Beberapa fungsionaris PB HMI 1963-1966 saat berpose bersama Bung Karno di Istana Merdeka. |
Mungkin
pembaca sudah akrab dengan aktor komedi dari Hongkong yang terkenal karena
aktingnya yang kocak saat bermain film. Ya. Jacky Chan. Aktor film satu ini
memang tak suka menggunakan tenaga stuntman dalam beberapa adegan film
yang dibuatnya. Beberapa film yang diperankan olehnya, sebagian sudah kutonton.
Meski tak semuanya. Tulisan kali ini adalah bagian dari sebuah pelajaran yang
penulis petik saat menonton salah satu filmnya yang pernah diputar di stasiun televisi swasta tanah air.
Di
tahun 90-an, industri perfilman tanah air memang pernah digempur beberapa film
yang berasal dari luar negeri. Terutama dari Hollywood, Hongkong dan Bollywood.
Televisi swasta yang saat itu mulai tumbuh di Indonesia, seperti TPI, SCTV,
RCTI, Indosiar dan Anteve, turut terkena ‘gelombang tsunami sungai Gangga’ ini.
Merangseknya film impor ke tanah air ini mengundang keprihatinan pemerhati
perfilman, Salim Said. Dalam sebuah diskusi perfilman nasional yang digelar
oleh Anteve pada tahun 1996, Salim Said memprihatinkan kondisi perfilman tanah
air yang merosot dan terjun bebas hingga membuat layar kaca di Indonesia
didominasi film-film dari Hollywood, China, Amerika dan India (Republika, 12
Mei 1996,hal.3).
Bila
kita memperhatikan perkembangan film impor di layar kaca, kita tentu masih
ingat kegandrungan masyarakat Indonesia dengan beberapa telenovela dari negara
Amerika Latin. Dari Maria Mercedes, Marimar, Rosalinda hingga Carita de Angel. Kesemuanya
itu membuat masyarakat Indonesia, saat itu, menjadi demam telenovela. Belum
selesai sembuh dari demam film Amerika Latin itu, film Bollywood dan Hongkong
menyerbu masuk ke dalam dunia industri penyiaran di tanah air. Saat itu, film India
pertama kali diputar oleh stasiun televisi swasta TPI. Langkah ini kemudian
diikuti oleh televisi swasta lainnya. Sampai-sampai frekuensi pemutaran film
Bollywood ini, untuk di TPI saja, sampai lima kali penyiaran setiap minggunya.
Ini belum termasuk televisi swasta lainnya yang juga tak mau kalah menyiarkan
film-film terbaru dari negeri asal Shah Rukh Khan itu. Intinya, saat itu, tiada
hari tanpa film India!
Semua
film, sejatinya menyimpan pesan yang ingin disampaikan pada penontonnya.
Seburuk apapun film itu, ada pesan yang hendak diutarakan oleh pembuatnya.
Termasuk film yang diperankan oleh Jacky Chan. Sekalipun dipenuhi adegan-adegan
yang sangat kocak, tak jarang ada beberapa percakapan yang bila dipikirkan, mengandung
makna yang sangat dalam.
Ada satu perkataan Jacky Chan dalam film Drunken
Master itu sangat menginspirasi bagiku. Perkataan itu diucapkannya
saat adegan menjelang akhir. Adegan itu adalah saat Fei Hung (diperankan oleh
Jacky Chan), bersama para pekerja tambang, menggagalkan penyelundupan batu-batu
giok antik milik pemerintah Cina yang coba dibawa kabur oleh kedutaan Inggris. Dalam
upaya penyelundupan itu, pihak kedutaan Inggris menyertakan beberapa centeng
yang berasal dari masyarakat Cina sendiri. Sebagai centeng dari Cina, yang sama
dan sebangsa dengan Fei Hung, maka Fei Hung menegurnya. Begini tegurannya :
“Apa
kalian sadar apa yang kalian lakukan? Kalian menolong mereka, mencuri sejarah
kita, kebudayaan kita,”.
Koran Republika, Jum'at 20 September 1995 |
Perkataan
Fei Hung ini sangat mengena bagiku. Terutama setelah memahami alur film
itu. Fei Hung atau Jacky Chan sepertinya ingin memberikan pelajaran secara
tidak langsung tentang betapa berharganya sebuah barang yang memiliki nilai
sejarah. Apalagi bila barang itu berkaitan dengan sejarah sebuah bangsa.
Kehilangan barang yang memiliki nilai sejarah, nantinya akan mengakibatkan
hilangnya sebuah bangsa. Bila sudah hilang, saat hendak mencari akar sejarah
bangsanya, tentu akan mencari ke luar negeri atau ke manapun barang bukti
sejarah itu berada.
Dari
film Drunken Master itu, aku jadi memikirkan setiap hal yang
berkaitan dengan hidupku. Apalagi bila hal-hal itu berkaitan dengan organisasi
tempat aku dulu ditempa, HMI. Aku tak bisa diam, tak nyaman, dan tak tenang
bila hal-hal yang berkaitan dengan HMI itu berupa potongan berita di koran,
majalah, buku dan dokumentasi foto, dibiarkan begitu saja. Tak dirawat dan tak diperhatikan.
Saya kuatir, itu semua akan terbawa oleh
angin sejarah. Tak tertulis. Tak tercatat. Tak tersimpan. Dan tak jadi apa-apa.
Meski
pun sudah ada buku sejarah HMI yang ditulis oleh ayahanda Agus Salim Sitompul,
tapi apakah semua kader HMI membaca buku itu secara tuntas? Apakah hanya
berhenti di sana saja? Berhenti di ayahanda Agus Salim Sitompul saja? Tentu
tidak bukan?
Ada
banyak pula buku tentang HMI yang sudah ditulis oleh orang dalam HMI sendiri
atau pun orang luar HMI. Penelitian-penelitian tentang HMI pun tak terhitung
banyaknya. Baik itu berupa skripsi, tesis, jurnal bahkan hingga disertasi.
Tulisan-tulisan opini tentang HMI di media cetak, jangan salah, sungguh luar
biasa banyaknya. Tinggal kita mau melacaknya saja. Problemnya adalah, apakah kita pernah
memikirkan untuk mengumpulkan itu semua menjadi satu, kemudian merawatnya dan
menjaganya untuk kepentingan organisasi?. Sungguh, jangan sepelekan hal ini!
Kita
kadang merasa jumawa sebagai organisasi tertua dan terbesar di Indonesia, tapi
senyatanya kita masih lemah dan keropos dalam hal pemahaman kita terhadap organisasi
yang kita cintai ini. Rentang waktu yang begitu jauh antara kita dengan para pendiri
dan pendahulu HMI, akan membuat pemahaman kita pada organisasi ini semakin
tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh mereka saat mendirikan HMI. Lalu bagaimana
agar kita bisa, setidaknya, mendekati maksud dan kehendak mereka saat dan dalam
mendirikan HMI?
Tentu
jawabnya adalah seperti yang dikatakan oleh Jacky Chan dalam film Drunken
Master tadi di atas : menjaga bukti sejarah dan bukti kebudayaan
organisasi kita!
Mungkin
ada yang bertanya, dengan cara apa dan bagaimana?
Kalau
saya sih berharap, sudah saatnya HMI atau KAHMI memiliki sebuah badan yang
mengurusi segala hal yang berkaitan dengan arsip, dokumen, foto, buku, majalah
yang berkaitan dengan HMI atau pun KAHMI. Sejak 1947 organisasi ini berjalan,
tentu sudah banyak pendapat dari kalangan tokoh bangsa yang berbicara soal dan
tentang HMI. Lacak dan kumpulkan semuanya itu dalam, entah apakah namanya,
Badan Arsip HMI atau apalah. Badan Arsip HMI ini bisa juga disebut sebagai
Perpustakaan HMI yang menyimpan segala hal tentang HMI. Entah itu hasil-hasil
kongres, hasil Konfercab, hasil Musda, hasil Munas atau dokumen hasil dari
rapat harian dan presidium. Simpan semuanya di sana.
Dan
kalau bisa, Badan Arsip atau Perpustakaan HMI itu tidak berada di Sekretariat
PB HMI. Hal ini demi menjaga keamanan
semua arsip dan dokumen yang ada itu untuk keberlangsungan organisasi di masa
depan. Kalau ada di Sekretariat PB HMI, bisa-bisa dibakar oleh kader HMI yang
kerap berlaku barbar karena tidak puas dengan keputusan rapat harian PB HMI!
Jakarta,
23 Februari 2019