HMI dan Arsip-Arsip yang Terbengkalai : Antara Jacky Chan dan HMI (Bag.3)

Jumat, 22 Februari 2019

Beberapa fungsionaris PB HMI 1963-1966 saat berpose bersama Bung Karno
di Istana Merdeka.

Mungkin pembaca sudah akrab dengan aktor komedi dari Hongkong yang terkenal karena aktingnya yang kocak saat bermain film. Ya. Jacky Chan. Aktor film satu ini memang tak suka menggunakan tenaga stuntman dalam beberapa adegan film yang dibuatnya. Beberapa film yang diperankan olehnya, sebagian sudah kutonton. Meski tak semuanya. Tulisan kali ini adalah bagian dari sebuah pelajaran yang penulis petik saat menonton salah satu filmnya yang pernah diputar di stasiun televisi swasta tanah air.

Di tahun 90-an, industri perfilman tanah air memang pernah digempur beberapa film yang berasal dari luar negeri. Terutama dari Hollywood, Hongkong dan Bollywood. Televisi swasta yang saat itu mulai tumbuh di Indonesia, seperti TPI, SCTV, RCTI, Indosiar dan Anteve, turut terkena ‘gelombang tsunami sungai Gangga’ ini. Merangseknya film impor ke tanah air ini mengundang keprihatinan pemerhati perfilman, Salim Said. Dalam sebuah diskusi perfilman nasional yang digelar oleh Anteve pada tahun 1996, Salim Said memprihatinkan kondisi perfilman tanah air yang merosot dan terjun bebas hingga membuat layar kaca di Indonesia didominasi film-film dari Hollywood, China, Amerika dan India (Republika, 12 Mei 1996,hal.3).

Bila kita memperhatikan perkembangan film impor di layar kaca, kita tentu masih ingat kegandrungan masyarakat Indonesia dengan beberapa telenovela dari negara Amerika Latin. Dari Maria Mercedes, Marimar, Rosalinda hingga Carita de Angel. Kesemuanya itu membuat masyarakat Indonesia, saat itu, menjadi demam telenovela. Belum selesai sembuh dari demam film Amerika Latin itu, film Bollywood dan Hongkong menyerbu masuk ke dalam dunia industri penyiaran di tanah air. Saat itu, film India pertama kali diputar oleh stasiun televisi swasta TPI. Langkah ini kemudian diikuti oleh televisi swasta lainnya. Sampai-sampai frekuensi pemutaran film Bollywood ini, untuk di TPI saja, sampai lima kali penyiaran setiap minggunya. Ini belum termasuk televisi swasta lainnya yang juga tak mau kalah menyiarkan film-film terbaru dari negeri asal Shah Rukh Khan itu. Intinya, saat itu, tiada hari tanpa film India!

Semua film, sejatinya menyimpan pesan yang ingin disampaikan pada penontonnya. Seburuk apapun film itu, ada pesan yang hendak diutarakan oleh pembuatnya. Termasuk film yang diperankan oleh Jacky Chan. Sekalipun dipenuhi adegan-adegan yang sangat kocak, tak jarang ada beberapa percakapan yang bila dipikirkan, mengandung makna yang sangat dalam. 

Ada satu perkataan Jacky Chan dalam film Drunken Master itu sangat menginspirasi bagiku. Perkataan itu diucapkannya saat adegan menjelang akhir. Adegan itu adalah saat Fei Hung (diperankan oleh Jacky Chan), bersama para pekerja tambang, menggagalkan penyelundupan batu-batu giok antik milik pemerintah Cina yang coba dibawa kabur oleh kedutaan Inggris. Dalam upaya penyelundupan itu, pihak kedutaan Inggris menyertakan beberapa centeng yang berasal dari masyarakat Cina sendiri. Sebagai centeng dari Cina, yang sama dan sebangsa dengan Fei Hung, maka Fei Hung menegurnya. Begini tegurannya :
“Apa kalian sadar apa yang kalian lakukan? Kalian menolong mereka, mencuri sejarah kita, kebudayaan kita,”.
Koran Republika, Jum'at 20 September 1995

Perkataan Fei Hung ini sangat mengena bagiku. Terutama setelah memahami alur film itu. Fei Hung atau Jacky Chan sepertinya ingin memberikan pelajaran secara tidak langsung tentang betapa berharganya sebuah barang yang memiliki nilai sejarah. Apalagi bila barang itu berkaitan dengan sejarah sebuah bangsa. Kehilangan barang yang memiliki nilai sejarah, nantinya akan mengakibatkan hilangnya sebuah bangsa. Bila sudah hilang, saat hendak mencari akar sejarah bangsanya, tentu akan mencari ke luar negeri atau ke manapun barang bukti sejarah itu berada.

Dari film Drunken Master itu, aku jadi memikirkan setiap hal yang berkaitan dengan hidupku. Apalagi bila hal-hal itu berkaitan dengan organisasi tempat aku dulu ditempa, HMI. Aku tak bisa diam, tak nyaman, dan tak tenang bila hal-hal yang berkaitan dengan HMI itu berupa potongan berita di koran, majalah, buku dan dokumentasi foto, dibiarkan begitu saja. Tak dirawat dan tak diperhatikan. Saya kuatir, itu semua akan  terbawa oleh angin sejarah. Tak tertulis. Tak tercatat. Tak tersimpan. Dan tak jadi apa-apa.

Meski pun sudah ada buku sejarah HMI yang ditulis oleh ayahanda Agus Salim Sitompul, tapi apakah semua kader HMI membaca buku itu secara tuntas? Apakah hanya berhenti di sana saja? Berhenti di ayahanda Agus Salim Sitompul saja? Tentu tidak bukan?

Ada banyak pula buku tentang HMI yang sudah ditulis oleh orang dalam HMI sendiri atau pun orang luar HMI. Penelitian-penelitian tentang HMI pun tak terhitung banyaknya. Baik itu berupa skripsi, tesis, jurnal bahkan hingga disertasi. Tulisan-tulisan opini tentang HMI di media cetak, jangan salah, sungguh luar biasa banyaknya. Tinggal kita mau melacaknya saja.  Problemnya adalah, apakah kita pernah memikirkan untuk mengumpulkan itu semua menjadi satu, kemudian merawatnya dan menjaganya untuk kepentingan organisasi?. Sungguh, jangan sepelekan hal ini!

Kita kadang merasa jumawa sebagai organisasi tertua dan terbesar di Indonesia, tapi senyatanya kita masih lemah dan keropos dalam hal pemahaman kita terhadap organisasi yang kita cintai ini. Rentang waktu yang begitu jauh antara kita dengan para pendiri dan pendahulu HMI, akan membuat pemahaman kita pada organisasi ini semakin tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh mereka saat mendirikan HMI. Lalu bagaimana agar kita bisa, setidaknya, mendekati maksud dan kehendak mereka saat dan dalam mendirikan HMI?

Tentu jawabnya adalah seperti yang dikatakan oleh Jacky Chan dalam film Drunken Master tadi di atas : menjaga bukti sejarah dan bukti kebudayaan organisasi kita!

Mungkin ada yang bertanya, dengan cara apa dan bagaimana?

Kalau saya sih berharap, sudah saatnya HMI atau KAHMI memiliki sebuah badan yang mengurusi segala hal yang berkaitan dengan arsip, dokumen, foto, buku, majalah yang berkaitan dengan HMI atau pun KAHMI. Sejak 1947 organisasi ini berjalan, tentu sudah banyak pendapat dari kalangan tokoh bangsa yang berbicara soal dan tentang HMI. Lacak dan kumpulkan semuanya itu dalam, entah apakah namanya, Badan Arsip HMI atau apalah. Badan Arsip HMI ini bisa juga disebut sebagai Perpustakaan HMI yang menyimpan segala hal tentang HMI. Entah itu hasil-hasil kongres, hasil Konfercab, hasil Musda, hasil Munas atau dokumen hasil dari rapat harian dan presidium. Simpan semuanya di sana.

Dan kalau bisa, Badan Arsip atau Perpustakaan HMI itu tidak berada di Sekretariat PB HMI.  Hal ini demi menjaga keamanan semua arsip dan dokumen yang ada itu untuk keberlangsungan organisasi di masa depan. Kalau ada di Sekretariat PB HMI, bisa-bisa dibakar oleh kader HMI yang kerap berlaku barbar karena tidak puas dengan keputusan rapat harian PB HMI!

Jakarta, 23 Februari 2019


Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Mas Template
Copyright © 2011. SHOFA AS-SYADZILI - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website | Edited by Arick Evano
Proudly powered by Blogger