Ma Yan, Kisah Pendidikan Gadis Kecil di Pedalaman China

Jumat, 13 April 2018


Kali ini, aku akan mereview buku yang ditulis oleh Sanie B.Kuncoro yang berjudul ‘Ma Yan, Perjuangan dan Mimpi Gadis Kecil Miskin di pedalaman China untuk Meraih Pendidikan’. Buku ini sebenarnya sudah pernah saya baca beberapa tahun lalu saat masih di Surabaya. Dan, kini aku tergerak membacanya kembali untuk kedua kalinya. Kupikir tak ada salahnya membaca ulang buku-buku yang sudah terbaca bukan? Konon, dengan membaca ulang buku yang sudah terbaca, kita akan dapat menemukan satu pengetahuan dan pembacaan baru dari apa yang sudah dibaca sebelumnya.

Aku yang pernah membaca buku ini beberapa tahun lalu di Surabaya, sebenarnya lupa dengan alur cerita yang ada di dalamnya. Namun, saat melakukan pembacaan untuk yang kedua kalinya, aku ditarik masuk kembali dalam cerita yang ada di buku ini. Dan sungguh, aku menemukan hikmah, pengetahuan, dan motivasi baru yang kudapat saat membaca ulang buku ini.

Buku ini diangkat dari kisah nyata yang mengambil desa Zhangjishu sebagai latarnya. Desa yang jaraknya ribuan kilometer dari Beijing ini, menunjukkan wajah lain dari China yang terkenal karena revolusi kebudayaannya. Kisah dalam buku ini bermula dari kedatangan kelompok ekspedisi ke desa terpencil itu. Saat hendak berangkat untuk melanjutkan perjalanan ke Yinchuan, ibu kota di wilayah Ningxia, kelompok ekspedisi ini dihentikan oleh seorang perempuan yang tergopoh-gopoh mengejar mobil yang mereka tumpangi. Perempuan itu kemudian mengajak kelompok ekspedisi itu ke kediamannya yang sangat sederhana. Perempuan itu kemudian menyerahkan tiga buah buku tulis berwarna coklat yang berisi tulisan tangan berhuruf China beserta sebuah surat bersampul.

Di sinilah cerita itu dimulai. Ternyata, tiga buah buku tulis berwarna cokelat beserta surat bersampul itu adalah catatan seorang anak kecil berusia 12 tahun bernama Ma Yan, anak dari perempuan yang menghentikan kelompok ekspedisi tadi. Catatan harian itu berisi semua harapan dan cita-cita Ma Yan yang memiliki keinginan untuk terus menempuh pendidikan meski kondisi orang tuanya yang diselimuti kemiskinan.

Kedua orang tua Ma Yan, adalah buruh tidak tetap dengan bayaran yang pas-pasan yang cukup hanya buat makan saja. Jangankan untuk membayar biaya pendidikan, untuk makan saja bahkan terkadang tidak cukup. Sebuah kondisi kemiskinan yang mengenaskan bagi sebuah keluarga dan tak akan bisa dijelaskan dengan kata-kata. Bagi Ma Yan, dunia ini tidak asing dengan kemiskinan dan tidak semua orang tahu seperti apa dan bagaimana kemiskinan itu sesungguhnya hingga ia mencecapnya sendiri.

Meski demikian, semangat orang tua Ma Yan, terutama ibunya, menginginkan agar kemiskinan itu tak menurun pada anak-anaknya. Kemudian mereka berinisiatif dan berusaha sekuat tenaga untuk menyekolahkan kedua anaknya pada sebuah sekolah yang jaraknya sekitar 20 kilometer dari rumah mereka. Setiap hari, Ma Yan dan adiknya harus menempuh perjalanan sejauh itu dengan berjalan kaki melewati jalan berbatu dan jurang. Terkadang, saat perjalanan ke sekolah itu, mereka harus menghadapi para pembegal yang merampas apa saja yang mereka miliki. Tak hanya bekal sekolah mereka, melainkan juga buku dan pena yang mereka miliki.

Kisah yang begitu mengharukan adalah saat Ma Yan memiliki keinginan untuk membeli pena yang harganya 2 yuan. Ma Yan berharap, saat ia memiliki pena, ia bisa menuliskan keluh kesahnya, harapan dan cita-citanya pada buku tulis yang ia miliki. Untuk mendapatkan pena itu, Ma Yan harus rela berlapar-lapar diri selama dua minggu lamanya. Selama satu pekan, memang Ma Yan diberi uang belanja oleh orang tuanya sebanyak 1 yuan. Uang itu ia simpan terus dan tidak digunakan untuk membeli sayur dan lauk sebagai tambahan menu makannya di sekolah. Jadi, hanya untuk mendapatkan pena itu, Ma Yan harus makan nasi putih saja selama dua minggu! Baginya, tak apa kelaparan, yang penting harapannya untuk memiliki pena yang dicita-citakannya bisa terkabul. Itu saja, harapnya.

Dua pekan lamanya Ma Yan hanya makan nasi putih saja di sekolah. Meski begitu, Ma Yan tak kehilangan akal. Ia memainkan pikirannya dan mengibaratkan dirinya sedang menikmati makanan yang enak dengan sayur, lauk dan daging yang segar. Karena usaha kerasnya itulah, Ma Yan berhasil memiliki pena yang ia inginkan. Buat Ma Yan, tidak ada cita-cita yang mudah , betapa pun sederhananya cita-cita itu. Maka, mulailah ia menulis catatan harian dengan pena yang ia miliki. Berikut ini, aku kutipkan salah satu catatan harian yang ia tulis pada 12 September :

“Ibuku adalah seorang yang luar biasa. Demi kami, anak-anaknya, tidak ada yang tidak dilakukannya. Ibu, kau begitu agung. Aku mencintai semangatmu. Kau sangat kuat, begitu murni. Kau adalah teladan bagi putrimu. Dalam hati putrimu, kau adalah perempuan yang hebat senantiasa”

Menurut Ma Yan, jika sekiranya ia berhasil dalam hidup, keberhasilannya adalah keberhasilan ibunya. Ma Yan menyadari, ibunyalah yang bekerja keras agar ia tetap bisa menempuh pendidikan di saat kondisi perekonomian keluarga sedang kempes. Saat itu, oleh ibunya, Ma Yan diminta untuk berhenti sekolah karena tiadanya yuan untuk membayar biaya sekolahnya. Berdasarkan tradisi yang ada, bila kondisinya sangat mengenaskan, maka hanya anak laki-lakilah yang biasanya ditoleransi untuk meneruskan pendidikan sampai ke jenjang yang lebih tinggi. Sedangkan bagi anak perempuan diberhentikan untuk selanjutnya bekerja menopang penghidupan keluarga.


Ma Yan menolak permintaan ibunya agar berhenti sekolah.  Ia juga memberontak terhadap tradisi yang mengekang anak perempuan untuk melanjutkan pendidikan. Baginya, tak ada perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan dalam hal menempuh pendidikan. Semuanya setara dan mempunyai hak untuk itu. Sebagai jawaban atas permintaan ibunya, Ma Yan kemudian menulis surat pada secarik kertas untuk diberikan pada ibunya. Ironisnya, dikarenakan ibunya yang buta huruf, ia tak bisa membaca surat yang ditulis oleh Ma Yan. Dan, meminta Ma Yan sendiri yang membacakan surat itu di hadapannya.

Sedikit akan aku sertakan kalimat yang ditulis oleh Ma Yan dalam surat yang ditujukan kepada ibunya itu :

”Sekolah adalah persemaian masa depan, peluang untuk meraih sesuatu, berhenti sekolah berarti kehilangan peluang itu”.

Karena terharu akan semangat belajar Ma Yan yang tinggi, sang ibu akhirnya urung untuk menghentikan sekolah Ma Yan. Sang ibu bertekad, anaknya harus terus sekolah agar kemiskinan yang menghiasi kehidupan keluarga mereka tak lagi dirasakan oleh anak-anaknya. Di sinilah tampak begitu besarnya peran ibu bagi perkembangan pendidikan anak. Meski kemiskinan menjerat, bila keinginan untuk belajar ditopang oleh keluarga, terutama orang tua, maka kemiskinan bukanlah penghalang.

Dari buku ini aku memetik sebuah pelajaran tentang pentingnya semangat untuk tetap menjaga cita-cita, mencari ilmu, serta bekerja keras yang merupakan kunci untuk meraih kesuksesan. Ma Yan juga mengajarkan tentang pentingnya untuk menulis catatan harian. Dengan menggunakan pena yang didapatnya dari hasil berlapar-lapar diri, Ma Yan menulis banyak hal di buku catatannya. Tentang Ayah, ibu, teman-teman, hari-hari yang dijalani, juga harapan dan impiannya. Ia munulis catatan harian itu dengan tekun. Ditulisnya apa pun yang tersimpan di benaknya. Kesedihan, keputusasaan, kemarahan sekaligus kebahagiaan. Semuanya! Pada Ma Yan, kita harusnya malu!

Di tengah himpitan ekonomi kedua orang tuanya, Ma Yan masih memiliki semangat yang tinggi untuk belajar. Tak jarang, ia harus ikut membantu kedua orang tuanya di ladang demi mendapatkan yuan yang nantinya akan digunakan sebagai biaya sekolah Ma Yan dan adiknya. Salutnya lagi, Ma Yan juga menulis catatan harian yang berisi harapan dan impiannya untuk tetap menempuh pendidikan di tengah budaya patriarki yang membetot masyarakat di sekitarnya. Sekali lagi saya katakan, pada Ma Yan-Ma Yan yang ada di sekitar kitalah harusnya rasa malu itu ada pada diri kita (*).



Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Mas Template
Copyright © 2011. SHOFA AS-SYADZILI - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website | Edited by Arick Evano
Proudly powered by Blogger