
“Maaf…Aku tak bisa”..!!! Kata itu meluncur dengan nada keras, menghentak wanita yang memaksaku untuk berhenti dari membaca dan menulis. “ Jika kamu memaksaku, lebih baik usai saja hubungan kita. Aku tak ingin dibelenggu oleh keinginanmu yang naïf itu. Buku bagiku adalah pacar abadi. Tak ada seorangpun yang bisa menggantikannya. Saat aku dalam kesusahan, ia selalu setia menemaniku. Saat bahagiapun, ia turut merasakan kebahagianku”.
Sejenak kupandangi dua mata sayu itu melelehkan air mata. Kubelai rambutnya, kuangkat dagunya. “ Maaf sayang, untuk hal yang satu itu, aku tak bisa menuruti keinginanmu. Bukan aku tak sayang, bukan aku tak cinta. Bagiku, kau juga sebuah maha karya sastra dari Sang Maha Cinta. Namun bukan berarti dirimu bisa menghentikan aku tuk berhubungan mesra dengan buku. Sebab darinyalah aku bisa memahami dirimu”.
”Ok. Aku sadar, terkadang atau bahkan sering aku melupakanmu gara-gara buku. Namun bukan berarti aku harus engkau larang untuk bermesraan dengannya. Dulu, saat pertama kali kita berikrar untuk saling memotivasi, kamu khan pernah bilang, ”aku ingin jadi orang yang selalu berada dibelakangmu mas, apapun dan bagaimanapun dirimu. Iya khan?. Lalu kenapa kau lupakan itu?”
Diam. Menangis. Ah mahluk Tuhan satu ini memang sulit di mengerti. Harus bagaimana lagi aku berbicara padanya. Tak ada kata, tak ada suara. Yang ada hanyalah desiran angin malam di penghujung April 2011.
Malam itu adalah malam terakhir kupeluk wanita yang kusayangi. Ia keukeuh dengan pendiriannya. ”Aku atau Buku. Itu pilihanmu mas..”!! Segera ia membelakangiku dan berlari di antara hamparan bunga-bunga beraroma duka. Lamat-lamat, bayangannya hilang di telan malam. Kupandangi bulan yang menjadi saksi akhir dari sejarah cintaku. Duka. Kelam.
Wanita, Kaum Hawa yang membuat Adam terusir dari Surga. Aku tak ingin mengalami nasib yang sama dengan Adam. Terbuai dengan bujuk rayu Hawa, Adam menjadi pesakitan di dunia fana ini. Andai saja Adam ada dihadapanku, akan kucecar dia dengan beribu pertanyaan. Satu tugasku, menginterogasinya!!!...
Aku tak ingin mahluk yang bernama wanita itu menjadi penghambat bagi cita dan harapanku. Meski harus kuakui, banyak pula wanita yang berada di balik kesuksesan seorang pemimpin. Namun, itu bisa di hitung dengan jari. Kebanyakan sebab wanitalah seorang pejuang bisa takluk diantara himpitan mulusnya betis keturunan Ken Dedes itu.
Kutatap langit-langit malam yang berjelaga dengan mesranya bersama bintang-bintang. Kutarik nafas dalam-dalam mencoba menghempaskan beban yang menghimpit jiwa. Segera kulangkahkan kaki menuju laboratorium intelektualku. Kulihat di sana berdampingan Perpustakaan Ajaib Bibi Bokken-nya Jostein Gaarder dan Melawan Dengan Teksnya Yudhie Haryono. Berderet-deret karya penulis dunia di rak buku seakan-akan memanggilku untuk bersenggama dengannya.
Karen Armstrong, Husayn Fattahi, Orhan Pamuk, Nietzsche, Dostoevsky, Sartre, Robet Haris, Hemingway, GG.Marquez dan masih banyak lagi. Mereka semua kekasih sejatiku dalam bentuk lembaran-lembaran usang penuh debu. Pada merekalah kutemukan jejak tapak kaki Tuhan yang mengejewantah dalam bentuk kata. Dalam bentuk teks.
Tak sengaja kulihat gambar wanita itu masih bertengger di atas meja kerjaku. ” Kasih, tak tahukah kamu, dirimulah sumber inspirasi dan aspirasi diriku dalam menjelajah dunia kata-kata ini?. Andai kau tahu, bahwa di ruang pengap berbau khas kertas ini, aku selalu mengajakmu bertamasya dalam keindahan dan kedalaman ilmu-Nya. Aku mengajakmu berdansa dikedalaman samudra tak bertepi. Menyelam....Tenggelam.....Mabuk dalam cinta pada ilmu-Nya.....Kau dan aku terkapar lemas dalam istana imajiner yang aku bangun di ruang ini. Tapi, kenapa kau hancurkan istana imajiner itu dengan kegoisanmu??
(Bersambung)
Sejenak kupandangi dua mata sayu itu melelehkan air mata. Kubelai rambutnya, kuangkat dagunya. “ Maaf sayang, untuk hal yang satu itu, aku tak bisa menuruti keinginanmu. Bukan aku tak sayang, bukan aku tak cinta. Bagiku, kau juga sebuah maha karya sastra dari Sang Maha Cinta. Namun bukan berarti dirimu bisa menghentikan aku tuk berhubungan mesra dengan buku. Sebab darinyalah aku bisa memahami dirimu”.
”Ok. Aku sadar, terkadang atau bahkan sering aku melupakanmu gara-gara buku. Namun bukan berarti aku harus engkau larang untuk bermesraan dengannya. Dulu, saat pertama kali kita berikrar untuk saling memotivasi, kamu khan pernah bilang, ”aku ingin jadi orang yang selalu berada dibelakangmu mas, apapun dan bagaimanapun dirimu. Iya khan?. Lalu kenapa kau lupakan itu?”
Diam. Menangis. Ah mahluk Tuhan satu ini memang sulit di mengerti. Harus bagaimana lagi aku berbicara padanya. Tak ada kata, tak ada suara. Yang ada hanyalah desiran angin malam di penghujung April 2011.
Malam itu adalah malam terakhir kupeluk wanita yang kusayangi. Ia keukeuh dengan pendiriannya. ”Aku atau Buku. Itu pilihanmu mas..”!! Segera ia membelakangiku dan berlari di antara hamparan bunga-bunga beraroma duka. Lamat-lamat, bayangannya hilang di telan malam. Kupandangi bulan yang menjadi saksi akhir dari sejarah cintaku. Duka. Kelam.
Wanita, Kaum Hawa yang membuat Adam terusir dari Surga. Aku tak ingin mengalami nasib yang sama dengan Adam. Terbuai dengan bujuk rayu Hawa, Adam menjadi pesakitan di dunia fana ini. Andai saja Adam ada dihadapanku, akan kucecar dia dengan beribu pertanyaan. Satu tugasku, menginterogasinya!!!...
Aku tak ingin mahluk yang bernama wanita itu menjadi penghambat bagi cita dan harapanku. Meski harus kuakui, banyak pula wanita yang berada di balik kesuksesan seorang pemimpin. Namun, itu bisa di hitung dengan jari. Kebanyakan sebab wanitalah seorang pejuang bisa takluk diantara himpitan mulusnya betis keturunan Ken Dedes itu.
Kutatap langit-langit malam yang berjelaga dengan mesranya bersama bintang-bintang. Kutarik nafas dalam-dalam mencoba menghempaskan beban yang menghimpit jiwa. Segera kulangkahkan kaki menuju laboratorium intelektualku. Kulihat di sana berdampingan Perpustakaan Ajaib Bibi Bokken-nya Jostein Gaarder dan Melawan Dengan Teksnya Yudhie Haryono. Berderet-deret karya penulis dunia di rak buku seakan-akan memanggilku untuk bersenggama dengannya.
Karen Armstrong, Husayn Fattahi, Orhan Pamuk, Nietzsche, Dostoevsky, Sartre, Robet Haris, Hemingway, GG.Marquez dan masih banyak lagi. Mereka semua kekasih sejatiku dalam bentuk lembaran-lembaran usang penuh debu. Pada merekalah kutemukan jejak tapak kaki Tuhan yang mengejewantah dalam bentuk kata. Dalam bentuk teks.
Tak sengaja kulihat gambar wanita itu masih bertengger di atas meja kerjaku. ” Kasih, tak tahukah kamu, dirimulah sumber inspirasi dan aspirasi diriku dalam menjelajah dunia kata-kata ini?. Andai kau tahu, bahwa di ruang pengap berbau khas kertas ini, aku selalu mengajakmu bertamasya dalam keindahan dan kedalaman ilmu-Nya. Aku mengajakmu berdansa dikedalaman samudra tak bertepi. Menyelam....Tenggelam.....Mabuk dalam cinta pada ilmu-Nya.....Kau dan aku terkapar lemas dalam istana imajiner yang aku bangun di ruang ini. Tapi, kenapa kau hancurkan istana imajiner itu dengan kegoisanmu??
(Bersambung)
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !