Akhirnya
selesai juga kusigi buku setebal 270 halaman ini. Buku yang menarik dan
memancing naluriku untuk terus membukanya lembar demi lembar. Di dalamnya
menjelaskan prihal proses kreatif 14 penulis senior. Ada yang namanya sudah
sering terdengar di telinga. Ada yang belum sama sekali kuketahui. Namun,
setelah membacanya, aku jadi tahu bagaimana proses kreatif masing-masing
penulis senior itu dalam menelurkan karyanya.
Dari
14 penulis tersebut, ada beberapa yang pemaparannya sangat mengasyikkan dan tak
menjemukan. Misalnya tulisan Ayu Utami, Seno Gumira Ajidarma, Ahmad Tohari dan
tentunya yang akan dikupas pada tulisan ini, Motinggo Busye. Namun, bukan
berarti penulis lainnya yang tidak aku sebutkan di sini, tulisannya tidak
bagus. Tidak. Hanya saja aku belum mampu mencerna begitu dalam pemaparan mereka
dalam buku ini.
Misalnya
tulisan Afrizal Malna, Rasionalisasi atas Pengalaman Kreatif. Mungkin benar
kata Martin Suryajaya saat acara ‘Malam Anugerah Sayembara Kritik Sastra 2017’
di Galeri Cipta III Taman Ismail Marzuki beberapa hari lalu. Menurut Martin,
tulisan-tulisan Afrizal, baik esai atau pun sajak-sajaknya selalu dipenuhi
dengan kegelapan dan absurditas. Dan itulah yang kurasakan saat membaca tulisan
Afrizal Malna dalam buku ini. Aku kebingungan mencari makna dan pesan yang
hendak disampaikannya pada pembaca melalui tulisannya itu. Kebingunganku
mungkin dikarenakan perbendaharaan kata yang kumiliki sangatlah sedikit dan
minim dibandingkan olehnya.
Di
sisi lain, ada beberapa kalimatnya mampu membius kesadaranku. Hingga kalimat
itu aku beri pagar dengan tinta agar tidak dapat lari ke mana-mana. Kelak,
mungkin aku butuh kalimat itu untuk menjadi bagian dari proses menulisku. Tak
hanya tulisan Afrizal Malna yang aku beri pagar. Tulisan lain pun demikian
juga. Aku memberinya pagar sebagai penanda agar saat aku membutuhkan, aku tak
kesulitan lagi untuk mencarinya. Hanya tinggal membuka halaman buku itu dan
mencari alamat dengan tanda pagar itu.
Dari
14 penulis dalam buku ini, semuanya ternyata menghasilkan karyanya dari ide
yang di dapat di sekeliling mereka. D.Zawawi Imron, Acep Zamzam Noor, Ngurah
Parsua, Akhudiat, Herlino Soleman adalah penulis yang menyerap ide dI sekitar
mereka. Di sini, aku berpikir, ternyata ide itu tidak perlu dicari. Ia ada di
sekitar kita. Di dekat kita. Kitalah yang memungutnya hendak diproses seperti
apa ide yang masih belum tampak itu. Benar kata Darman Moenir bahwa menulis itu
mengkonkretkan yang abstrak. Untuk tema ini, mungkin nanti saya akan menulis di
lain kesempatan. Maklum, hanya ada dua tulisan dalam buku ini yang belum aku
cerna betul. Yaitu tulisannya Afrizal Malna dan Darman Moenir. Aku masih
penasaran dan ingin membacanya lagi nanti. Nuansa tulisan kedua penulis itu ada
bau-bau filsafatnya, jadi ini yang membuatku penasaran.
Selanjutnya,
aku ingin membagi resep menulis yang biasa dilakukan oleh Motinggo Busye. Jujur,
aku belum membaca semua karyanya. Hanya satu yang kubaca dan kumiliki. Yakni
buku berjudul “Fatimah Chen Chen”. Meski sudah sering melihat namanya pada
buku-buku sastra yang dipajang di lapak buku, namun belum ada hasrat untuk
memungutnya. Entah. Mungkin karena belum berjodoh. Dan kali ini, lewat buku ini,
aku membaca satu lagi karya tulisnya terkait proses kreatifnya saat
menghasilkan sebuah tulisan. Tak hanya itu. Ia juga membagi resep dapur
kepenulisannya. Seusai membacanya aku berniat, kelak saat ke toko buku, aku
akan mencari buku-buku lain dari karya penulis kelahiran Kupangkota, Lampung 21
November 1937 itu.
Ada
tiga rahasia dapur menulis Motinggo Busye yang dijelaskannya dalam buku ini.
Pertama, kalimat yang ia rangkai umumnya sangatlah singkat dan terhenti ketika
merasa napas sudah selesai di situ. Dan aku merasakan betul dalam tulisannya
yang kubaca dalam buku yang diterbitkan oleh KPG ini. Kalimatnya
sangat ringkas. Mudah dimengerti. Dan tak perlu mengernyitkan kening.
Rahasia
kedua dari Motinggo Busye adalah penggunaan kalimat aktif dibanding kalimat
pasif. Ia mencontohkan pada kalimat ‘Mukaku ditinju Rahmat’. Kalimat ini
diubahnya menjadi ‘Rahmat Meninju Mukaku’. Menurutnya, Rahmat berperan penting
lebih dari peran si aku.
Selanjutnya
rahasia ketiga dari dapur menulis Motinggo Busye adalah membuka persoalan
langsung. Tanpa bertela-tele. Ia mencomot satu contoh kalimat pembuka dalam
cerpen yang ditulisnya, Dalam Kelam. Kalimatnya begini :
“Setelah
dia tidak tahu lagi tidak ada pekerjaan untuk mengatasi penganggurannya, maka
dia memilih bekerja sebagai orang gila”.
Tanpa
ba bi bu dan deskripsi apapun, ia langsung saja ke pokok persoalan yang hendak
disampaikan lewat cerpennya itu. Inilah yang kudapat dari Motinggo Busye
dalam buku ini. Selain tentu juga resep menulis dari para penulis lainnya.
Ada
satu pesan lagi dari Motinggo Busye yang belum aku utarakan, yaitu kesadaran
menulis. Ia menyarankan pada kita selaku pembaca yang ingin menekuni dunia
tulis menulis agar menjadi pengarang sadar. Pengarang sadar ini maksudnya
pengarang yang ketika mengarang ia sadar betul apa yang dia tulis, dan sadar
betul apa perasaan pembacanya ketika dia menulis. Di titik ini, aku lagi-lagi
mendapat pencerahan darinya. Motinggo Busye juga istiqomah menulis seusai
sholat subuh dari jam 5 pagi hingga jam 7-8. Tiga jam waktu untuk menulis ini
sedikit banyak memberiku motivasi agar membiasakan diri untuk menulis seusai
sholat subuh (*)
Jakarta,
02 September 2017.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !