SAAT KYAI KONTROVERSIAL N.U MEMIMPIN

Senin, 09 Mei 2011


Di muat di Koran Harian Radar Surabaya Minggu, 08 Mei 2011.

Berbicara prihal kepemimpinan, terkadang sebagian besar kalangan negeri ini mengetengahkan pola kepemimpinan yang berasal dari Barat. Banyak tokoh yang bisa diajukan untuk dijadikan contoh prinsip kepemimpinannya. Macchievelli, Lenin, Stalin, Hitler, Mussolini, Goerge Washington, hingga Barack Obama. Akan sangat langka jika konsep kepemimpinan itu diketengahkan oleh kalangan tradisional. Kalangan yang identik dengan kejumudan, kolot, dan kaum sarungan.

Namun, kelangkaan itu coba untuk di lewati oleh penulis kelahiran Grobogan Jawa Tengah, M.N Ibad melalui karya ini. Buku berjudul Leadhership Secret of Gus Dur-Gus Miek ini, mencoba menyajikan 18 prinsip kepemimpinan ala kyai controversial NU, Gus Dur dan Gus Miek. Sebagaimana diketahui, kedua sosok ini di kenal karena ke-nyelenehan-nya dalam menjalankan roda organisasi dan jam’iyahnya.

Kenyelenehan Gus Miek tampak saat dia masih kecil. Saat usianya menginjak dua belas tahun, ia sudah menyelesaikan berbagai kitab gundul. Kitab kuning betuliskan Arab tanpa ada harakat. Selain itu Gus Miek kecil juga sangat suka berziarah ke makam para wali di Jawa Timur. Mengunjungi mursyid-mursyid yang membawahi tarekat serta mendatangi tempat-tempat hiburan malam, perjudian dan kemaksiatan.

Dengan metode dakwahnya, Gus Miek mendirikan jama’ah dzikir Jamaah Lailiyyah. Disebabkan karena bergabungnya KH. Ahmad Shiddiq, Jamaah Lailiyyah di rubah menjadi Jamaah Dzikrul Ghofiliin. Sedikit demi sedikit kharisma Gus Miek mulai meningkat pesat. Dari berbagai kalangan mengikuti jamaah yang didirikannya. Pengusaha, pelacur hingga bomocorah dirangkulnya. Saat semua kyai kharismatik NU mendukung metode dakwahnya yang di luar mainstream kebanyakan kyai NU lainnya, Gus Miek pada akhirnya bisa mewujudkan impian terbesar dalam hidupnya, yaitu mendirikan Jama’ah Istima’il Qur’an Jantiko Mantab.

Lain Gus Miek, lain pula Gus Dur. Kalau Gus Miek lebih memilih berkiprah di jalur dakwah lembah kemaksiatan. Gus Dur menempuh jalur dakwahnya melalui jalur organisasi dan politik. Dua jalur inilah yang menghantarkannya hingga menjadi pimpinan puncak di negeri ini.

Masa kecil Gus Dur layaknya anak seorang Kyai. Gus Dur bisa menempuh pendidikan dengan wajar selayaknya anak Kyai pada umumnya. Hingga mudah baginya untuk menempuh pendidikan sampai ke luar negeri. Mesir, Baghdad sampai Belanda-pun dijelajahinya.

Ketidakpuasan Gus Dur akan sistem pembelajaran di Mesir yang hanya menitik beratklan pada metode menghafal, membuat Gus Dur banyak menghabiskan hari-harinya dengan menonton film dan membaca di perpustakaan. Ketidakpuasan itu sedikit hilang setelah diterimanya Gus Dur untuk menempuh pendidikan di kota Baghdad. Setelah habis masa studynya di Baghdad, Gus Dur mulai menapakkan kakinya di Bumi Eropa, tepatnya di negeri Belanda. Tapi disebabkan karena tidak adanya perguruan tinggi di Belanda yang mau menerima ijazah Baghdad-nya, kembalilah Gus Dur pada tanah kelahirannya, Indonesia.

Berawal dari sinilah Gus Dur bergelut dalam dunia organisasi Nahdlatul Ulama’. Sebuah oraganisasi yang kelahirannya dibidani oleh kakeknya, KH. Hasyim Asy’arie. Organisasi terbesar di Indonesia ini bahkan sempat berada dalam nahkodanya selama beberapa periode. Kala memipin NU-lah sikap controversial Gus Dur mulai tampak. Hingga disebabkan karena kekontroversialannya itu, Gus Dur dijuluki Sang Pendekar Mabuk.

Kedua tokoh controversial ini memang berbeda wilayah perjuangannya. Akan tetapi, soal prinsip-prinsip kepemimpinan, keduanya mempunyai kemiripan yang tak jauh beda. Dalam buku setebal 214 halaman ini, M.N. Ibad mencoba menyuguhkan kepada sidang pembaca 18 prinsip kepemimpinan yang dipakai oleh keduanya dalam menjalankan roda organisasi dan jam’iyyahnya.

Pertama, segala sesuatu mesti diperjuangkan. Kedua, Sadar akan kelebihan dan kekurangan diri. Ketiga, posisi puncak tidak untuk mengejar kenikmatan duniawi. Keempat,berani mengorbankan harta, ruang dan waktu serta keluarga. Kelima, cerdas membaca posisi. Keenam, berani mengambil sikap meskipun namanya hancur. Ketujuh, berani membela yang terpinggirkan. Kedelapan, keputusan dan tindakan terbaik terkadang tidak bisa didiskusikan. Dalam bahasanya Pak Beye, Thinking Out Side the Box. Kesembilan, berbuat baik kepada seseorang tanpa harus sepengetahuan yang bersangkutan. Kespuluh, dekat dengan bawahan.

Kesebelas,menempatkan umat atau rakyat pada posisi teratas dibanding keluarga. Kedua belas, mempunyai visi ke depan. Ketiga belas, mengakomodir semua karakter. Keempat belas, tak ada prinsip lawan, yang ada adalah system yang menindas. Kelima belas, sadar tak ada seorangpun manusia yang “sakti”. Keenam belas, memberi kepercayaan sebagai sebuah kesadaran, meski dirinya sadar hanya dimanfaatkan saja. Ketujuh belas, berani mengambil resiko atas keputusan yang diambilnya. Kedelapan belas, membuka diri untuk di kritik.

Melihat 18 prinsip kepemimpinan ala kyai kontroversial NU, Gus Dur-Gus Miek di atas . Kita bisa melihat, bahwa seorang pemimpin itu selayaknya untuk selalu mengutamakan umat atau rakyatnya dibanding dirinya atau keluarganya sekalipun. Di saat kebanyakan rakyat masih kesulitan dalam mengais rezeki, tak pantas kiranya jika pemimpin tersebut menampakkan kemewahan, keglamouran serta hidup bermewah-mewahan di atas umat atau rakyat yang masih kelaparan.

Gus Dur-Gus Miek mencoba memberikan teladan melalui buku ini lewat perhatiaannya yang begitu besar pada kalangan bawah. Hal itu bisa dilihat, begitu dekat keduanya dengan kalangan masyarakat bawah kala berada di atas puncak kepemimpinannya. Tentu kita semua masih ingat, Gus Dur-lah presiden yang pertama kali membuka istana Negara untuk rakyat. Rakyat begitu bebas masuk kedalamnya. Tak ada sekat, pembatas, antara rakyat dan dirinya.

Keduanya, Gus Dur-Gus Miek juga berani mengambil sikap dan keputusan meski namanya hancur di mata mayoritas. Sepak terjang keduanya yang controversial memang terkesan mengagetkan semua pihak, akan tetapi jika ditelaah, dipikirkan secara lebih mendalam di sana ditemukan sisi-sisi kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi.

Kehadiran buku ini sangatlah tepat di tengah krisis multi dimensi yang menyelimuti negeri ini Pola kepemimpinan yang dijadikan pijakan oleh para petinggi negeri sudah saatnya untuk diperbaiki. Terkuaknya beberapa petinggi negeri yang berselingkuh dengan tindak pidana korupsi, makin menunjukkan adanya krisis kepemimpinan dan keteladanan.

Kehadiran buku ini di tengah-tengah kita sangatlah tepat saat tak ada lagi yang bisa diteladani dari pemimpin kita. Buku ini pantas di baca oleh semua kalangan yang mempunyai profesi apapun. Karena didalamnya menawarkan konsep prinsip kepemimpinan yang tidak hanya mementingkan sisi duniawi saja. Tapi juga sisi ukhrawi yang sering ditinggalkan selama ini.



*Penulis Mahasiswa Theologi & Filsafat IAIN Sunan Ampel dan aktif di Bibliopolis Surabaya.


Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Mas Template
Copyright © 2011. SHOFA AS-SYADZILI - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website | Edited by Arick Evano
Proudly powered by Blogger