Terbongkarnya vendor penyebar kebencian berkonten SARA bernama Saracen,oleh Satgas Patroli Siber Bareskrim Mabes Polri mencengangkan warganet. Bagaimana tidak. Kelompok yang beroperasi di media sosial ini telah menjalankan aksinya sejak November 2015 dan memiliki akun sebanyak 800.000 yang digunakan untuk menyebarkan ujaran kebencian dan informasi hoax. Ditenggarai, kelompok ini memiliki struktur layaknya sebuah organisasi dengan pembagian kerja yang jelas dan teratur (Sindo,Kamis 24/8).
Pemilihan judul di atas sengaja penulis ambil untuk mengingatkan kembali akan peran seorang panglima militer bernama Nicheporus Pocas di era kekaisaran Bizantium masih di tangan Kaisar Romanus II. Di tangan panglima yang memiliki keahlian strategi militer itu, ia bersama pasukannya melakukan ekspedisi ke Kreta, dan pada tanggal 7 Maret 961 berhasil merebut Ibukota Candia (Heraklion) dari kaum Saracen yang telah menduduki pulau itu selama 134 tahun lamanya.
Tak cukup itu saja prestasi gemilang yang ditorehkan oleh Nicheporus Pocas. Di tangannya pula, Konstantinopel dikangkanginya pada 16 Agustus 963. Tak puas dengan itu, armada militer yang dipimpinnya juga merebut Tarsus dari tangan kaum Saracen pada 965 dan menjadikan kota itu sebagai basis markas militer pasukannya untuk merebut kembali Siprus yang dikuasai 332 tahun lamanya oleh pasukan Arab. Karena kegarangannya di medan perang itulah ia dijuluki ‘Kematian Pucat Kaum Saracen’. Gambaran tentang sepak terjang panglima militer yang akhirnya tewas dibunuh oleh John Tzimisces, sepupu Nicheporus Pocas sendiri, dilukiskan secara menarik oleh John Freely dalam Istanbul : The Imperial City.
Mendengar nama ‘Saracen’, ingatan kita akan ditarik pada awal-awal perkembangan Islam di Eropa pada abad pertengahan. Istilah Saracen ini, lahir pada awal abad ke-9 dalam bahasa Inggris pertengahan untuk menyebut orang-orang Arab yang melakoni kehidupan secara nomaden (Denise A.Spellberg,2013). Di sisi lain, pada kata Saracen dalam literature-literature yang ditulis oleh penulis Barat, juga dianggap melekat hal-hal yang berbau negatif. Kejam, bengis, biadab, berprilaku barbar dan kerap melakukan aksi-aksi vandal (Roger Crowley,2005).
Philip K.Hitti dalam The History of Arab menjelaskan dengan lebih detail lagi prihal asal usul munculnya kata Saracen ini. Menurutnya, Saracen merujuk pada orang-orang Arab dan para perwira tinggi Arab dalam barisan angkatan perang Xerxes yang berasal dari Mesir Timur.
Menarik kiranya, bila pembahasan prihal Saracen juga menyertakan ulasan Abdul Aziz dalam Chiefdom Madinah : Kerucut Kekuasaan Pada Zaman Awal Islam. Menurutnya, pada masa menjelang kelahiran Islam, orang-orang Romawi dan Yunani Kuno, menyebut orang-orang Arab dengan sebutan Saraceni, Sarakenoi dan dalam bahasa latin dengan Saracenus. Dan sosok yang dianggap mempopulerkan kata ini adalah Dioscurides dari Anazarbos yang hidup pada abad pertama masehi. Diduga, kata Saracen berasal dari dua kata yakni Sarah (Istri Nabi Ibrahim) dan Ceni (Budak). Tentunya yang dimaksud budak di sini adalah Siti Hajar, ibu dari Nabi Ismail AS.
Seiring berjalannya waktu, kata Saracen yang awalnya merujuk pada orang-orang Arab kemudian pengertiannya lebih meluas lagi dengan dilekatkannya kata itu merujuk pada orang-orang muslim. Lalu apa hubungannya kaum Saracen di masa-masa awal tumbuhnya Islam di Eropa itu dengan kelompok Saracen pimpinan Jasriadi? Tentunya tidak ada.
Dilihat dari sisi tujuannya saja kaum Saracen di masa itu murni tujuan gerakannya adalah untuk menyebarkan dakwah Islam hingga ke daratan benua Eropa. Sedangkan kelompok Saracen yang muncul belakangan ini memiliki motif ekonomi dan meraup keuntungan sebanyak-banyak dari jasa yang ditawarkannya untuk menyebarkan informasi bohong, dan meme-meme yang berisi konten yang menjurus pada terjadinya disintegrasi bangsa.
Persamaannya mungkin terletak pada pola hidup yang berpindah-pindah alias nomaden. Kaum Saracen di masa awal, demi mempertahankan hidupnya, mereka rela menembus gurun sahara nan kering kerontang untuk mencari wilayah yang mampu memenuhi kehidupan mereka. Tak jarang karena pola hidup yang demikian, perang sering terjadi dengan penduduk lokal yang sudah lebih dulu mendiami sebuah wilayah.
Sedangkan kelompok Saracen yang berkeliaran di media sosial, hidupnya pun berpindah-pindah tergantung pada pihak mana yang memberi mereka bayaran lebih mahal. Bahkan jasa mereka kerap digunakan dalam momen-momen politik pemilihan kepala daerah dengan menerima order dari dua pihak yang sedang bertarung di pemilu. Pada momentum pilkada inilah biasanya, kerja-kerja menyebarkan ujaran kebencian, hoax, mengadu domba dilakukan demi sebuah bayaran sekian ratus juta rupiah.
Di sinilah tugas aparat kepolisian diperlukan untuk dengan detail membongkar kelompok ini hingga ke akar-akarnya. Baik dari soal pemilihan nama Saracen yang langsung atau pun tidak langsung mengarah pada kelompok tertentu, motif yang dilakukan, hingga sosok di belakang layar yang menggunakan jasa kelompok Saracen ini. Tujuannya tentu agar tidak ada lagi serdadu-serdadu bayaran yang berkeliaran dan mengotori jagad maya tanah air.
Gerakan Sadar Literasi Media
Seiring perkembangan zaman, pola interaksi dan komunikasi manusia satu dengan manusia lainnya, kini telah mengalami perubahan. Hal ini bermula dari terjadinya evolusi sosial media yang mewabah menjangkiti sendi-sendi kehidupan umat manusia. Pola komunikasi konvensional yang dulu pernah ada, kini tergantikan dengan adanya media komunikasi gadget, smartphone, android dan iphone. Manusia tak lagi menunggu datangnya hari esok untuk mendapatkan informasi kala barang-barang itu ada di tangan. Tinggal duduk nyaman di sofa, jari-jari bermain pada layar alat komunikasi, ia sudah bisa mendapatkan informasi baik dari media online atau pun media sosial.
Saat ini adalah era banjir informasi yang menerjang bak tsunami. Informasi datang ibarat gelombang yang tiada henti-hentinya terus mengalir deras hingga masuk dalam ruang-ruang kehidupan private manusia. Lihat saja prilaku manusia modern saat ini. Tak sedetik pun ia rela untuk sekejap saja lepas dari berhala-berhala modern bernama gadget, android, smartphone hingga iphone. Ketergantungan manusia yang tinggi akan berhala-berhala modern itu sedikit banyak akan menumpulkan daya kritis mereka karena semua informasi yang didapatnya secara instan. Pada titik ini, terjadi pergeseran pola pikir, pola tindak masyarakat dalam mengakses dan mendistribusikan informasi (Rosarita Niken Widiastuti, 2017).
Dari itu, demi menjaga kewarasan warganet yang keranjingan berselancar di media sosial, penting kiranya untuk menggalakkan gerakan sadar literasi media. Gerakan ini tak hanya bermakna mencerna dan menerima informasi kemudian menelannya begitu saja. Melainkan juga bersikap kritis, bijak, dan hati-hati dalam menyebarkan informasi yang didapat di media sosial.
Terbentuknya masyarakat jaringan imbas dari tumbuhnya penggunaan media sosial, mensyaratkan penggunanya untuk lebih kritis, bijak dan arif kala mendistribusikan informasi yang didapat. Hal ini untuk menjaga keseimbangan, kejernihan dan kebenaran informasi yang diperoleh agar tidak menimbulkan kegaduhan di dunia nyata. Tidak bisa dipungkiri, informasi hoax bertujuan hanya untuk menciptakan kecemasan dan permusuhan antar anak bangsa.
Berdasarkan data dari wearesocial.org, pengguna media sosial di tanah air per-januari 2017 sebanyak 106 juta penduduk atau sekitar 40% dari jumlah keseluruhan penduduk Indonesia. Kita semua tentu tidak bisa membayangkan bila satu orang saja memiliki puluhan akun palsu yang digunakan untuk menyebarkan kabar bohong, ujaran kebencian dan ajaran-ajaran ekstremisme. Lalu akan jadi apa wajah media sosial di tanah air ini bila ratusan ribu akun palsu penyebar ujaran kebencian dan hoax dibiarkan bergentayangan merecoki pikiran generasi bangsa ini? Falyatafakkar!. Maka berpikirlah (*).
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !