Saya Mengkritik PB HMI, Bukan HMI

Selasa, 15 Agustus 2017

Kembali lagi PB HMI diterpa isu tak sedap yang berseliweran di media sosial. Dan itu memancing penulis untuk turut berkomentar menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan via grup WhatsApp ‘Lingkar Penulis HMI’, pesan pribadi hingga bertanya langsung pada penulis via telepon. Benarkah ada plagiasi kembali yang dilakukan oleh salah satu pengurus PB HMI? Itulah kebanyakan pertanyaan yang diajukan pada penulis.

Awalnya, penulis tidak ngeh dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Selain karena banyaknya pesan masuk yang belum dibuka, media sosial facebook yang menjadi ajang penyampaiaan informasi secara cepat, belum pula penulis lihat. Saat membuka pesan WhatsApp satu demi satu kiriman dari seorang teman yang mescreenshot status facebook dari pengguna akun bernama Muhammad Chairul Basyar, penulis langsung mengecek pada akun tersebut. Benarkah akun itu memposting status tersebut?. Lalu penulis membaca dengan seksama status tersebut, link berita yang disertakan, hingga komentar-komentar di dalamnya.

Setelah membaca kedua artikel yang disertakan pada status akun facebook itu, penulis langsung menjapri pengurus PB HMI bersangkutan dan menanyakan terkait tulisannya. Kebetulan yang bersangkutan adalah teman akrab dan kawan ngopi penulis di Jakarta. Ia menjawab bahwa plagiat itu meniru semua dan ia hanya ambil kutipan saja dan lupa merujukkan pada sumbernya. Mendapat jawaban yang seperti itu, penulis berkata padanya kalau yang dikutip itu gagasan orang lain, meski hanya satu kalimat saja, tetap harus disebutkan sumbernya. Apalagi bila yang dikutip itu satu paragraf penuh. Hal ini demi menjaga agar tulisan yang diproduksi tidak dianggap sebagai pencurian hak intelektual orang lain.

Setelah bergaul dengan kawan-kawan PB HMI, dan berdiskusi prihal dunia tulis menulis dengan mereka selama ini, senyatanya mereka hanya belum mengerti saja prihal kutip-mengutip sebuah tulisan. Ketidakmengertian inilah yang mengakibatkan mereka terpeleset pada dunia aksara ini. Pada kasus terbaru ini, polanya memang berbeda dengan dua kasus sebelumnya. Terutama pada paragraf pertamanya.

Ini menandakan bahwa aktivitas menulis itu membutuhkan cara, teknik dan metode tertentu. Cara, teknik dan metode itu sebenarnya dapatlah dipelajari. Tinggal kemauan pengurus PB HMI itu untuk bertanya pada kawan-kawan terdekatnya yang terbiasa menulis di media. Ada beberapa pengurus PB HMI, meski pun tidak banyak, yang tulisannya kerap muncul di media cetak atau bahkan di blog pribadinya. Bertanyalah pada orang-orang itu.

Menulis membutuhkan ketelatenan dan usaha yang terus menerus tanpa henti untuk berlatih menuliskan gagasan. Dan itu dimulai dari kebiasaan untuk menuliskan catatan harian. Jangan menganggap sepele catatan harian. Dari sanalah banyak penulis besar dunia membiasakan diri untuk berbicara menuangkan gagasan dan pendapatnya, meski pun itu hanya untuk dikonsumsi oleh diri sendiri. Namun, setidaknya kejernihan dan orisinalitas gagasannya tidaklah menggunting milik orang lain. Dengan menulis catatan harian, penulis pemula jadi bisa lebih bebas mengungkap semua yang terpendam di hatinya.

Jadi sebenarnya aktivitas menulis itu terkait dengan kebiasaan seseorang. Maukah ia berlelah-lelah mengurung diri dalam kamar hanya untuk menyelesaikan satu hingga dua tulisan yang itu merupakan hasil daya keringat dirinya sendiri. Sebab, tak sedikit pula penulis yang hanya asal mencomot tulisan orang lain kemudian itu diakui sebagai hasil miliknya. Perbuatan ini, mencomot gagasan orang lain meskipun satu kalimat saja, adalah kebiasaan buruk penulis yang harus dihindari. Sebab itu akan merusak citra yang bersangkutan dan organisasi tempat ia berproses di dalamnya.

Kritik Atas PB HMI

Sub judul di atas sengaja penulis pakai agar dapat dijadikan refleksi bagi segenap pengurus PB HMI untuk dapat membawa sisa periode kepengurusan ini dengan lebih baik. Tiga kasus plagiasi yang dilakukan oleh fungsionaris PB tentunya menjadi tamparan keras bagi keluarga besar Himpunan. Memendam, membungkam, hingga mencegah timbulnya kritik atasnya di tengah penggunaan media sosial sebagai salah satu instrumen kritik, sangatlah tidak tepat. Apalagi dengan memberikan beberapa kriteria khusus seorang kritikus sebagaimana diutarakan oleh saudara Sabaruddin dalam sebuah tulisan melalui blog pribadinya yang berjudul ‘Daya Kritis Kita, Nilai Intelektual yang Dipertaruhkan’.

Lewat tulisan tersebut, saudara Sabarudin mencoba terlebih dahulu mendefinisikan apa itu kritik berdasarkan para tokoh. Saya mencoba akan mengutip salah satu tokoh yang disebut dalam tulisannya itu. HB Jassin (bukan HB Jassmin sebagaimana yang tertulis dalam tulisan Sabar). 

Menurut Paus Sastra Indonesia ini, sebagaimana dalam tulisan Sabar, kritik adalah suatu pertimbangan baik dan buruk dari sebuah karya sastra. Ok. Saya menerima.
Sekarang yang hendak menjadi objek penelitian kita adalah tulisan dari saudara Bobby Irtanto berjudul ‘Peran Generasi Muda Sebagai Garda Terdepan Bangsa dan Penerus Estafet Kepemimpinan Bangsa’ yang dimuat pada media online delikindonesia.com.

Dalam tulisan tersebut, terutama pada paragraf pertama dan keduanya, adalah hasil pemikiran dari orang lain dalam situs akhmadfarhan.com. Dengan tidak mengikutsertakan rujukan secara jelas pada sumber yang diambilnya, tindakan saudara Bobby dengan menggunting begitu saja itu sudah salah!

Terdapat dua paragraf dalam tulisan yang tercantum dalam situs akhmadfarhan.com yang dicomot begitu saja oleh saudara Bobby tanpa menyertakan sumber rujukannya. Lihat pada gambar. 

Pada posisi ini, mencomot pemikiran orang lain tanpa menyertakan sumbernya, sudah termasuk pada tindakan plagiasi. Dan saudara Bobby sudah mengakui kekhilafan itu. Mengakui bahwa ia lupa menyertakan sumbernya. Di sini sebenarnya persoalan sudah selesai.

Namun menjadi lain, tatkala saudara Sabar mencoba menjadi corong atau juru bicara dengan menuding mereka yang melakukan kritik atas tindakan plagiasi tersebut dengan menyeret-nyeret pada persoalan membongkar aib organisasi di muka publik. Saudara Sabar mungkin belum menyadari, bahwa peran media sosial sebagai salah satu instrumen kritik di era milenial ini sudah menjadi jalannya zaman yang tak bisa disanggah. 

Cobalah kita saksikan wajah media sosial kita akhir-akhir ini. Kritik atas rezim berseliweran siang dan malam. Ekonomi yang sedang turunlah, prilaku elit yang bobroklah, sampai pada fitnah dan hoax yang tidak jelas juntrungannya ada dan terdapat di sana. Namun, saya menganggap kritik atas kondisi bangsa ini, adalah sah dan boleh-boleh saja selama yang dikritik itu adalah sesuatu yang riil dan fakta yang memang benar-benar terjadi. Hal itu tidak bisa ditutup-tutupi di era keterbukaan informasi seperti sekarang ini. Itu pertama.

Kedua, kritik yang disampaikan oleh mereka yang ada di luar sana itu janganlah dianggap sebagai sesuatu yang mengancam. Malah sebaliknya. Harusnya dapat dijadikan sebagai bahan renungan bagi semua yang sedang berada di lingkaran kepengurusan PB HMI saat ini. Tanpa terkecuali. Yang dikritik oleh mereka adalah pola, sistem, dan cara kita semua yang ada di lingkaran PB HMI dalam menjalankan roda organisasi dianggapnya serampangan karena membiarkan tindakan plagiasi ini kembali terulang.

Jadi, tidak usah takut menghadapi serbuan kritik yang berdatangan pada PB HMI saat ini senyampang semua yang bergelut di dalamnya benar-benar menjalankan mekanisme organisasi secara benar. Pertanyaannya, sudah benarkah mekanisme dalam organisasi dijalankan oleh PB HMI selama ini?. 

Pertanyaan ini tentunya hanya bisa dijawab oleh yang bergelut di dalamnya. Baik itu fungsionaris PB HMI sampai Lembaga Pengembangan Profesi dan Badan Khususnya.

Saya pribadi, sebagai perwakilan LAPMI, menilai masih ada beberapa mekanisme organisasi yang tidak dijalankan dengan benar. Semisal, prihal kasus plagiasi pertama dan kedua beberapa bulan lalu yang sudah diputuskan dalam rapat harian untuk diusut oleh bidang PAO. Hingga kini, hal tersebut masih belum jelas bagaimana hasilnya. Setiap hasil rapat harian seharusnya dijalankan tanpa lagi perlu ada yang bertanya. Belum lagi beberapa persoalan yang bila diurai dalam tulisan ini serasa tidak akan cukup karena saking panjangnya.

Jadi terkait kritik ini, saudara Sabar seharusnya bisa memilah dan mencacah kritikan itu menjadi dua macam. Kritikan dari luar dan kritikan dari dalam. Kritikan dari luar bisa berasal dari Alumni dan kader HMI yang berproses di tiap tingkatan, baik Komisariat, Cabang dan Badko. Kritikan dari luar ini tujuannya hanya agar HMI secara kelembagaan dapat terasakan manfaatnya hingga ke level terbawah sekalipun. Manfaat dan keberadaan HMI dapat terasakan tak hanya bagi keluarga besar Himpunan melainkan juga bagi umat dan bangsa.

Sedangkan kritikan dari dalam, bisa berasal dari fungsionaris PB HMI,Lembaga Profesi dan Badan Khusus yang berada dalam satu periode dengan kepengurusan PB HMI saat ini. Karena merekalah yang turut berada dalam dinamika yang terjadi dalam tubuh PB HMI selama satu periode ini. 

Jadi, kritik yang disampaikan oleh mereka yang masih bergelut di dalamnya, saya haqqul yaqien, tidaklah bermaksud untuk menjatuhkan citra PB HMI. Melainkan agar jalannya roda organisasi dapat kembali pada relnya. Begitu pun dengan kritik yang kerap dilakukan oleh kawan-kawan Lembaga Pengembangan Profesi, bukanlah mengkritik HMI secara kelembagaan, melainkan pada konduktor PB HMI yang menjadi pimpinan selama satu periode ini. Intinya, saudara Sabar harusnya mampu memilah bahwa kritik yang disampaikan oleh mereka yang masih bergelut di dalamnya bukanlah ditujukan pada HMI, melainkan pada PB HMI yang bila diurut akan menjurus pada leadership konduktornya.

Ketiga, untuk point ini saya akan mengkoreksi tulisan saudara Sabar yang sedikit ada kesalahan dalam beberapa tulisannya. Penyebutan nama tokoh yang salah, ujaran dan kutipan yang salah masih bisa ditemui dalam tulisannya. HB Jassin ditulisnya HB Jassmin. Cak Nur, dalam tulisan saudara Sabar, dianggap pernah berkata ‘adillah sejak dalam pikiran’. Seingat penulis, kalimat tersebut, diucapkan oleh penulis cum sastrawan Indonesia yang nyaris meraih hadiah Nobel Sastra Dunia, Pramoedya Ananta Toer.

Terakhir, buat kawan-kawan di PB HMI, jangan pernah berhenti menulis. Teruslah menulis. Jatuh dan terpeleset dalam menulis itu sudah biasa. Setidaknya dari sana bisa diambil pelajaran mana tindakan yang disebut plagiat, mana yang bukan. Dan saya pikir, kawan-kawan hanya belum tahu prihal itu saja. Atau jika ingin belajar menulis, bergabung saja dalam Grup WhatsApp 'Lingkar Penulis HMI'. Wassalam.

Salam buku dan pena!

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Mas Template
Copyright © 2011. SHOFA AS-SYADZILI - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website | Edited by Arick Evano
Proudly powered by Blogger