Pak Dhe dan Tragedi Sahur di Sekretariat PB HMI

Senin, 05 Juni 2017

Lelaki tua itu tampak lelah dan letih seusai membersihkan puing-puing dan pecahan kaca di Sekretariat PB HMI. Meski begitu, kelelahan itu tak membuatnya mengendorkan semangat untuk terus tersenyum pada siapa pun yang berdatangan untuk melihat kerusakan pada gedung berlantai lima itu. Setiap pagi hari, aku memang selalu melihatnya menyapu dan mengepel lantai sekretariat PB HMI dari lantai satu ke lantai lainnya.

Kala melihatnya melakukan aktivitas itu, setiap harinya, aku selalu berpikiran bagaimana rasa capek dan lelah kerap menyelimuti dirinya. Namun, tak sedikit pun pernah kudengar ia berkeluh kesah akan tugas yang diembannya itu. Satu mungkin yang ada dalam benak dan pikirannya, ia tak menginginkan sekretariat tempat beraktifitasnya aktivis HMI tampak kumuh dan kotor. Kulihat ia sangat ikhlas menjalani ‘kewajiban’nya itu.

Seperti pagi tadi misalnya. Dengan ketelatenannya, ia berusaha memungut satu persatu beling yang berserakan dalam ruangan utama lantai 1 PB HMI. Pecahan kaca, batu sebesar kepala, kursi yang tergeletak dan masih melekat sisa-sisa hasil pembakaran dimasukkanya dalam kantung plastik berwarna hitam dengan kedua tangannya yang tangkas. Puing-puing sisa pengrusakan itu kemudian disingkirkannya ke tepian jalan. Mungkin ia berpikiran, jangan sampai pecahan-pecahan kaca itu mengenai kaki-kaki ‘mulus’ kader HMI yang berkunjung ke gedung ini.

Aku biasa memanggilnya ‘pak Dhe’. Aku memanggilnya dengan sebutan itu karena tak tahu akan nama dan identitas dirinya. Maklum, aku baru setahun ada di kota Jakarta ini. Tepatnya, baru setahun mendiami dan menjalankan aktivitas di Sekretariat PB HMI. Meski sering bercakap-cakap dengannya, aku malu untuk menanyakan nama asli laki-laki yang sudah sepuh ini. Selain itu, aku juga berpikiran, menanyakan nama aslinya adalah prilaku yang kurang sopan dan tak layak untuk diajukan padanya. Cukuplah aku memanggilnya ‘Pak Dhe’ saja. Sama dengan kebiasaan kawan-kawan pengurus PB HMI memanggil dirinya. Lagi pula, panggilan ‘Pak Dhe’ tentunya lebih menunjukkan kedekatan yang erat bukan?

Pak Dhe biasa mengerjakan aktivitas membersihkan Sekretariat PB HMI setiap paginya. Biasanya, pekerjaan itu ia lakukan sekitar jam 7 pagi hingga selesai. Meski tak ada kegiatan di PB HMI, semisal rapat harian, diskusi atau apapun, aktivitas itu tetap saja ia lakukan. Aktivitas itu sepertinya sebuah ritual yang wajib dilakukannya. Mungkin karena itu ia akan merasa pegal-pegal bila tak melakukan ibadah ritual itu. Satu yang dapat kupetik dari dirinya, keihlasan menjalankan apa yang menjadi kewajibannya sebagai buruh di Sekretariat mewah ini.

Saat menjalankan aktivitasnya, tak sekali pun ia berkeluh kesah melihat ‘kekacauan’ alias berserakannya abu dan puntung rokok serta sampah lainnya di lantai Sekretariat. Dengan tekun ia menyapu untuk kemudian mengepelnya hingga wangi merebak ke penjuru ruangan. Aroma harum semerbak itu tak bertahan lama. Hanya sampai siang hari untuk kemudian lantai yang dibersihkannya itu kembali kotor. Kembali dipenuhi dengan abu dan puntung rokok serta sampah-sampah lainnya. Esok harinya, ia kembali melakukan itu.

Mungkin kita semua, terutama kader-kader HMI yang pernah singgah dan tinggal di Sekretariat akan berpikiran bahwa Pak Dhe digaji, dibayar oleh PB HMI. Ok-lah kalau kita berpikiran seperti itu. Namun yang musti diingat, Pak Dhe juga manusia yang harus dan layak untuk mendapat penghormatan dari kita atas pekerjaan yang telah dilakukannya. Meski ia buruh, tak boleh sekali pun kita meremehkan akan tugas dan tanggungjawab yang dipikulnya.

Melihat pak Dhe, aku jadi teringat dengan ujaran filsuf asal India, yang bukunya baru tuntas kubaca beberapa hari lalu. Filsuf tersebut kerap disebut oleh Soekarno dalam pidato-pidatonya. Ya, filsuf tersebut bernama Swami Vivekananda. Dalam bukunya yang berjudul ‘Suara Vivekananda’ ia berujar ; “seseorang harus tidak dipandang atas macam pekerjaannya, tapi harus dilihat dari sudut pandang cara dia melakukan pekerjaan itu”.

Sebagai insan akademis, tentunya kita sudah diajarkan dalam training-training formal di HMI untuk menghargai dan menghormati manusia bukan atas pekerjaannya. Melainkan dari bagaimana ia melakukan pekerjaan itu. Meski pak Dhe, Bibi, Agung dan Pak Iwan adalah buruh di sekretariat PB HMI, namun bila mereka mampu membuat sekretariat PB HMI jadi tampak bersih, nyaman untuk ditinggali saat melakukan aktivitas di Sekretariat, mereka adalah orang yang lebih baik dan selaras dengan tugas kewajiban hidup dan pekerjaannya, daripada seorang aktivis HMI yang berbicara membual setiap hari dalam keaktivisannya.
 
Pengrusakan sekretariat PB HMI dalam tragedi sahur semalam, sebenarnya menjadi cermin bagaimana gambaran kewajiban  amanah yang sedang kita emban. Melihat tragedi menjelang sahur itu, sepertinya kita semua harus berpikir ulang tentang jati diri kita sebagai kader HMI. Betulkah kita semua sudah menjadi kader HMI yang kaffah? Yang mampu menyelesaikan setiap persoalan dalam tubuh Himpunan tanpa menggunakan aksi-aksi anarkis? Tanpa pula menggunakan aksi-aksi vandalism? Yang nantinya bila itu semua tetap kita gunakan tentunya akan merugikan orang lain.

Aku pribadi tidak sepakat dan mengutuk keras aksi-aksi anarkis dan vandalism yang dilakukan adek-adek HMI karena ketidakpuasan mereka akan keputusan yang telah ditetapkan PB HMI. Namun, aku lebih mengutuk lebih keras lagi pada kita semua yang memutuskan sebuah perkara dengan serampangan hingga tidak melihat pada efek yang akan ditimbulkan nantinya. Aku berharap, semoga tragedi sahur ini menjadi kejadian yang terakhir dan tak akan terulang lagi nantinya.

Bukan aku tak mau berdinamika. Bukan. Aku bahkan sangat suka menikmati dinamika dalam tubuh Himpunan ini. Yang tak kuinginkan hanyalah dinamika yang tak sehat, yang tak memberikan sebuah nilai pada sejarah keber-HMI-an kita semua. Sudah berulang kali, sekretariat PB HMI didemo oleh adek-adek Cabang hanya karena keputusan yang kita ambil dianggap mencederai marwah organisasi. Jika saja mereka hanya melakukan aksi-aksi demonstrasi di Sekretariat PB HMI, bagiku itu adalah bunga-bunga demokrasi. Itu adalah hal yang wajar. Ceritanya akan menjadi lain, bila aksi demonstrasi itu dibarengi dengan aksi-aksi pengrusakan rumah kita bersama. Ini artinya ada yang salah pada proses perkaderan kita semua. Atau bahkan ada yang keliru saat kita menjalankan roda organisasi ini.

Masak kita semua yang mendaku diri sebagai insan akademis, insan intelektual, kalah dengan Pak Dhe, Bibi, Agung dan Pak Iwan yang menjaga Sekretariat PB HMI ibarat rumah mereka sendiri. Bila sudah demikian kenyataannya, yah apa kata dunia???!!!

Jakarta, Senin 5 Juni 2017

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Mas Template
Copyright © 2011. SHOFA AS-SYADZILI - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website | Edited by Arick Evano
Proudly powered by Blogger