HMI dan Arsip-Arsip yang Terbengkalai

Senin, 18 Februari 2019


Beberapa hari ini, saya melakukan aktivitas yang tak biasa. Menekuni dan menelusuri arsip-arsip lawas. Terutama arsip tahun 1950-an hingga 1998. Minat untuk melacak arsip-arsip lawas ini dikarenakan informasi yang saya dapat saat melakukan pembacaan terhadap sepak terjang Partai Masyumi di saat Pemilu 1955. Saat membaca buku Remy Madinier, Partai Masjumi : Antara Godaan Demokrasi dan Islam Integral, saya menemukan beberapa literature yang dipakainya dalam menulis buku tersebut. Terutama literature yang bersumber dari koran dan majalah.

Dari sanalah saya kemudian melakukan pencarian terhadap koran dan majalah yang dijadikan referensi oleh peneliti Centre Nationale de Recherche Scientifique, Paris, Prancis itu. Penelusuran saya mulai dari harian milik Partai Masyumi yang sempat berjaya di tahun 1950-an, yakni Harian Abadi. Saat mencoba membaca koran Harian Abadi di Perpustakaan Nasional RI yang terletak di jalan Merdeka Selatan, minat untuk tenggelam dalam dunia arsip kemudian tumbuh. Hal ini dikarenakan informasi yang didapat dari menelusuri arsip-arsip lawas itu di luar pengetahuan yang saya dapat selama ini. Terutama pengetahuan soal organisasi di mana saya dulunya sempat berproses di dalamnya, HMI.

Di koran Harian Abadi, edisi 30 November 1958, pada rubrik ‘Kami Perkenalkan’, koran yang afiliasi politiknya ke Partai Masyumi itu mengangkat profil Ketua Departemen Keputrian PB HMI, Titie Raya. Libido saya bangkit seketika untuk membaca koran lawas yang sudah berbentuk microfilm itu. Meski rangkaian kalimat yang tertera pada koran lawas berbentuk microfilm itu sudah agak sulit untuk dibaca, saya memaksakan diri untuk membacanya hingga tuntas. Kacamata saya lepas. Agak sulit membaca koran yang sudah bulukan itu bila masih menggunakan kacamata. Begitu pikirku.

Dalam rubrik itu dikatakan, selain sebagai aktivis di HMI, Titie Raya juga memiliki minat dalam dunia pers. Terbukti ia menjabat sebagai Redaktur pada majalah ‘Wanita’ Jakarta. Tak hanya itu. Titie Raya juga memiliki keahlian dalam berdeklamasi. Pernah pada bulan Juli 1958, dilangsungkan Pekan Kesenian Mahasiswa se-Indonesia di Yogyakarta. Dan Titie Raya ikut sebagai salah satu pesertanya di sana. Kegemarannya dalam membaca puisi dan bakat seni yang ada dalam dirinya, posisi sebagai runner up  pun digondolnya.

Selain memiliki darah seni, Titie Raya juga menyimpan sikap kritis terhadap aktivitas perempuan yang ada saat itu. Terutama munculnya kontes-kontes kecantikan yang berupaya mencari dan menyaring perempuan potensial. Pagelaran itu dikritiknya habis-habisan. Ia tidak setuju terhadap adanya kontes-kontes kecantikan itu, yang menurutnya, para penonton tidaklah melihat pada pakaian yang dikenakan oleh perempuan yang sedang berjalan di atas catwalk itu. Melainkan melihat pada fisik perempuannya saja. Berbeda dengan kontes pakaian pelajar atau mahasiswa yang pernah digelar oleh HMI di Solo. Pada pagelaran kontes yang digelar HMI, aspek kesopanan, praktis, ekonomis, harmonis, dan tentunya memperhatikan norma-norma kesusilaan budaya ketimuran lebih ditekankan dibandingkan pada penonjolan fisik belaka.

Dalam koran Harian Abadi itu juga diterangkan Titie Raya gemar dalam dunia tulis menulis. Terutama dalam menulis cerita-cerita pendek atau cerpen. Kegemarannya itu, katanya, karena menulis bisa dilakukan tanpa meninggalkan aktivitas kuliahnya. Penting untuk diketahui, Titie Raya ini berasal dari Bojonegoro Jawa Timur. Ia menyelesaikan studi SMA-nya di kota Malang kemudian melanjutkan kuliahnya pada Jurusan Ilmu Purbakala, Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Nama aslinya adalah Titie Said Sadikun. Ia lahir pada 11 Juli 1935.

Kembali pada penelusuran arsip-arsip lawas tadi. Setelah membaca profil Titie Raya itu, rasa penasaranku semakin tinggi. Segera saya melacak nama ini. Pada Mbah Google saya bertanya. Saya ketik namanya. Enter. Muncul data tentang sosok Titie Raya ini lengkap beserta karya-karya yang telah ditorehkannya serta aktivitas perjuangannya baik di ranah sastra dan dunia politik. Ternyata, Titie Raya pernah menjabat sebagai anggota DPRD Fraksi Golkar di DPRD Provinsi Bali, tanah kelahiranku.

Saya baca beberapa pendapat dari kalangan sastrawan dan budayawan tentang sosok satu ini. Misalnya dari Paus sastra Indonesia, HB.Jassin, yang mengatakan kalau Titie Raya ini memberikan kesan yang jauh lebih dewasa jika dibandingkan dengan pengarang wanita lainnya. Ajip Rosidi bahkan mengatakan bahwa Titie Raya adalah sosok cerpenis yang sangat terampil dan rajin melukis serta memotret panorama Indonesia lewat karya-karyanya. Pendapat dan pandangan dua sastrawan itu makin membuat rasa penasaranku semakin tinggi.

Segera saja saya menulis beberapa catatan media massa mana saja yang pernah menjadi tempat Titie Raya bekerja dan menuliskan pandangan-pandangannya, baik lewat tulisan berbentuk opini atau pun cerpen. Majalah mingguan Hidup, majalah Wanita, Majalah Brawijaya, Roman, Widjaja, Indonesia, Berita Minggu, Star Weekly,Varia, Sastra, Kartini, Putri Indonesia dan Ananda menjadi target pencarian selanjutnya. Pada buku tulis kecil yang selalu kubawa, tak lupa pula saya tuliskan judul-judul karya tulisnya. Saya ingin melacaknya. Saya ingin membaca karyanya. Mengetahui pandangannya yang disampaikan lewat tulisan-tulisannya itu.

Bermula dari Remy Madinier, saya dituntun ke Harian Abadi, kemudian diperkenalkan ke Yunda Titie Raya dan tenggelam masuk dalam majalah Hikmah yang dikeluarkan oleh pentolan-pentolan Masyumi. Lagi-lagi saya menemukan informasi dan data baru yang belum pernah diketahui sebelumnya saat berproses di HMI. Melalui tulisan Deliar Noer dalam majalah mingguan Hikmah 4 Juni 1955 yang berjudul Sedikit Tentang HMI : Konferensi Akbar di Kaliurang, yang mengatakan bahwa PB HMI pada tahun 1954 pernah menerbitkan majalah dengan nama ‘Media’ yang telah terbit sebanyak 12 edisi. Membaca data itu, semangat investigasiku makin berlipat-lipat.

Saya telusuri lagi nama majalah itu di Perpusnas. Dibantu Akril (HMI Cabang Kendari), saya mengetik nama majalah itu pada komputer yang siap sedia melayani pembaca untuk mencari referensi bacaan yang diperlukan. Alhamdulillah ketemu. Namun hanya ada tiga edisi saja. Itu pun tahun terbitnya bukan tahun 1954, melainkan tahun 1959. Semangat sudah mulai menurun karena tak sesuai ekspektasi. Di sisi lain, pikiranku sudah mulai meraba-raba dan menganalisa tiga edisi majalah Media yang ada di hadapanku. Saya mulai membuka lembar demi lembar majalah Media itu. Membacanya sekilas sambil membayangkan para pendahulu yang bersusah payah menuliskan perjuangan HMI waktu itu.

Saya berpikiran, andai saja para pendahulu itu tak menuliskan aktivitas HMI di masa mereka, maka, saya yakin generasi selanjutnya tak akan pernah mengetahui sepak terjang dan perjuangan HMI di masa lalu. Dengan ditulis, ia abadi. Ia menjadi penjaga ingatan. Menjadi tapak kaki yang perlu untuk ditelusuri jejak-jejaknya. Semakin menelusuri, semakin masuk dalam samudera ilmu pengetahuan tak bertepi, dan semakin tak ingin kembali. Selalu ingin berduaan bersama arsip-arsip lawas itu.

Saya sangat menyayangkan minimnya minat para kader HMI dalam mencari, menjaga dan merawat ‘penyimpan ingatan’ itu. Entah apakah ini dikarenakan kerja-kerja mencari ‘penyimpan ingatan’ itu sepi dari riuh tepuk tangan, puja-puji dan minim materi. Ataukah ini dikarenakan telah menipisnya hasrat kader HMI dalam menekuni dunia pengetahuan dan keintelektualan yang tersimpan dalam buku-buku, arsip, koran dan majalah? Wallahu A’lam. Saya tak tahu. Yang kutahu, kutemukan kenikmatan di sana saat mencari ‘penyimpan ingatan’ itu yang masih berserakan. Dan saat menemukannya, lalu digandakan untuk arsip perpustakaan pribadiku. Menjaganya kemudian melestarikannya sebagai bahan untuk tulisan-tulisanku nantinya.

Jakarta, 19 Februari 2019

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Mas Template
Copyright © 2011. SHOFA AS-SYADZILI - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website | Edited by Arick Evano
Proudly powered by Blogger