Hasil Diskusi Online Lingkar Penulis HMI : Teknik Penulisan Novel (Sesi III)

Senin, 07 Agustus 2017

Sebelumnya, penulis haturkan permohonan maaf terlebih dulu pada semua pembaca yang menanti hadirnya tulisan hasil diskusi online dalam grup Lingkar Penulis HMI sesion III ini. Kebahagiaan saat berada di kampung halaman pada liburan Idul Fitri kemarin, membuat penulis tak dapat meluangkan waktu untuk merangkum hasil diskusi online tersebut yang diadakan pada Senin, 12 Juni 2017. Meski begitu, sebagai upaya untuk berbagi pada semua kalangan, toh tak ada salahnya bila tulisan ini muncul belakangan. Intinya, pesan dalam diskusi tersebut tetap tersampaikan pada semua kader HMI di seluruh Nusantara yang tak dapat mengikuti forum diskusi tersebut.

Kali ini pembahasan diskusi online difokuskan pada “Teknik Penulisan Novel”, dengan narasumber Mbak Wina Bojonegoro. Novelis asal Bojonegoro Jawa Timur ini telah menelurkan beberapa karya tulis yang ciamik dan nyaman dinikmati. Di antaranya novel ‘The Souls : Moonlight Sonata’, ‘Fantasia’ dan beberapa kumpulan cerpen dalam ‘Mozaik Kota Kenangan’ dan banyak lainnya.

Dalam pemaparannya, Mbak Wina menyatakan bahwa ia baru sadar ternyata menulis novel itu tidaklah mudah. Ada beberapa persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang penulis ketika hendak menuliskan sebuah novel. Butuh nafas panjang, kelihaian dalam mengatur plot atau alur, dan pengaturan karakter tokoh dalam novel tersebut yang kudu jelas. Baik jelas secara fisik dan psikologis. Hal inilah,menurut Mbak Wina, yang membuat penulis patah hati saat memulai dan tengah menuliskan novelnya.

Menulis novel tidak seperti menulis cerpen di mana seorang penulis dapat menskip waktu. Dalam penulisan novel semuanya harus runut dan runtut. Yang membuat pusing tujuh keliling, tambah Mbak Wina, adalah bila editor penerbit meminta perubahan seting. Meskipun yang diminta itu sedikit, namun mengubah seluruh bab yang sudah ditulis. Hal ini tentu membuat penulis harus mendaur ulang kembali hasil tulisannya.

Hal lainnya yang perlu diperhatikan dengan jeli oleh penulis yang hendak menulis novel adalah perlunya MELAKUKAN RISET. Mbak Wina membagikan pengalamannya saat ia menulis novel ‘The Souls : Moonlight Sonata’ yang karakternya sangat jauh dari kehidupannya. Yaitu sebagai pemain biola dan dokter. Untungnya saat penulisan novel tersebut ada beberapa teman dari Mbak Wina yang bersedia untuk menjadi narasumbernya sehingga dapat menghindarkannya dari hal-hal yang fatal.

Misal,dalam pemberian dosis anestesi. Ternyata seorang dokter kudu memperhatikan berat badan sang pasien, untuk kemudian dibagi cc obatnya. Sebelumnya, Mbak Wina menuliskan novelnya itu ngawur tanpa data dan riset terlebih dulu. Ia tidak dapat membayangkan andai novel itu sudah beredar dan dibaca oleh khalayak. Tentu novel tersebut akan menjadi bahan tertawaan Dokter yang membacanya. Sehingga sebagai penulis, ujar Mbak Wina, dituntut untuk rajin, jeli, dan haus akan ilmu.

Dalam diskusi terkait penulisan novel ini, ada beberapa peserta grup yang antusias untuk bertanya. Salah satunya Rudi, kader HMI Cabang Bangkalan yang bertanya terkait cara melanjutkan jalan cerita yang berhenti di tengah jalan. Menurut Mbak Wina, bagi penulis pemula, yang harus dilakukan adalah memberi kesempatan pada kawan-kawan terdekatnya untuk membaca novel yang ditulisnya itu. Sehingga dari sanalah akan diperoleh masukan terkait novel tersebut. Baik dari sisi jalan cerita, diksi yang digunakan, apakah jalan ceritanya cukup menarik atau bahasa yang digunakan cukup kekinian. Hal-hal itulah yang kudu diperhatikan sebelumnya oleh seorang penulis pemula.

Dalam penulisan Novel juga tidak selalu harus menggunakan majaz. Penggunaan majaz memang dapat menjadi nilai tambah bagi sebuah novel tapi itu tergantung dari jenis novel yang hendak ditulis. Kalau melihat banyaknya novel-novel remaja berjenis teenlit, rata-rata penulisnya tak menggunakan majaz dan bahkan novel tersebut laku keras. Makanya penulis itu ada dua jenis golongan. Golongan pertama, penulis yang sangat nyastra, tulisannya bagus, tapi di pasaran lakunya sedikit. Kedua,penulis ngepop, yang tulisannya mudah dicerna. Kelompok kedua ini dinilai sebagai penulis novel yang tidak berbobot tapi anehnya karya penulis bergenre ngepop di pasaran ternyata banyak peminatnya. Inilah dilema bagi seorang penulis. Di satu sisi, seorang penulis menginginkan karyanya bagus dan dimasukkan dalam golongan keras berat. Namun di sisi lain seorang penulis tentu menginginkan karyanya laku keras. Dan penggunaan majaz hanyalah salah satu daya tambah dalam sebuah penulisan novel.

Syarat lainnya yang harus dilakukan oleh seorang penulis novel adalah MEMBUAT OUT LINE. Out line itu adalah pembagian plot cerita. Misal, bab satu penulis hendak menulis apa. Si A dalam perjalanannya dari kota A ke Kota B. Kemudian bab kedua penulis hendak bercerita apa. Misalnya si A tadi sudah sampai di kota B dan bertemu dengan seseorang dan berproses dan lain sebagainya. Bab ketiga penulis mau menuliskan apa lagi. Itu namanya out line dan itu ditulis perbab supaya penulis tidak keluar dari jalur yang sudah ditetapkan dan penulis tahu harus menulis apa.

Kecepatan seseorang dalam menulis novel juga banyak dipengaruhi oleh kondisi, mood, kesibukan, dan pengaruh dari luar. Misal, kalau seorang penulis sedang banyak buku yang sedang dibaca, maka ia tak akan bisa menulis. Penulisan The Souls Moonlight Sonata yang ditulis oleh Mbak Wina membutuhkan waktu hanya tiga bulan saja. Berbeda dengan penulisan The Souls Fantasia yang membutuhkan waktu berbuan-bulan dalam penulisannya dikarenakan kesibukannya yang begitu padat. Jadi, kesediaan waktu seorang penulis untuk melanjutkan novel yang ditulisnya menjadi salah satu faktor sebuah novel itu cepat selesai.

Dari itu, pembuatan out line itu bertujuan agar cerita yang hendak dibangun tidak lari dari jalan cerita yang dibangun. Namun tidak menutup kemungkinan out line yang sedang dibuat itu di tengah jalan mengalami perkembangan.. Bukan berubah, melainkan berkembang. Kalau seorang penulis itu sudah memiliki editor sih enak-enak saja. Selesai out line dibuat, kita bisa menyerahkan langsung pada seorang editor apakah jalan ceritanya menarik. Kalau tidak, apa yang kurang dari out line tersebut? Biasanya seorang editor akan memberi masukan pada seorang penulis. 

Editor yang dimaksud di sini bukan editor EYD melainkan editor cerita. Setelah mendapatkan masukan dari editor cerita, maka seorang penulis akan melanjutkan tulisannya berdasarkan masukan dari editor cerita tersebut. Namun, saat seorang penulis mendapatkan ide di tengah jalan dan itu sangat menarik untuk dimasukkan dalam jalan cerita pada salah satu bab, maka masukkan saja ide jalan cerita tersebut. Asalkan itu tidak lari dari jalan cerita yang hendak dibangun. Jadi, adanya out line itu untuk mempermudah seorang penulis ketika hendak menulis novel.

Dalam penulisan novel fiksi, hal lain yang patut untuk diperhatikan oleh seorang penulis adalah jalan ceritanya harus tetap logis. Fiksi tapi tetap logis di mana logika cerita itu harus tetap ada. Misalnya saat seorang penulis hendak menuliskan cerita prihal vampire. Walau pun itu fiksi pangkat tiga. Mungkin, seorang penulis akan bercerita bahwa sosok vampire itu akan melahirkan hanya dalam tempo satu bulan. Benar nggak sih waktu yang dibutuhkan oleh vampire untuk melahirkan itu satu bulan?. Maka, penulis harus mencari data terkait itu. Ada juga cerita lain, tapi masih bergenre fiksi yang cerita-cerita itu masih tetap logis. Kalau cerita yang dibuat tidak logis, kemudian dibaca oleh khalayak, maka novel tersebut berpeluang untuk ditertawakan oleh khalayak.

Model penulisan dalam sebuah novel juga bisa bebas sebebas-bebasnya. Contohnya adalah novel yang ditulis oleh Jhon Grisham yang selalu membahas prihal hukum. Ia tak pernah lari dari penulisan novel terkait hukum. Begitu juga dengan beberapa novel yang ditulis oleh Dee yang berisi gabungan antara sains, metafisika,sejarah, yang kesemuanya digabungkan oleh Dee. Jadi, model apapun yang hendak ditulis, tergantung pada penulisnya. Apakah novel tersebut mau dibuat nyastra, ngepop, fiksi kuadrat, atau bahkan teenlit. Terserah pada penulisnya. 

Yang penting, jalan cerita yang dibangun dari awal hingga akhir, pembaca dapat memahami apa yang diceritakan. Pembaca juga bisa menikmati apa yang ditulis. Begitupun soal akhir cerita yang hendak dibuat. Apakah hendak berakhir klimaks, mengambang, atau happy ending, itu terserah penulis. Tidak semuanya juga dibuat klimaks. Contohnya adalah karyanya Ayu Utami berjudul Saman yang setiap babnya berbeda dan pembaca tak pernah tahu apakah itu sudah berakhir atau belum.

Menulis novel berdasarkan cerita sendiri juga boleh. Misal beberapa karangan Pram yang diambil dari pengalamannya yang dibaurkan dengan bumbu-bumbu fiksi. Kalau seruatus persen pengalaman kita sendiri, tentu itu tidak menarik. Biografi Dahlan Iskan dalam ‘Sepatu Dahlan Iskan’ yang diulis oleh Krishna Pabichara itu juga dengan gaya novel. Dan itu tidaklah menjadi masalah. Menulis novel juga diperbolehkan menggunakan khayalan selama itu logis. Dan Brown misalnya. Ia mengutak-atik sejarah tapi itu dikombinasikan dengan khayalan semua. Misal dalam karyanya Dan Brown menulis kalau Nabi Isa itu punya anak perempuan. Yang seperti itu adalah pilihan bagi seorang penulis. Kuncinya adalah penulis berani bertanggungjawab terhadap tulisan yang dilemparkan ke masyarakat pembaca.

Mengenai dasar-dasar penulisan novel, yang pertama harus dipersiapkan adalah seorang penulis harus sudah memiliki inti cerita. Kalau sudah memiliki inti cerita, maka seorang penulis harus membuat plot, membuat out line. Setelah itu baru menulis perbab. Dan itu tidak harus berurutan menulis perbabnya. Boleh jadi seorang penulis mengerjakan bab dua terlebih dulu, bab satu dulu. Di mana ide lahir, tetaplah out line yang telah dibuat itu menjadi rujukan.

Intinya, setiap penulisan novel pada bab-bab itu tidak lari dari out line yang dibuat. Dan janganlah dilupakan bahwa kalau hendak menulis novel yang bagus, maka seorang penulis harus membaca pula novel-novel yang bagus sebagai asupan informasinya. Karena buku yang bagus itu adalah gizi yang bagus untuk otak. Kalau gizi yang masuk ke otak itu buruk, maka out put-nya pun buruk (*).


Share this article :

1 komentar:

  1. Saya juga ingin nulis, ternyata mmng ini yg terlewat. baru skarang saya sadari. terimakasih 🙏

    BalasHapus

 
Support : Mas Template
Copyright © 2011. SHOFA AS-SYADZILI - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website | Edited by Arick Evano
Proudly powered by Blogger