Belajar Kehidupan Pada Tokoh-Tokoh Dalam Buku Mahabharata

Kamis, 12 April 2018


Ini tulisan pertamaku setelah sekian lamanya tak jua menulis di blog yang kumiliki. Setelah menimbang-nimbang, ada baiknya blog ini kembali diisi dengan tulisanku. Ok. Untuk kali ini dan selanjutnya, aku upayakan untuk menulis resensi buku. Buku apa pun itu. Yang jelas buku itu harus sudah dibaca olehku. Tujuan menulis resensi buku ini, bukanlah tanpa alasan.

Pertama selain untuk memanjangkan ingatan atas apa yang telah dibaca, ia juga merupakan upaya untuk melatih kebiasaan menulisku yang selama ini jarang diasah kembali. Mungkin dengan metode dan jalan ini, kebiasaanku menulis akan kembali lancar seperti semula. Amat sangat disayangkan tentunya bila beberapa buku yang sudah dibaca tidak ada reviewnya yang bisa dibaca oleh semua orang.

Sebagai pribadi yang gila pada bacaan, aku tak mau menyia-nyiakan waktuku. Dari itu, melalui tulisan ini, aku hendak mereview setiap buku yang tumpas terbaca olehku di tahun 2018 ini. Kali ini, buku yang hendak kureview  itu berjudul Mahabharata karya C.Rajagopalachari.

Buku ini memang bukan milikku. Ia milik adikku yang juga penggagas Gerakan Situbondo Membaca. Aku membawa buku ini, bersama juga buku-buku lainnya, sebagai bahan bacaan menjelang keberangkatanku menuju Surabaya. Sudah menjadi kebiasaanku dan adikku untuk saling bertukar buku. Dulu, saat masih di Surabaya, kalau adekku ini bermain ke kosku, maka ia akan membawa beberapa puluh buku yang hendak dibaca olehnya baik saat di perjalanan atau pun saat di rumahnya. Begitu pun yang aku lakukan. Bisa dibilang, kami berdua sama-sama pencinta buku dan pembaca buku yang rakus. Selanjutnya, kita kembali kepada buku yang telah kubaca dan akan kupaparkan hasil bacaannya kepada semua pembaca.

Buku Mahabharata ini memaparkan kisah tentang peperangan antara Pandawa dan Kurawa. Mungkin untuk membaca bukunya, baru kali ini aku lakukan. Sebelum-sebelumnya, aku hanya tahu mahabharata hanya lewat film yang diputar oleh stasiun televisi swasta di tahun 1990-an, yakni Televisi Pendidikan Indonesia (TPI).

Tentu berbeda rasanya saat melihat filmnya dan membaca langsung karyanya. Ada nuansa batin yang tak kutemukan saat menonton film ini di masa dulu. Berbeda rasanya saat membaca buku ini. Sejak dari bab pertama aku sudah langsung terkesima dengan pembukaan yang dihidangkan oleh Rajagopalachari. Dia menuturkan bahwa kisah Mahabharata ini dihasilkan oleh Resi Wiyasa dan ditulis oleh Ganapati. Penting dipaparkan lewat tulisan ini hubungan dua sosok berilmu ini.

Keduanya dipertemukan karena kelahiran kisah ini oleh Resi Wiyasa. Sebagai seorang suci, Resi Wiyasa meminta kepada Dewa Brahma agar dapat memberikan petunjuk padanya siapakah sosok yang tepat untuk menuliskan cerita yang telah dihasilkannya. Maka Dewa Brahma menyarankan pada Resi Wiyasa untuk menghubungi Ganapati. Sebagai juru tulis, Ganapati memberi syarat pada Resi Wiyasa agar ia mengisahkan kisah mahabharata ini tanpa menghentikan pena saat ia sedang menuliskannya. Resi Wiyasa setuju tapi juga dengan mengajukan syarat agar Ganapati memahami dulu makna yang didiktekan itu sebelum ditulis.

Dari sini, aku mulai penasaran untuk terus membuka buku ini lembar demi lembarnya. Aku juga dibuat kelabakan oleh Rajagopalachari lewat tulisan ini. Dan saya sempat berpikir, “apakah penulis buku ini tak kebingungan menulisnya karena banyaknya tokoh serta karakter yang ada di dalamnya?”

Pertanyaan ini melintas di kepalaku karena aku tak menyangka akan banyak tokoh yang disebut dan diceritakan oleh penulis buku ini. Yang mengharukan tentunya saat terjadinya perang Baratayudha antara Kurawa dan Pandawa di padang Kurusetra. Perang ini terjadi bermula karena permainan dadu yang digagas oleh sosok licik bernama Sengkuni untuk melawan Yudhistira. Sebagai orang yang berpengalaman dalam hal bermain dadu, Sengkuni meminta Yudhistira untuk bermain dadu dengan membuat taruhan apapun yang menjadi hak milik dari para Pandawa. Termasuk juga istri Pandawa, Drupadi.

Karena kalah dalam permainan dadu tersebut, Pandawa harus pergi dan menyepi ke hutan selama tiga belas tahun dengan satu tahunnya harus melakukan penyamaran tanpa diketahui oleh siapapun. Di sinilah, konflik dimulai yang membuat pembaca mengharu biru. Perjalanan para Pandawa dari hutan ke hutan, dari tempat suci yang satu ke tempat suci lainnya, dari persembunyian yang satu ke persembunyian lainnya, membuat pembaca diseret masuk dalam konflik batin oleh penulis buku ini.

Hati semakin kalut kala membaca bab-bab tentang pertarungan di medan Kurusetra. Dipaparkan dengan jelas bagaimana para Pandawa menghabisi seratus anak Destarata termasuk juga Duryudana. Taktik dan teknik berperang juga disertai dengan berbagai macam formasi perang di masa lampau. Begitu lihainya penulis buku ini mengacak-acak memori dan batin pembaca saat sampai pada pertarungan demi pertarungan antara anak-anak Dewi Kunti dengan putra-putra Destarata dan Putri Gandari.

Tak hanya itu, buku ini juga berisi berbagai ajaran filosofis dharma yang dituturkan oleh masing-masing tokoh yang ada. Ini membuat pembaca secara tidak langsung bisa belajar sekaligus menyerap kalimat-kalimat bijak yang ada di dalamnya. 

Usai membaca buku, ini pembaca akan sampai pada sebuah kesimpulan, bahwa keserakahan, tamak pada harta dan kekuasaan, akan membuat manusia jatuh pada lubang kehancuran. Kisah perang Baratayudha antara Pandawa dan Kurawa adalah roman epik yang memberikan pencerahan jiwa pada manusia lewat kisah-kisah yang dituturkan di dalamnya. Pada Bhisma, Yudhistira, Arjuna, Bima, Nakula, Sadewa, Duryudana, si bijak Widura dan Sanjaya, serta tokoh licik Sengkuni sekalipun, kita bisa belajar bagaimana selayaknya hidup di dunia ini harus dijalani.

Sebagai penutup tulisan ini, buku ini pun memiliki ciri khas yang ada dalam tiap babakan kisah yang ada di dalamnya. Yakni, adanya kutuk mengutuk antara masing-masing tokoh. Kutuk mengutuk ini kalau di dalam ajaran Hindu ibarat berjalannya karma atas diri manusia yang berbuat kebaikan atau kejahatan pasti akan dibalas setimpal dengan ukuran perbuatannya sendiri. Jadi, lewat buku ini, kita juga diajarkan bahwa tiap-tiap manusia mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri-sendiri (*).
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Mas Template
Copyright © 2011. SHOFA AS-SYADZILI - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website | Edited by Arick Evano
Proudly powered by Blogger