TAREKAT UNIK ALA ABUYA DIMYATI
Jalan menuju Tuhan itu banyak, sebanyak hembusan nafas mahluk-Nya. Itulah kalimat yang pernah diucapkan oleh tokoh sufi penganut paham cinta atau mahabbah dalam dunia tasawwuf yaitu Syekh Jalaluddin Rumi. Banyaknya jalan menuju Tuhan itulah yang membuat tokoh yang diangkat oleh penulis dalam buku ini melewati jalan yang tak pernah dilewati oleh kebanyakan pesuluk atau penempuh jalan spiritual lainnya. Jalan yang dilewati itu adalah dengan cara mengaji.
Tokoh itu adalah Syaikh Dimyathi bin Muhammad Amin al-Banteni atau akrab dikenal oleh para santri di daerah Jawa dengan sebutan Abuya Dimyathi atau Mbah Dim. Abuya sendiri adalah kata serapan yang berasal dari bahasa Arab yang maknanya sama dengan kata Syaikh yang berarti orang yang dituakan karena keilmuan yang dimilikinya (Hal 10). Lebih spesifik lagi, kata Abuya berhubungan dengan dunia spiritual. Dimana dia berperan sebagai pembimbing para murid dalam menjalani dunia tasawuf.
Ketokohan Syekh Abuya Dimyathi sebenarnya sudah mulai tampak ketika masih muda. Begitu cintanya beliau terhadap ilmu hingga setiap mendengar di suatu tempat ada seorang ulama’ yang berilmu tinggi maka tak segan segan beliau belajar kepada ulama’ tersebut. Hal itu dapat terlihat dari banyaknya guru-guru-guru beliau. Diantaranya adalah Syaikh Abdul Halim Kalahan, salah seorang murid dari ulama’ penyebar Islam di daerah Banten serta yang mempunyai hak untuk menyebarkan tariqat Qadiriyyah Wa Naqsayabandiyyah yaitu Syaikh Abdul Karim. Selain itu ada pula Syaikh Mama Sempur Purwakarta serta Syaikh Ma’shum dan Syaikh Baidlowi Lasem.
Menilik dari beberapa gurunya itu, maka Abuya Dimyathi sangatlah teguh menjalankan perintah syar’iat Bukan hanya itu saja, prilaku kehidupannyapun sangat tampak sekali dipenuhi oleh pendekatan tasawwuf. Seperti Juhud, tawadlu, ikhlas dan istiqomah. Maka tidaklah mengherankan apabila ada sebagian ulama’ yang menyebut Abuya Dimyathi adalah ulama’ rasikhah. Ulama’ yang sikapnya sehari-hari merupakan cerminan dari ilmu yang dikuasainya (Hal 30).
Ada satu hal yang sangat menarik dari sosok ulama’ yang banyak menghabiskan waktunya dengan mengajar kitab karya para ulama’ salaf ini kepada santri-santrinya. Satu hal itu adalah caranya berjalan menuju kepada Allah dalam menggapai tangga makrifat. Jalan spiritual itu adalah dengan cara mengaji atau dengan kata lain belajar. Hal itu bisa dilihat dari kata-kata yang sering diucapkannya “Thariqah aing mah ngaji” yang berarti Thariqatku adalah ngaji.
Mengaji adalah sebuah proses transformasi ilmu pengetahuan dari guru kepada murid. Melalui ngaji ini sejarah dan keteladanan Nabi serta para Sahabat dan Tabiin diwariskan kepada generasi selanjutnya. Dan melalui ngaji pulalah seorang santri akan memperoleh ilmu, yang mana dengan ilmunya itu dia dapat menjalani amal dan praktik ibadah menjadi bersih dari segala hal yang dapat merusak nilai ibadah itu sendiri. Hal ini sesuai dengan apa yang pernah dikatakan oleh Imam al-Ghazali bahwa orang-orang yang selalu belajar akan sangat dihormati. Semua pengetahuan yang tidak dilandasi ilmu pengetahuan pasti akan runtuh.
Melihat begitu pentingnya ngaji ini, seakan-akan Abuya Dimyathi memberikan pengajaran kepada pembaca bahwa ngaji adalah asbabul futuh, kunci dari beberapa pintu. Maka bisa dikatakan bahwa orang yang tidak mau ngaji atau belajar adalah orang yang sombong. Merasa bisa dan mampu melakukan apapun tanpa ngaji atau belajar. Yang pada akhirnya akan mengakibatkan orang itu bukan malah mendekat kepada Allah tapi malah semakin jauh.
Namun sayang, ulama’ yang selalu menjadi pusat perhatian ini tepat pada hari Jum’at tanggal 3 oktober 2003 / 07 Sya’ban 1424 H, sekitar pukul 03:00 wib telah dijemput oleh Allah dalam usia 78 tahun. Padahal, pada hari itu juga akan dilangsungkan acara resepsi pernikahan putranya yang ke-4. Begitu mendengar bahwa Abuya Dimyathi wafat, maka pesantren yang terletak di desa Cidahu Cadasari Pandeglang Banten itu ramai dikunjungi oleh masyarakat yang ingin mengikuti acara resepsi pernikahan sekaligus pemakaman Abuya Dimyathi. Kejadian ini adalah suatu rahasia Allah yang Maha Mengatur yang dengan kekuasaannya dapat menjalankan dua agenda besar sekaligus secara bersamaan “pernikahan” dan “pemakaman”.
Ada beberapa hal yang kurang dari buku ini dan itu sangat mengganggu kelancaran serta pemahaman pada apa yang akan dipaparkan oleh penulis. Seperti tak adanya cetakan tulisan pada halaman 8 dan 13. Serta kurangnya data yang di miliki oleh penulis untuk dijadikan referensi dari buku ini.
Terlepas dari kekurangan-kekurangan itu. Buku yang di tulis oleh H. Murtadlo Hadi ini sangat layak dikonsumsi oleh masyarakat umum serta para pendidik atau guru di sekolah Islam atau umum untuk di ambil butiran-butiran hikmah yang ada didalamnya yang digambarkan dengan jelas oleh penulisnya melalui pengamatannya sendiri selama menjadi santri di pondok pesantren yang di asuh oleh Abuya Dimyathi. Selain itu, agar pembaca dapat pula meneladani sikap dan prinsip hidup Abuya Dimyathi. Karena dengan meneladani sikap dan prinsip hidup Abuya Dimyathi, yang dengan itu diharapkan pembaca akan dapat “mewarisi” sifat-sifatnya berupa cinta kepada ilmu dan ulama’.
Intinya, ada satu pesan konkret yang dapat diambil dari buku ini. Pesan itu adalah : janganlah sekali-kali meninggalkan ngaji dengan alasan apapun termasuk umur sekalipun. Apalagi dengan alasan hajatan partai, yang mana pada saat ini para ulama’ yang merupakan Waratsatul Anbiya’ banyak berkecimpung didalamnya sehingga lupa akan kewajibannya untuk mengajar para santrinya. Falyatafakkar (Maka berpikirlah).
Judul : Jejak Spiritual Abuya Dimyathi
Penulis : H. Murtadlo Hadi
Penerbit : Pustaka Pesantren (Kelompok Penerbit LKiS)
Cetakan : Pertama, Mei 2009
Tebal : xvi + 104 halaman : 12 x 18 cm
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !