
Konstalasi politik di Semenanjung Arab-Afrika tampaknya akan semakin terus memanas. Setelah alunan koor demokrasi serta kepalan tangan satu juta rakyat Mesir yang menjadikan Husni Mubarak lengser dari panggung sejarah politik di Mesir. Kini gerakan people power rakyat Mesir itu mulai menjadi inspirasi bagi seluruh rakyat di wilayah Arab-Afrika. Symbol-symbol otoritarianisme yang lain di dunia Arab sepertinya akan mulai roboh satu persatu.
Sebagaimana diketahui, lewat aksi demonstrasi rakyat Mesir selama 18 hari, Husni Mubarak pada akhirnya harus segera angkat kaki dari Mesir. Kini pemimpin lawas Libya, Moammar Qadhafi, kursi kepemimpinannyapun berada dalam bayang-bayang jurang kejatuhan. Sepertinya Libya mulai terkena penyakit syndrome demokrasi.
Ibarat sebuah pertunjukan yang tak henti-hentinya, demokrasi terus menari-nari, berputar-putar dengan kencangnya menghancurkan sekat-sekat pembatas antar negeri. Libya, Yaman, Oman, Aljazair, Jordania, Arab Saudi bahkan Sudan-pun mulai terkena virusnya dengan hasil referendum pemisahan Sudan Selatan dengan Sudan Utara.
Tirai kebebasan rakyat di dunia Arab saat ini mulai terbuka lebar. Lagu dari band Scorpion berjudul The Wind of Change terus mengalun, menghentak mengiringi putaran kaki demokrasi dengan rancak.
Irama musik demokratisasi yang bergema saat ini di dunia Arab-Afrika, mengembalikan ingatan seluruh masyarakat dunia kala rezim komunis di Uni Sovyet runtuh di tahun 1980-an. Saat itu, demokratisasi begitu nyaring bergema. Patung Stalin dirobohkan, Tembok Berlin yang begitu angker, pembatas antara Jerman Barat dan Jerman Timur di jebol oleh kekuatan massa rakyat. Tidak berhenti sampai di situ saja, kepala Nicolae Ceaucescu, sang penguasa otoriter Rumania di penggal dan di arak di alun-alun istana negara.
Situasi chaos di Eropa Timur saat itu kini beralih ke dunia Arab. Dunia yang pemeluknya mayoritas Muslim itu kini berada di jalur transisi demokrasi. Transisi demokrasi merupakan ssuatu masa peralihan kekuasaan dari kekuasaan otoriter ke kekuasaan demokratik. Pada masa transisi ini, sebagaimana dikatakan oleh sosiolog Emile Durkheim, masyarakatnya akan beralih menjadi masyarakat anomie. Dalam artian situasi socialnya menjadi tanpa norma akibat lemahnya ketertiban social.
Di dunia Arab sendiri ada lebih dari sepuluh kepala pemerintahan di semenanjung Arab-Afrika yang menjabat selama dua dekade. Rata-rata mereka semua memerintah dengan system tangan besi.
Kepemimpinan model tangan besi biasanya membatasi ruang gerak kalangan oposisi. Suara mereka dibungkam, kebebasan pers dibatasi. Krisis terjadi disana-sini. Kelaparan, pengangguran yang semakin meningkat, kekurangan pangan serta korupsi yang merajalela. Krisis multidimensi inilah yang kemudian menggumpal ibarat bara dalam sekam, hanya tinggal menunggu waktu saja untuk meledak.
Beberapa hari kemarin, dunia dikejutkan oleh sikap Moammar Qadhafi yang memberondong pengunjuk rasa dengan tembakan aparat keamanan. Seribu pengunjuk rasa dikabarkan tewas akibat tindakan beringas itu. Tindakan represif aparat Libya itupun akhirnya mendapat kecaman dari para Negara-negara di dunia. Tentunya hal itu menambah buruk image Moammar Qadhafi di muka dunia.
Melihat konstalasi politik di Libya yang tak menentu, ada kemungkinan pihak luar mencoba untuk bermain-main dalam konflik itu . Sebab sudah bukan rahasia lagi, jatuhnya rezim suatu bangsa pasti tak pernah lepas dari campur tangan negara lain, khususnya Amerika. Tentu kita masih ingat bagaimana lihainya para intelijen CIA melakukan Cup d'etat pada Sukarno. Serta bagaimana liciknya kalangan militer Amerika saat menjungkalkan Saddam Husein dari kursi kepresidenan Irak. Alasan adanya senjata nuklirpun ternyata sampai kini tetap tak terbukti.
Agitasi propaganda yang dilakukan Amerika lewat media membuat Dewan Keamanan PBB untuk melakukan intervensi terhadap segala hal yang dianggap melanggar hak-hak asasi manusia. Maksud tersembunyi Amerika mengobrak-abrik semenanjung Arab sebenarnya adalah dalam rangka perebutan wilayah basah yang menyimpan kandungan emas hitam. Sudah jamak diketahui bahwa Amerika dan negara-negara Eropa berharap banyak dengan minyak mentah yang dihasilkan oleh negara-negara Arab-Afrika. Tunisia dan Mesir sangat berbeda dengan yang terjadi di Libya. Moammar Qadhafi bukanlah anak emas petinggi Amerika. Bahkan oleh Ronald Reagan, Moammar Qadhafi dijuluki Mad dog. Julukan yang menunjukkan betapa bencinya negara Amerika pada pemimpin Libya itu.
Ketakutan akan terjadinya ketidakstabilan politik, social dan ekonomi bila Moammar Qadhafi tidak jatuh sudah terbayang dipelupuk mata Amerika Serikat dan Israel. Kedua negara ini, sebagaimana diketahui, merupakan lawan dari Moammar Qadhafi. Politik standar ganda yang diterapkan oleh kedua negara tersebut mengisyaratkan bahwa kekuatiran juga meruyak dalam benak petinggi Gedung Putih dan Jerussalem. Disatu sisi berkoar-koar dengan penegakan HAM dan demokrasi, tapi di sisi lain berupaya untuk mengamankan kepentingannya di Timur Tengah dan Afrika lewat tangan-tangan besi pemimpin diktator binaan mereka.
Sebagaimana diketahui, lewat aksi demonstrasi rakyat Mesir selama 18 hari, Husni Mubarak pada akhirnya harus segera angkat kaki dari Mesir. Kini pemimpin lawas Libya, Moammar Qadhafi, kursi kepemimpinannyapun berada dalam bayang-bayang jurang kejatuhan. Sepertinya Libya mulai terkena penyakit syndrome demokrasi.
Ibarat sebuah pertunjukan yang tak henti-hentinya, demokrasi terus menari-nari, berputar-putar dengan kencangnya menghancurkan sekat-sekat pembatas antar negeri. Libya, Yaman, Oman, Aljazair, Jordania, Arab Saudi bahkan Sudan-pun mulai terkena virusnya dengan hasil referendum pemisahan Sudan Selatan dengan Sudan Utara.
Tirai kebebasan rakyat di dunia Arab saat ini mulai terbuka lebar. Lagu dari band Scorpion berjudul The Wind of Change terus mengalun, menghentak mengiringi putaran kaki demokrasi dengan rancak.
Irama musik demokratisasi yang bergema saat ini di dunia Arab-Afrika, mengembalikan ingatan seluruh masyarakat dunia kala rezim komunis di Uni Sovyet runtuh di tahun 1980-an. Saat itu, demokratisasi begitu nyaring bergema. Patung Stalin dirobohkan, Tembok Berlin yang begitu angker, pembatas antara Jerman Barat dan Jerman Timur di jebol oleh kekuatan massa rakyat. Tidak berhenti sampai di situ saja, kepala Nicolae Ceaucescu, sang penguasa otoriter Rumania di penggal dan di arak di alun-alun istana negara.
Situasi chaos di Eropa Timur saat itu kini beralih ke dunia Arab. Dunia yang pemeluknya mayoritas Muslim itu kini berada di jalur transisi demokrasi. Transisi demokrasi merupakan ssuatu masa peralihan kekuasaan dari kekuasaan otoriter ke kekuasaan demokratik. Pada masa transisi ini, sebagaimana dikatakan oleh sosiolog Emile Durkheim, masyarakatnya akan beralih menjadi masyarakat anomie. Dalam artian situasi socialnya menjadi tanpa norma akibat lemahnya ketertiban social.
Di dunia Arab sendiri ada lebih dari sepuluh kepala pemerintahan di semenanjung Arab-Afrika yang menjabat selama dua dekade. Rata-rata mereka semua memerintah dengan system tangan besi.
Kepemimpinan model tangan besi biasanya membatasi ruang gerak kalangan oposisi. Suara mereka dibungkam, kebebasan pers dibatasi. Krisis terjadi disana-sini. Kelaparan, pengangguran yang semakin meningkat, kekurangan pangan serta korupsi yang merajalela. Krisis multidimensi inilah yang kemudian menggumpal ibarat bara dalam sekam, hanya tinggal menunggu waktu saja untuk meledak.
Beberapa hari kemarin, dunia dikejutkan oleh sikap Moammar Qadhafi yang memberondong pengunjuk rasa dengan tembakan aparat keamanan. Seribu pengunjuk rasa dikabarkan tewas akibat tindakan beringas itu. Tindakan represif aparat Libya itupun akhirnya mendapat kecaman dari para Negara-negara di dunia. Tentunya hal itu menambah buruk image Moammar Qadhafi di muka dunia.
Melihat konstalasi politik di Libya yang tak menentu, ada kemungkinan pihak luar mencoba untuk bermain-main dalam konflik itu . Sebab sudah bukan rahasia lagi, jatuhnya rezim suatu bangsa pasti tak pernah lepas dari campur tangan negara lain, khususnya Amerika. Tentu kita masih ingat bagaimana lihainya para intelijen CIA melakukan Cup d'etat pada Sukarno. Serta bagaimana liciknya kalangan militer Amerika saat menjungkalkan Saddam Husein dari kursi kepresidenan Irak. Alasan adanya senjata nuklirpun ternyata sampai kini tetap tak terbukti.
Agitasi propaganda yang dilakukan Amerika lewat media membuat Dewan Keamanan PBB untuk melakukan intervensi terhadap segala hal yang dianggap melanggar hak-hak asasi manusia. Maksud tersembunyi Amerika mengobrak-abrik semenanjung Arab sebenarnya adalah dalam rangka perebutan wilayah basah yang menyimpan kandungan emas hitam. Sudah jamak diketahui bahwa Amerika dan negara-negara Eropa berharap banyak dengan minyak mentah yang dihasilkan oleh negara-negara Arab-Afrika. Tunisia dan Mesir sangat berbeda dengan yang terjadi di Libya. Moammar Qadhafi bukanlah anak emas petinggi Amerika. Bahkan oleh Ronald Reagan, Moammar Qadhafi dijuluki Mad dog. Julukan yang menunjukkan betapa bencinya negara Amerika pada pemimpin Libya itu.
Ketakutan akan terjadinya ketidakstabilan politik, social dan ekonomi bila Moammar Qadhafi tidak jatuh sudah terbayang dipelupuk mata Amerika Serikat dan Israel. Kedua negara ini, sebagaimana diketahui, merupakan lawan dari Moammar Qadhafi. Politik standar ganda yang diterapkan oleh kedua negara tersebut mengisyaratkan bahwa kekuatiran juga meruyak dalam benak petinggi Gedung Putih dan Jerussalem. Disatu sisi berkoar-koar dengan penegakan HAM dan demokrasi, tapi di sisi lain berupaya untuk mengamankan kepentingannya di Timur Tengah dan Afrika lewat tangan-tangan besi pemimpin diktator binaan mereka.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !