Di
tahun 2019 ini, aku memancangkan tekad untuk membaca buku lebih banyak lagi
dibandingkan tahun sebelumnya. Di awal tahun, tepatnya di tanggal 1 Januari, aku
bersama temanku menuju terminal Senen untuk berburu buku bacaan dan majalah.
Temanku itu kebetulan juga mempunyai tekad yang sama. Ia hendak membaca buku
lebih banyak lagi, katanya kepadaku.
Di
terminal Senen itu, aku membeli majalah Tempo, Basis, Gatra, dan majalah Forum.
Semuanya sekitar 100 eksemplar banyaknya. Kudapat semua itu dengan harga yang
sangat murah. Sekitar Rp.3000,00/eksemplar. Selain majalah, aku juga
mendapatkan buku karya Lothrop Stoddard, The Rising Tide of Colour atau Pasang
Naik Kulit Berwarna, Filosofi Catur karya Katherine Neville dan Jiwa-Jiwa Mati
karya Nikolai V.Gogol.
Kesemuanya
hingga kini memang belum terbaca. Hal ini dikarenakan aku juga memburu
buku-buku terbitan terbaru yang ada di Gramedia. Dari Gramedia Matraman, hingga
tulisan ini dibuat, aku mendapatkan buku Kenang-Kenangan Hidup karya Hamka,
Islamofobia karya Karen Armstrong, John L.Esposito, Imam Abdul Malik Mujahid
dkk, Assassin karya Bernard Lewis, Marxisme : Asal Usul Ateisme dan Penolakan
Kapitalisme karya O.Hashem, Perempuan dan Terorisme karya Leebarty Taskarina,
Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan karya Rusdi Mathari, Matinya Kepakaran
karya Tom Nichols, Skandal Politik Tokoh-Tokoh Dunia karya Nigel Cawthorne, dan
Biografi Politik Mohammad Hatta karya Deliar Noer.
Bagiku,
mengumpulkan bacaan berupa buku itu ibarat mengumpulkan bahan makanan agar
mampu memenuhi kebutuhan selama sebulan lamanya. Kebiasaan pergi ke lapak-lapak
buku adalah kebiasaanku sejak dulu kuliah di Surabaya. Koleksi bacaan yang
kumiliki membuatku tak mengalami kebingungan saat hendak mencari bahan untuk
dibaca. Tinggal mengambil saja di antara tumpukan buku yang ada di kamar
tidurku. Bila ide datang, tinggal memilih referensi yang ada yang kumiliki.
Dibaca sebentar, lalu menuliskan ide yang datang itu. Itulah manfaat yang
kudapatkan dari berburu buku dan mengkoleksinya kemudian.
Memang
sih tidak semua buku itu terbaca. Ada di antara buku-buku itu yang masih
tersegel plastik. Melekat juga harganya. Bagiku, itu tak jadi soal. Suatu saat
buku itu pasti terbaca semuanya. Misalnya saja buku seri Historia terbitan
Kompas. Dari buku seri Historia terbitan Kompas itu, aku baru memiliki dua
buah. Pertama, Hamka : Ulama’ Serba Bisa Dalam Sejarah Indonesia, dan Ho Chi
Minh dan Sukarno. Keduanya kubeli di tahun 2018.
Dari
kedua buku itu, baru Hamka yang selesai dibaca pada 18 Januari lalu. Itu pun
karena aku penasaran dengan sosok ulama kelahiran Maninjau itu. Meski namanya
sering kudengar, terutama saat kuliah dulu, karya-karyanya tak semuanya kubaca.
Yang terbaca hingga tuntas hanya novelnya yang berjudul Tenggelamnya Kapan van
Der Wijcks. Selainnya, masih belum.
Dari
buku seri Historia terbitan Kompas itulah aku tertarik untuk mengetahui lebih
jauh sosok satu ini. Kemudian aku mengeluarkan buku-buku terkait Hamka lainnya
yang ada di tumpukan buku di kamarku. Ada dua koleksi buku yang berbicara soal
kehidupan Hamka yang kumiliki. Pertama, Kenang-Kenangan Hidup karya Hamka,
kedua Adicerita Hamka : Visi Islam Sang Penulis Besar untuk Indonesia Modern
karya James R.Rush. Kedua buku itu aku baca di bulan Januari ini secara
bergantian.
Saat
membaca kedua buku itu, kadang aku menyelinginya dengan membaca novel sastra.
Bagiku, saraf otak juga perlu dilemaskan bila dirasa tegang saat membaca
buku-buku serius. Obatnya ya membaca juga. Tapi yang dibaca buku dengan genre
yang berbeda. Yakni sastra. Dengan membaca sastra, saraf otak mengendur
kembali. Rileks. Nyaman. Karena alur ceritanya berjalan mengalir hingga jalan
cerita terakhir.
Selama
bulan Januari 2019 ini, buku yang terbaca tuntas hanya Hamka seri Historia dan
Sengsara Membawa Nikmat-nya Tulis St.Sati. Selebihnya masih separuh yang sudah
dibaca. Assassin karya Bernard Lewis pun baru sampai Bab 2 yang terbaca.
Selebihnya masih belum. Sedangkan Kenang-Kenangan Hidup karya Hamka, yang
berisi empat jilid atau empat bagian dengan jumlah halaman sebanyak 656, baru
terbaca jilid satunya saja. Selebihnya masih berjalan. Adicerita Hamka pun baru
mencapai 29 halaman yang terbaca.
Bagiku,
membaca dengan pola demikian, yang melompat-lompat, tak menjadi persoalan.
Inilah yang disebut oleh Hernowo Hasim dengan istilah membaca pola ngemil. Kita
membacanya sedikit demi sedikit. Dan tekadku, membacanya hingga tuntas lembar
demi lembarnya. Alhamdulillah, hingga tanggal 22 Januari ini, baru dua buku yang tumpas terbaca. Hamka seri Historia dan Sengsara Membawa Nikmat, Tulis
St.Sati. Yang lainnya, masih proses pembacaan hingga kini. Semoga Allah
memberikan kekuatan kepadaku untuk terus semangat dan diberi motivasi untuk
terus membaca.
Jakarta,
22 Januari 2019
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !