendapatkan yuan yang nantinya akan digunakan sebagai biaya sekolah Ma Yan dan adiknya. Salutnya lagi, Ma Yan juga menulis catatan harian yang berisi harapan dan impiannya untuk tetap menempuh pendidikan di tengah budaya patriarki yang membetot masyarakat di sekitarnya. Sekali lagi saya katakan, pada Ma Yan-Ma Yan yang ada di sekitar kitalah harusnya rasa malu itu ada pada diri kita (*).



 
Support : Mas Template
Copyright © 2011. SHOFA AS-SYADZILI - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website | Edited by Arick Evano
Proudly powered by Blogger