Membaca itu Keren

Senin, 21 Januari 2019


Di tahun 2019 ini, aku memancangkan tekad untuk membaca buku lebih banyak lagi dibandingkan tahun sebelumnya. Di awal tahun, tepatnya di tanggal 1 Januari, aku bersama temanku menuju terminal Senen untuk berburu buku bacaan dan majalah. Temanku itu kebetulan juga mempunyai tekad yang sama. Ia hendak membaca buku lebih banyak lagi, katanya kepadaku.

Di terminal Senen itu, aku membeli majalah Tempo, Basis, Gatra, dan majalah Forum. Semuanya sekitar 100 eksemplar banyaknya. Kudapat semua itu dengan harga yang sangat murah. Sekitar Rp.3000,00/eksemplar. Selain majalah, aku juga mendapatkan buku karya Lothrop Stoddard, The Rising Tide of Colour atau Pasang Naik Kulit Berwarna, Filosofi Catur karya Katherine Neville dan Jiwa-Jiwa Mati karya Nikolai V.Gogol.

Kesemuanya hingga kini memang belum terbaca. Hal ini dikarenakan aku juga memburu buku-buku terbitan terbaru yang ada di Gramedia. Dari Gramedia Matraman, hingga tulisan ini dibuat, aku mendapatkan buku Kenang-Kenangan Hidup karya Hamka, Islamofobia karya Karen Armstrong, John L.Esposito, Imam Abdul Malik Mujahid dkk, Assassin karya Bernard Lewis, Marxisme : Asal Usul Ateisme dan Penolakan Kapitalisme karya O.Hashem, Perempuan dan Terorisme karya Leebarty Taskarina, Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan karya Rusdi Mathari, Matinya Kepakaran karya Tom Nichols, Skandal Politik Tokoh-Tokoh Dunia karya Nigel Cawthorne, dan Biografi Politik Mohammad Hatta karya Deliar Noer.

Bagiku, mengumpulkan bacaan berupa buku itu ibarat mengumpulkan bahan makanan agar mampu memenuhi kebutuhan selama sebulan lamanya. Kebiasaan pergi ke lapak-lapak buku adalah kebiasaanku sejak dulu kuliah di Surabaya. Koleksi bacaan yang kumiliki membuatku tak mengalami kebingungan saat hendak mencari bahan untuk dibaca. Tinggal mengambil saja di antara tumpukan buku yang ada di kamar tidurku. Bila ide datang, tinggal memilih referensi yang ada yang kumiliki. Dibaca sebentar, lalu menuliskan ide yang datang itu. Itulah manfaat yang kudapatkan dari berburu buku dan mengkoleksinya kemudian.

Memang sih tidak semua buku itu terbaca. Ada di antara buku-buku itu yang masih tersegel plastik. Melekat juga harganya. Bagiku, itu tak jadi soal. Suatu saat buku itu pasti terbaca semuanya. Misalnya saja buku seri Historia terbitan Kompas. Dari buku seri Historia terbitan Kompas itu, aku baru memiliki dua buah. Pertama, Hamka : Ulama’ Serba Bisa Dalam Sejarah Indonesia, dan Ho Chi Minh dan Sukarno. Keduanya kubeli di tahun 2018.

Dari kedua buku itu, baru Hamka yang selesai dibaca pada 18 Januari lalu. Itu pun karena aku penasaran dengan sosok ulama kelahiran Maninjau itu. Meski namanya sering kudengar, terutama saat kuliah dulu, karya-karyanya tak semuanya kubaca. Yang terbaca hingga tuntas hanya novelnya yang berjudul Tenggelamnya Kapan van Der Wijcks. Selainnya, masih belum.

Dari buku seri Historia terbitan Kompas itulah aku tertarik untuk mengetahui lebih jauh sosok satu ini. Kemudian aku mengeluarkan buku-buku terkait Hamka lainnya yang ada di tumpukan buku di kamarku. Ada dua koleksi buku yang berbicara soal kehidupan Hamka yang kumiliki. Pertama, Kenang-Kenangan Hidup karya Hamka, kedua Adicerita Hamka : Visi Islam Sang Penulis Besar untuk Indonesia Modern karya James R.Rush. Kedua buku itu aku baca di bulan Januari ini secara bergantian.

Saat membaca kedua buku itu, kadang aku menyelinginya dengan membaca novel sastra. Bagiku, saraf otak juga perlu dilemaskan bila dirasa tegang saat membaca buku-buku serius. Obatnya ya membaca juga. Tapi yang dibaca buku dengan genre yang berbeda. Yakni sastra. Dengan membaca sastra, saraf otak mengendur kembali. Rileks. Nyaman. Karena alur ceritanya berjalan mengalir hingga jalan cerita terakhir.

Selama bulan Januari 2019 ini, buku yang terbaca tuntas hanya Hamka seri Historia dan Sengsara Membawa Nikmat-nya Tulis St.Sati. Selebihnya masih separuh yang sudah dibaca. Assassin karya Bernard Lewis pun baru sampai Bab 2 yang terbaca. Selebihnya masih belum. Sedangkan Kenang-Kenangan Hidup karya Hamka, yang berisi empat jilid atau empat bagian dengan jumlah halaman sebanyak 656, baru terbaca jilid satunya saja. Selebihnya masih berjalan. Adicerita Hamka pun baru mencapai 29 halaman yang terbaca.

Bagiku, membaca dengan pola demikian, yang melompat-lompat, tak menjadi persoalan. Inilah yang disebut oleh Hernowo Hasim dengan istilah membaca pola ngemil. Kita membacanya sedikit demi sedikit. Dan tekadku, membacanya hingga tuntas lembar demi lembarnya. Alhamdulillah, hingga tanggal 22 Januari ini, baru dua buku yang tumpas terbaca. Hamka seri Historia dan Sengsara Membawa Nikmat, Tulis St.Sati. Yang lainnya, masih proses pembacaan hingga kini. Semoga Allah memberikan kekuatan kepadaku untuk terus semangat dan diberi motivasi untuk terus membaca.

Jakarta, 22 Januari 2019

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Mas Template
Copyright © 2011. SHOFA AS-SYADZILI - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website | Edited by Arick Evano
Proudly powered by Blogger