Penantian

Kamis, 31 Agustus 2017

Tahukah kalian, bagaimana rasanya menunggu jawaban dari pujaan hati itu terasa sangat mendebarkan? Berbilang waktu yang berputar, hati seperti terus berdetak kencang tiada henti dan selalu mengajukan pertanyaan, diterima atau ditolakkah cinta yang diutarakan? 

Begitu pula yang kualami. Namun ini bukan soal hati. Melainkan soal tulisan yang kukirim ke sebuah media cetak nasional yang hingga enam hari ini tiada juga mendapat jawaban.

Pada media cetak tersebut, aku kirimkan sebuah tulisan opini terkait Saracen, sebuah kelompok yang memproduksi ujaran kebencian dan hoax di media sosial. Kelompok bayaran ini memiliki akun sebanyak 800.000 akun yang mampu mengkondisikan sekitar 2000 follower pengguna medsos. Pada tulisan tersebut aku mengupas prihal asal muasal munculnya kata Saracen, dan beberapa referensi aku jadikan sebagai rujukannya. Dari John Freely hingga Philip K.Hitti.

Aku berharap tulisan itu segera dimuat di koran cetak nasional itu. Namun apalah daya, mungkin redaktur koran tersebut menganggap tulisan itu kurang tajam analisanya, hingga membuat tulisan tersebut tak ada kabarnya hingga kini. Perasaan yang berdebar-debar kala menunggu nasib tulisan itu mengingatkanku kala dulu saat masih sering menulis di media lokal di Surabaya.

Dag dig dug rasa itu. Resah. Gelisah. Dan berbagai nuansa lainnya kualami dan kurasakan. Jiwa selalu meronta ingin segera mendapatkan jawaban di esok harinya. Saat koran cetak sudah pada datang, aku langsung menyerbu untuk melihat adakah tulisan opini yang kukirim itu dimuat di sana.

Saat melihat pada kolom opini, dan tulisan itu tidak muncul. Badanku langsung lemas. Mengumpat. Jangkrik!

Namun, muncul sepercik harapan yang menguar dari dalam batin. Ia berkata “Sabar. Mungkin saja besok akan muncul”. Kata itu menenangkanku dan memberiku harapan untuk esok harinya. Sambil menunggu esok, hati pun masih terasa dag dig dug. Semoga besok tulisanku dimuat. Begitu pikirku.

Namun keesokan harinya, nasib baik terkait tulisanku masih belum juga ada kabarnya. Aku sudah muring-muring. Semalam lebih aku menulis opini tersebut namun tak satu pun kalimat dari redaktur media tersebut yang mengabarkan padaku terkait tulisan itu via emailku. Ah mungkin redaktur punya alasan tersendiri untuk tidak menerbitkan tulisanku. Mungkin ia menguji keseriusanku untuk terus mengirim opini terlebih dulu sampai sejauh mana aku benar-benar memiliki tekad untuk terus menulis.

Namun, tidakkah kalian tahu, saat sebuah tulisan opini kita dimuat di koran cetak ada kebahagiaan psikologis yang tak mungkin bisa diungkapkan dengan sebuah kata dan kalimat menggelora dalam hati? Aku merasakan itu. Masa penantian akan nasib sebuah tulisan, dimuat atau tidak pada sebuah media cetak, adalah masa yang mengasyikkan dan kadang menjengkelkan. Perasaan dan hati kita terasa dimain-mainkan. Aku tak mampu melukiskan perasaan saat menunggu nasib tulisan opini itu. Yang kutahu, aku resah dan gelisah. Itu saja.

Perasaan yang tidak menentu itu, akan tertebus kala tulisan opini yang kita buat dimuat di media cetak. Ada kebahagiaan psikologis. Jiwa seperti terbang ke langit ketujuh. Saat tulisan dimuat, kita berjalan ke manapun serasa memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Bagaimana tidak. Tulisan opini yang kita buat dibaca oleh ribuan orang pembaca media cetak tersebut. Ini secara tidak langsung akan mengangkat citra penulis opini itu. Kehadirannya sebagai seorang manusia benar-benar dirasakan lewat tulisan yang dihadirkannya pada media cetak itu.

Aku ingin merasakan nuansa itu kembali. Nuansa jiwa dan kebatinan saat tulisan yang kubuat itu dimuat di media cetak. Dan di sana, tertera namaku dan foto diriku. Aku jadi teringat sebuah kalimat bijak yang berbunyi “dengan membaca, kita bisa mengenal dan mengetahui dunia. Dan dengan menulis, kita bisa dikenal dan diketahui oleh dunia”.

Intinya, menulis adalah bagian dari sebuah pekerjaan untuk memberikan bukti tentang kehadiranku di muka bumi. Dengan tulisan yang  dibuat, itu dapat menjadi bukti bahwa aku pernah ada di sini. Di bumi ini.

Jakarta, 31 Agustus 2017
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Mas Template
Copyright © 2011. SHOFA AS-SYADZILI - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website | Edited by Arick Evano
Proudly powered by Blogger