FRANKY, MAESTRO MUSIK KAUM PINGGIRAN

Sabtu, 30 April 2011

tanah pertiwi anugerah ilahi

jangan ambil sendiri

tanah pertiwi anugerah ilahi

jangan makan sendiri


Kutipan bait lagu di atas, penulis ambil dari lagu berjudul “Perahu Retak” yang dinyanyikan oleh penyanyi balada kelahiran Surabaya bernama Franky Hubert Sahilatua. Bait itu bagai menampar seluruh aparat negeri ini yang mencoba untuk memperkaya diri sendiri. Saat rakyat masih banyak yang kelaparan, keadilan yang tidak merata serta hukum yang diperjual belikan, kekayaan Negara yang di kuras hanya untuk kepentingan pribadi dan golongan, bait lagu itu mencoba hadir untuk membongkar nalar bebal kita.

Namun kini, lantunan suara serta petikan gitar yang dimainkan Franky tidak akan bisa di dengar lagi oleh seluruh pecinta musik tanah air. Tepat tanggal 20 April 2011, Sang Pemilik Kerajaan Langit dan Bumi telah memeluknya dalam damai berselimut bahagia. Sakit kanker tulang belakang yang dideritanya ibarat kereta kencana yang menghantarkannya menuju keharibaan Ilahi Rabbi.

Kepergiannya yang begitu cepat, sungguh merupakan suatu kehilangan besar bagi dunia musik kita. Belum sebulan kita semua ditinggalkan oleh sastrawan Ratna Indraswari Ibrahim serta wartawan senior Rosihan Anwar. Bumi pertiwi kembali berduka.

Harapan yang begitu besar untuk menyejahterakan rakyat, akhirnya tak kesampaian jua hingga akhir hayatnya. Namun hal itu bukanlah menjadi alasan bagi siapapun untuk terus menyuarakan suara rintihan kaum pinggiran di Republik ini. Kritik social yang dilontarkannya melalui lagu bisa dijadikan sebuah pelajaran bahwa hidup adalah pengejawantahan dari kata-kata.

Kalau dulu bangsa ini masih punya si burung merak, WS. Rendra, yang mencoba menguliti problematika social melalui puisi dan sastra. Franky mengajarkan kepada kita semua tentang bentuk protes melalui lagu. Sosok Franky adalah sosok penyanyi yang menyanyi dengan nafas kerakyatan. Ia tinggalkan popularitas, glamouritas dan mendekat pada rakyat, peduli kondisi kemelaratan dan penindasan bangsa.

Tentu kita masih ingat, bagaimana berkuasanya rezim penguasa pada periode orde lama dan orde baru. Kedua pemimpin saat itu, begitu ketat menyensor tiap perlawanan yang dilakukan pekerja seni. Baik yang berada di jalur sastra dan musik. Protes sedikit saja, langsung main gebuk. Sekali bersuara lantang, langsung di jerat undang-undang subversive. Menganggu ketertiban umum, demikian apologi yang dibangun.

Suara lantang yang dikumandangkan Franky melalui lagu sempat juga membuat penguasa meradang. Sepotong bait lagu di atas tanpa tedeng aling-aling menunjukkan keserakahan penguasa kala itu. Fungsi sebagai corong suara rakyat yang terbungkam, benar-benar dimainkan dengan apik olehnya. Franky melalui lagu “Perahu Retak” itu, terlihat begitu mampu merekam dengan baik rintihan hati yang disuarakan oleh rakyat.

Kritikannya penuh dengan kejujuran atas fakta yang terjadi. Dengan demikian, tak ada alasan bagi siapapun, hatta penguasa sekalipun untuk menutup telinga dari suara kebenaran yang dilantunkannya melalui lagu. Karena, pesan yang disampaikannya melalui lagu tersebut adalah segala macam penderitaan rakyat. Ketimpangan, kelaparan, korupsi yang dilakukan penguasa, penguasaan asset Negara demi kepentingan pribadi, itulah realitas yang terjadi hingga saat ini. Tembang-tembang lagu yang dinyanyikannya merupakan gambaran wajah bopeng negeri ini.

Sastra dan lagu, sebagaimana dikatakan oleh AS. Laksana, merupakan bentuk perlawanan tanpa henti-henti. Dari sastra dan lagu pula realitas social yang terpendam bisa di ungkap dengan jelas di depan publik. Saat semua lubang tersumbat dalam menyuarakan aspirasi, sastra dan lagu mencoba menerabas ruang tabu nan pengap itu.

Tak terhitung berapa jumlahnya pejuang demokrasi, pejuang keadilan, pejuang HAM yang melewati jalan sunyi sastra dan lagu sebagai bentuk perlawanan. Orkestrasi alunan puisi dan lagu yang mereka mainkan memang sering terlupakan. Akan tetapi setidaknya mereka telah memberikan satu warna yang berarti dalam beberapa warna hidup buat kita semua.

Almarhum Franky termasuk salah satu sosok yang berada di jalan sunyi perlawanan itu. Di saat perlawanan yang di lakukan oleh manusia-manusia terhormat melalui parlemen berselingkuh dengan kekuasaan, berprilaku amoral, melakukan manipulasi korupsi, yang benar dianggap salah dan yang salah dianggap benar. Franky dengan petikan gitarnya mencoba melihat realitas social politik itu hanya dengan nada dan lagu.

Semoga kepergiannya menghadap Sang Kebenaran merupakan bentuk perlawanannya juga kepada ketidakadilan, dengan melaporkan kekeliruan yang ada dalam pengelolaan negeri ini kepada-Nya. Selamat Jalan, Wahai Musisi Ideologis Reformis, penyambung lidah kaum pinggiran. Semoga damai selalu di sisi-Nya. Amien.

*Mahasiswa Theologi dan Filsafat IAIN Sunan Ampel, bergiat di Bibliopolis Surabaya

(Tulisan ini di muat di Radar Surabaya, Kolom Horizon Minggu, 01 Mei 2011)

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Mas Template
Copyright © 2011. SHOFA AS-SYADZILI - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website | Edited by Arick Evano
Proudly powered by Blogger