Hasil Diskusi Online Lingkar Penulis HMI (Sesi II)

Sabtu, 10 Juni 2017

Setelah diskusi online via WhatsApp Group “Lingkar Penulis HMI” sesi I terlaksana dengan lancar, respon positif dari anggota yang ada di dalamnya kemudian bermunculan. Satu-persatu anggota grup mulai bersuara dan sangat terbantu dengan adanya forum diskusi online tersebut dalam perjalanan kepenulisan mereka selanjutnya. Semua-muanya berpendapat perlunya diskusi semacam itu digelar kembali dengan menghadirkan pemateri yang berbeda dengan tema yang juga berbeda.

Awalnya, grup tersebut selalu sepi. Jarang sekali ada tema diskusi yang dilemparkan di dalamnya. Ibarat rumah hantu, grup tersebut selalu diselimuti kemurungan karena berada diperingkat paling bawah dari beberapa grup yang kuikuti. Bahkan, pernah salah satu anggota nyeletuk dan meminta agar ada percakapan-percakapan yang bisa membuat grup jadi lebih hidup dan semarak.

Akhirnya anggota grup bernama Ikhsan Yosarie, kader HMI Cabang Padang, memberi usul agar ada diskusi online via WA. Tanpa pikir panjang, aku pun mengiyakan dan segera menghubungi pemateri. Tulisan ini adalah hasil diskusi online sesi II tersebut setelah sesi sebelumnya usai aku tulis. Grup yang awalnya selalu dirundung kesepian, kesunyian dan kesunyatan, kini dipenuhi dengan suara-suara keramaian, canda gurau, dan saling berbagi tulisan.

Pada ‘NGABUBUWRITE’ sesi II kali ini, pemateri yang diundang untuk hadir dalam grup adalah Kakanda Rosdiansyah, seorang penulis sekaligus peneliti pada The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi/JPIP, Surabaya. Ia memaparkan prihal ‘Seluk Beluk Penulisan Resensi’.

Semua orang tentu sudah tahu dan akrab tentang resensi buku yang ada di koran dan majalah. Bahkan kecenderungan saat ini, resensi buku tak hanya ada di koran dan majalah saja, melainkan juga sudah merambah ke radio dan televisi. Mengenai resensi buku, langkah pertama yang harus dicermati adalah memilih jenis buku yang hendak diresensi, apakah itu buku fiksi atau buku non fiksi.

Berbicara soal resensi buku, janganlah terlebih dulu berpikir hanya buku non fiksi saja yang bisa diresensi, sebab buku fiksi juga bisa diresensi. Bahkan dibeberapa negara, bila mencermati tabloid atau media massa yang ada di sana, seperti koran The Guardian di Inggris, juga memuat resensi buku nonfiksi. Contoh buku-buku nonfiksi bisa berupa buku dengan genre novel, roman, dan antologi cerita pendek.

Setelah memilih buku yang akan diresensi, maka langkah selanjutnya adalah mencermati keseluruhan dari buku tersebut. Peresensi diharapkan tak hanya memperhatikan judul dan pengarangnya saja, melainkan latar belakang dari pengarang penting untuk diperhatikan. Mengetahui latar belakang dari pengarang sebuah buku juga dapat menambah wawasan peresensi. Misalnya, pengarangnya adalah seorang novelis yang pernah mempunyai masa lalu yang traumatik, sehingga ia banyak menulis novel-novel yang berisi kisah trauma psikis.

Selain mengenai latar belakang penulis, yang perlu juga untuk dicermati adalah informasi tentang judul buku yang akan diresensi tersebut. Apa kira-kira alasan penulis mengangkat judul itu, arahnya juga akan ke mana. Peresensi juga penting melihat cetakan keberapakah buku yang hendak diresensinya. Pertamakah? Keduakah? Ataukah cetakan yang kesekian kalinya. Kalau untuk resensi buku, tak hanya buku baru saja yang bisa diresensi,  melainkan juga buku-buku yang sudah divetak ulang. Karena yang paling penting dari meresensi buku adalah menginformasikan isi buku tersebut kepada publik.

Setelah peresensi memperhatikan latar belakang dari penulis buku,alasan mengangkat judul buku, cetakan buku, maka selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah daftar isi dari buku tersebut. Untuk buku-buku fiksi, biasanya daftar isinya tidak sama dengan buku-buku nonfiksi. Ini yang harus dipahami.

Untuk buku fiksi, maka peresensi sebaiknya membaca tuntas isi dari sebuah buku dan sebaiknya tidak menggunakan teknik speed reading sebagaimana halnya saat membaca buku-buku nonfiksi. Sebab, buku-buku fiksi biasanya membutuhkan konsentrasi yang lebih intens  dikarenakan adanya pertautan antara bab satu dan lainnya.

Sementara buku nonfiksi itu biasanya terpilah-pilah. Bab yang satu memang menjadi kelanjutan dari bab yang sebelumnya, atau akan dilanjutkan pada bab berikutnya. Namun bila diperhatikan, buku dengan karakteristik nonfiksi itu lebih mudah dicerna karena peresensi dapat melihat tujuan atau arah dari penulis sudah terbaca dari sejak bab awal dimana buku tersebut ditulis.

Penting juga bagi peresensi untuk membaca sinopsis dari sebuah buku. Walaupun penggunaan frasa sinopsis ini biasanya bukan hanya untuk menuliskan tentang isi buku melainkan juga isi film. Untuk buku biasanya digunakan istilah resensi atau review.

Mereview sebuah buku, yang harus dibedakan adalah bagaimana menggunakan kata-kata atau kalimat dengan melakukan teknik parafrase. Kalau bisa, jangan menggunakan teknik copy paste. Menuliskan ulang kalimat yang ditulis dalam sebuah buku dalam tulisan resensi, pola demikian disebut juga dengan copy paste. Itu tidak elok dan tidak baik. Akan lebih baik bila menggunakan teknik parafrase. Parafrase itu paling gampang digunakan bila kita usai membaca buku-buku fiksi, sedangkan untuk buku-buku nonfiksi penggunaan parafrase memang agak lebih sulit.

Jadi pada intinya, semua buku jenis apapun bisa diresensi, termasuk juga buku anak-anak, cerita rakyat bahkan buku komik sekalipun. Kalau misalnya seorang peresensi mengamati betul perjalanan sebuah komik, maka itu pun bisa diresensi, bisa ditulis dalam bentuk yang mudah dipahami publik.

Satu catatan yang penting juga untuk diperhatikan oleh peresensi pemula adalah mengetahui perbedaan antara menulis resensi dengan opini. Kalau mehulis artikel opini, objeknya bukanlah buku, melainkan sebuah peristiwa, kejadian, atau pemikiran tertentu yang ingin disampaikan pada khalayak melalui media massa.

Sedangkan resensi buku, yang dijadikan objeknya adalah buku. Itulah yang membedakan antara resensi buku dengan artikel opini. Dan biasanya untuk resensi buku di media-media cetak, kolomnya hanya digeber seminggu sekali, terutama pada hari sabtu atau minggu. Berbeda dengan artikel opini yang selalu muncul setiap harinya di halaman media massa.

Kalau dicermati kalimat-kalimat dan paragraf-paragraf dalam tulisan yang jenisnya resensi buku, paragrafnya tidak jauh berbeda dengan gaya penulisan features yang menggunakan pola piramida terbalik atau gaya penulisannya tidak terlalu memperhatikan kaidah-kaidah kepenulisan, melainkan mengarah pada gaya jurnalisme sastrawi.

Jadi, ketika hendak menulis resensi buku, bebaskan pikiran dan ingatlah akan isi dari buku yang telah dibaca. Terkait isi dari bab satu dan bab lainnya, seorang pembaca haruslah tahu kemana arahnya akan menuju. Dan saat menyajikannya dalam bentuk tulisan, upayakan menyajikannya seenak mungkin untuk dibaca. Jangan menggunakan istilah-istilah atau kata-kata yang sulit diterima oleh publik secara luas, semisal istilah-istilah yang ada pada buku nonfiksi.

Buku yang paling banyak diminati oleh media massa adalah buku-buku yang tidak terlalu berat. Misal buku biografi orang terkenal, buku sejarah suatu peristiwa, novel-novel yang laris atau buku-buku ilmiah populer atau buku-buku yang tidak terlalu berat bagi publik tapi mudah ditemukan di pasar. Kalau kita bicara soal buku yang mudah ditemukan di pasar, redaktur resensi buku biasanya berpikiran bahwa hanya buku yang ada di toko buku-lah yang layak untuk diresensi. Biasanya redaktur resensi buku masih mempunyai anggapan lama soal itu.

Padahal tidak begitu. Kalau kita melihat sekarang ini, orang bisa dengan mudah mendapatkan buku via online, tak terkecuali buku-buku baru dari luar negeri. Dan, toko buku di Indonesia yang banyak mendisplay buku-buku luar negeri biasanya toko buku Periplus, toko buku Kinokunia di Plaza Senayan Jakarta.

Kita juga harus tahu bahwa resensi buku biasanya ditempatkan dalam satu halaman dengan kolom budaya atau kolom kesenian. Terkadang redaktur resensi buku harus pasrah bila ada iklan yang masuk karena halaman untuk resensi buku tentunya akan dipangkas. Bila demikian adanya, maka peresensi harus bersabar dulu untuk menunggu pemuatan dari resensi yang ditulisnya.

Berbeda dengan majalah. Misalnya majalah tempo yang hanya menerima resensi buku yang isinya berbobot. Berbobot dalam artian buku tersebut berisi banyak hal baru yang harus diketahui oleh publik. Bukan bukunya yang baru melainkan isunya yang baru dan harus diketahui, disebarkan serta dipublikasikan untuk publik.

Perlu juga diketahui, resensi buku itu bukanlah abstrak terhadap buku. Abstrak buku berbeda dengan resensi buku. Abstrak buku biasanya hanya satu atau dua paragraf, tapi kalau resensi buku ada sekitar 5, 6-7 paragraf atau bahkan lebih.

Resensi buku juga bukan hanya mempromosikan isi buku atau apa yang ditulis oleh penulis itu dalam buku tersebut. Sebisa mungkin peresensi juga melakukan kritik terhadap buku yang hendak diresensi, karena resensi buku kalau dicermati maknanya adalah menimbang. Menimbang buku.

Menimbang baik-buruknya sebuah buku di sisi mana dan pada paragraf berapa. Ketika kita menulis resensi buku, lalu kita melihat tidak ada indeks di dalamnya,misalnya, maka tidak apa-apa kalau buku tersebut dikritik dalam satu paragraf dari resensi yang kita tulis bahwa buku tersebut tidak memiliki indeks padahal isinya sangatlah penting. Ketiadaan indeks buki ini tentunya akan menyulitkan pembaca menelusuri orang-orang tertentu atau kejadian-kejadian tertentu yang dimuat di dalam buku itu.

Kegunaan dari Indeks itu untuk memudahkan pembaca melacak di halaman berapa sebuha nama dan peristiwa itu terjadi.. Kalau tidak ada indeks, maka persensi bisa menyebutkan kekurangan dari buku itu. Peresensi juga bisa melakukan kritik dengan mengatakan, misalnya, sudut pandang penulis yang terlalu lemah atau argumentasinya yang terlalu bertele-tele. Kritik terhadap buku itu tidak apa-apa, bahkan bisa menjadi nilai tambah bagi peresensi di mata redaktur resensi buku.

Patut juga untuk diperhatikan dalam meresensi sebuah buku adalah akan dikirimkan ke manakah resensi buku tersebut. Media nasionalkah atau media lokal. Karena watak atau cara pandang redaktur resensi buku pada media lokal tentu berbeda dengan redaktur buku pada media nasional. Biasanya redaktur resensi buku akan mempertimbangkan tingkat literasi dari publik pembaca. Misal seperti di Jawa Timur, publik pembacanya lebih suka pada buku tentang kisah Syekh Siti Jenar atau kisah baru tentang Majapahit, atau kisah baru tentang peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di Jatim.

Atau prihal kisah-kisah rakyat dalam tafsir baru di kawasan Jawa Barat yang diterbitkan oleh pikiran Rakyat. Tentunya redaktur resensi buku dari pikiran rakyat akan mempertimbangkan buku yang diresensi itu apakah cukup bisa dipahami dan diterima oleh publik atau tidak. Karena kalau kita meresensi buku yang terlalu asing, mungkin bagi kita menarik tapi bagi redaktur resensi buku akan berbeda. Biasanya redaktur resensi buku akan menilai apakah resensi tersebut bisa diterima masyarakat atau tidak.

Kalau seorang peresensi meresensi Ayat-Ayat Setan karya Salman Rushdie pada koran lokal, di mana publik pembacanya adalah mereka yang mungkin tingkat pemahamannya terhadap buku tersebut berbeda dengan peresensi tersebut,  maka tentunya akan menimbulkan reaksi dari publik pembaca. Bahkan bisa juga masyarakat akan mendatangi kantor media masaa lokal tersebut.

Sedangkan pada tingkat nasional, para redaktur resensi buku di majalah Tempo, Kompas, Republika, Sindo, Indopos mereka tentunya punya pertimbangan lain. Pertimbangan mereka adalah resensi itu layak untuk publik karena wilayah edar dari media tersebut kebanyakan adalah pada pangsa tertentu yang disasar. Misal Kompas, yang pangsa pasarnya adalah kelas menengah, maka resensi buku yang disajikan adalah resensi yang infomatif bagi kelas menengah, bukannya resensi buku seperti buku primbon. Bila yang diresensi adalah buku primbon, kemudian dikirimkan ke Kompas, tentu tidak akan diterima karena tidak sesuai dengan pangsa pasar yang mereka bidik.

Lalu apakah diperbolehkan membandingkan buku satu dengan buku lainnya terkait kelebihan dan kekurangan dari sebuah buku?

Tidaklah masalah bila peresensi buku memperbandingkan buku satu dengan buku lainnya, jenis resensi ini dinamakan dengan resensi tematik. Resensi jenis ini sangatlah jarang atau bahkan tak pernah ditemukan pada media-media massa di tanah air. Berbeda dengan di Amerika yang memiliki tabloid bergengsi bernama  New York Review of Books, atau di  Inggris dengan London Review of Books. Keduanya, saat ini bahkan beberapa tahun sebelumnya sudah menuliskan resensi tematik yang membandingkan satu buku dengan buku lainnya.. Keduanya juga menjelaskan informasi soal buku tersebut dari segala sisi, semisal jumlah halaman dan tahun penerbitan.

Resensi tematik tak hanya memaparkan atau menimbang satu buku,melainkan juga bisa dua hingga tiga buku dengan penulis yang berbeda tapi dengan tema yang sama. Kalau di Indonesia, media-media cetak yang ada, seperti Sindo, Kompas, Tempo dan Jawa Pos, mereka lebih menyukai resensi yang satu buku. Bukan resensi tematik.

Kalau untuk mengkritisi isi buku, tidaklah ada masalah tapi kalau untuk membandingkan buku fiksi dengan nonfiksi barangkali untuk saat ini juga tidaklah ada masalah. Tapi kalau untuk tulisan di jurnal imilah, apalagi jurnal ilmiah internasional maka akan lebih baik kalau meresensi hanya satu buku, baik fiksi atau non fiksi. Membandingkan buku fiksi dan nonfiksi dalam satu tema yang sama juga pernah dipaparkan atau diulas oleh New York Review of Book.

Seringkali pada saat meresensi buku, peresensor terjebak ke dalam pengutipan-pengutipan langsung isi buku. Hal ini sebenarnya tantangan bagi peresensi untuk melakukan teknik parafrase. Parafrase adalah menulis apa yang ditulis oleh penulis buku tapi dengan bahasa atau kalimat yang berbdea.

Misal, bila penulis menggunakan kata ‘dan’, lebih baik peresensor menggunakan kata ‘serta’. Ada juga trik lainnya yang bisa digunakan, semisal saat kita tuntas membaca sebuah buku, maka coba membicarakan lebih dulu dengan orang-orang di sekitar kita, atau merenungkan dan mengingat kembali apa isi buku tersebut. Itulah salah satu cara untuk tidak terjebak pada pengutipan langsung isi buku. Kalau mengutip langsung isi buku itu dapat juga dinilai sebagai tindakan plagiasi.Soal plagiat dari persensi buku juga sangat mengkhawatirkan.

Meresensi buku juga  bagian dari latihan untuk menghindari plagiarism. Kalau ingin melatih diri agar terhindar dari modus plagiarism, maka lakukanlah resensi buku sebanyak mungkin. Caranya, baca sebuah buku, lalu bila sudah selesai merenunglah sejenak terkait apa yang didapat dari hasil pembacaan terhadap sebuah buku. Setelah itu bergegaslah untuk segera menulis.

Kalau misalnya kita hendak mengkritik teori yang dipaparkan oleh penulis dalam sebuah buku, maka akan sangat baik bila diungkapkan teori-teori lain sebagai pembandingnya. Dari situ, seorang peresensi akan ditantang kemampuannya untuk membandingkan antara teori yang ditulis oleh penulis dari sebuah buku dengan buku-buku lain yang ditulis dengan tema yang sama namun dengan sudut pandang atau teori yang berbeda.

Resensi buku harus juga menceritakan keseluruhan isi dari sebuah buku dalam bahasa peresensi, yang padat, singkat, lugas, dan enak dibaca. Jadi, tidak mungkin seorang peresensi hanya meresensi satu atau dua bab dari sebuah buku, sebab hal yang demikian bukanlah resensi namanya.

Resensi buku itu berbicara tentang keseluruhan isi dari sebuah buku. Bila pembaca usai membaca buku, maka tentunya ia akan mendapat kesan dan timbangan dalam benaknya terhadap buku yang dibaca olehnya. Misalnya ada rasa yang kurang sreg terhadap buku itu, atau rasa kurang pas pada penulis bukunya, maka penilaiannya pada buku itu haruslah diungkapkan pada tulisan resensi yang kendak dibuatnya. Jadi, tidak bisa  tidak, resensi buku itu memaparkan keseluruhan isi buku, tidak bisa hanya memaparkan sebagian bab saja dari suatu buku (*).
Share this article :

1 komentar:

 
Support : Mas Template
Copyright © 2011. SHOFA AS-SYADZILI - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website | Edited by Arick Evano
Proudly powered by Blogger