Aku, Buku dan Kenangan I

Rabu, 07 Juni 2017

Aku masih menyigi ulang buku Bung Karno ini. Revolusi Belum Selesai. Buku yang berisi pidato Bung Karno sebanyak 62 buah pidato ini betul-betul menyesap dalam batinku saat aku membacanya. Entah sudah berapa hari aku membacanya namun belum juga tuntas terbaca. Sebenarnya, buku ini pernah aku baca dan aku resensi. Kebetulan waktu itu, resensi tersebut dimuat di koran lokal Radar Surabaya. Namun, menjelang akhir Mei 2017 ini, entah kenapa hasratku mengeluarkan buku ini dari dalam lemari buku begitu besar. Aku kemudian membacanya ulang.

Memasuki bulan Juni, aku masih membacanya. Hingga saat aku menuliskan catatan harian ini. Aku tak merasa, kalau kemarin adalah hari peringatan kelahiran Bung Karno. Aku jadi tahu, setelah pesan dalam sebuah grup WhatsApp menyatakan prihal kelahiran sosok Sang Putra Fajar ini. Sebenarnya, aku hendak membuat tulisan prihal Sukarno tadi malam. Namun hal itu urung kulakukan karena keasyikan membaca buku “Revolusi Belum Selesai” ini.

Aku membacanya secara ulang. Memindahkan setiap quote menarik yang ada dalam pidato-pidato Bung Karno tersebut dalam sebuah  kumpulan tulisan khusus atas tiap buku yang kubaca. Sampai saat aku menulis catatan harian ini, ada sekitar 129 quote yang menurutku menarik untuk kusimpan dalam folder  “Kutipan Buku’ yang kumiliki. Aku jadi ingat kembail apa-apa yang pernah kubaca sebelum-sebelumnya.

Yang kusuka dari Bung Karno adalah kedalaman dan keluasan pengetahuan yang dimilikinya. Ia dalam pidato-pidatonya di hadapan para mahasiswa dan para wartawan menyampaikan sesuatu yang tak lepas dari dua hal ; buku dan membaca. Dua kata itu yang selalu disebutkan olehnya di hadapan kalangan mahasiswa dan wartawan.

Bila Bung Karno sudah berpidato, ada banyak tokoh dan pemimpin besar dunia yang selalu menjadi rujukannya dalam pidato-pidatonya. Mazzini, Garibaldi, Robespiere, Mahatma Gandhi, Thomas Carlye, Gibbon, Karl Marx, Bismarck dan banyak lagi lainnya. Penyebutan tokoh-tokoh besar dunia ini menunjukkan kalau sosok satu ini memang pelahap buku yang rakus. Oleh karenanya, aku sangat mengagumi kerakusannya terhadap buku.

Kalau ingin mengetahui bagaimana kerakusannya terhadap buku-buku itu tampak dalam hidup Bung Karno, bacalah apa yang dia utarakan saat berpidato di hadapan para wartawan saat malam ramah tamah di Istana Bogor, 20 November 1965. Bung Karno saat itu berkata prihal kegemarannya mengumpulkan buku di kamar pribadinya untuk kemudian dibaca olehnya.

“Saya ini belum mengizinkan wartawan ngelongok dalam saya punya kamar tidur. Yang sudah ngelongok itu cuma pak Leimena, Pak Chaerul, Pak Jusuf Muda Dalam, Pak Subandrio. Tapi coba tanya kepada mereka itu bagaimana rupanya kamar tidur Presiden. Penuh dengan buku dan majalah. Sampai saya kadang-kadang, bagaimana saya mesti meringkuk di dalam! Bukan buku dan majalah itu di lemari, saudara-saudara, di tempat tidur saya. Saya tidur di antara buku dan majalah-majalah. Karena saya menganggap penting selalu membaca, selalu membaca, selalu membaca, meskipun saya telah katakan, mempunyai mengetahui ilmu pengetahuan sedikit-sedikit, meskipun saya telah diberi gelar DHC 27 kali oleh universitas-universitas. Membaca dan belajar itu tidak ada batas usia. Meskipun kita telah jambul wanen, sudah tua, belajar dan membaca selalu bermanfaat”.

Membaca paragraf di atas, aku jadi membayangkan bagaimana rupa dan bentuk kamar tidur Bung Karno yang dipenuhi oleh buku-buku dan majalah. Tentunya buku-buku dan majalah itu tak hanya terbitan dari dalam negeri saja, melainkan juga buku-buku terbitan dari luar negeri tentunya. 

Bagaimana tidak, saat aku membaca buku ini saja, ada banyak kutipan dari Bung Karno yang diambilnya dari ujaran-ujaran pemimpin besar revolusi dunia. Bila yang dijadikan contoh olehnya adalah Bangsa Italia, maka ia menyodorkan tokoh revolusi berkebangsaan Italia lengkap dengan ujarannya yang berbahasa italia.  Bila yang disebutnya adalah tokoh berkebangsaan Jermania, maka Bung Karno tak lupa pula mengutip perkataan tokoh tersebut dalam bahasa Jerman. Begitupun bila ia menyebut tokoh berkebangsaan Belanda dan Inggris, maka Bung Karno pun menggunakan bahasa Belanda dan Inggris sebagai kutipannya. Sungguh kemampun berbahasanya  sangat sangat luar biasa.

Kembali ke soal kecintaan Bung Karno pada aktivitas membaca dan buku-buku tadi. Aku berpikiran, meletakkan buku-buku di atas ranjang tidur kamar pribadi mungkin akan lebih memudahkan Bung Karno untuk membaca kala malam telah menyelimuti bumi. Kala ia sedang santai dari tugas kenegaraan, ia akan ke peraduannya untuk membaca buku. Sambil tidur-tiduran ia bisa melihat judul buku mana yang hendak ia baca kali ini. Mungkin saja begitu.

Aku pun kala masih ngekos di Surabaya, kamar kosku penuh dengan buku. Dan sebagian dari buku-buku itu berada di atas kasur butut kamarku. Saat baru pulang dari kampus, aku langsung bergegas pulang ke kos menikmati buku-buku bacaan itu sambil tiduran dan mendengarkan instrumental musik ciptaan Mozart, Beethoven atau pun Richard Clayderman. Aku sangat menikmati suasana kala itu. Tiduran sambil membaca buku diiringi instrumental musik para komponis besar dunia.

Begitu pun saat usai mengikuti kegiatan komisariat, korkom atau pun cabang, biasanya aku langsung bergegas pulang dan berharap segera sampai di kamar kosku untuk menikmati hidangan dan sajian dari buku-buku itu kemudian terbang ke alam entah. Meski aku berada dalam ruang kamar kos yang tak seberapa luasnya, tapi pikiranku bisa melayang ke mana-mana. Aku bisa ke negara-negara dan daerah-daerah yang belum pernah aku kunjungi. Bahkan aku bisa memutar waktu menuju ke masa lampau bertemu dan bercengkrama dengan manusia-manusia besar yang sudah berkalang tanah.

Membaca buku-buku mereka sangatlah menginspirasi buatku. Ide dan gagasan mereka yang kudapat dari buku-buku kemudian aku bagikan pada kawan-kawanku lainnya. Pada titik inilah aku mengamini apa yang dikatakan oleh salah satu pemikir dunia yang berkata ‘ideas have legs’. Ide itu memiliki kaki, ia bisa menjalar ke mana-mana, masuk dan berjalan di antara kepala manusia satu dan lainnya, ide juga mampu menghikmati dada tiap-tiap manusia dan membakar semangat mereka. 

Yah.. Di hari ini, meski aku telat, aku akan tetap mengucapkan “Selamat Hari Lahir, Bung!”.

Saya pribadi akan selalu menjadikanmu sebagai tangga, sebagai undakan, untuk membawa Indonesia menjadi lebih baik, lebih tinggi dari masa saat engkau berorasi dengan semangat yang menyala-nyala. Suara kami mungkin tak mampu meniru gaya dan caramu berorasi yang mampu menggoyangkan langit, menggempakan bumi dan menggelorakan samudera. Namun, semangat kami, adalah semangat kaum muda pergerakan yang akan terus bergerak mengikuti arah jalannya revolusi sebagaimana yang dicita-citakan oleh Revolusi 1945. Generasi kamilah yang akan mengusung dan memanggul Amanat Penderitaan Rakyat yang hingga kini masih belum terwujudkan dalam realitas berbangsa dan bernegara.

Maka dari itu, izinkanlah kami, menjadikan badan dan pemikiranmu, serta badan dan pemikiran bapak bangsa lainnya sebagai tangga kami untuk membawa Indonesia menuju tempat yang lebih tinggi dan terhormat di hadapan bangsa-bangsa lainnya. Bukankah hal itu yang bung katakan saat di hadapan Komando Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia, pada tahun 1965 silam. Saat itu, kuingat Bung berkata dengan mengutip perkataan Clemencau dan Gambetta yang berkata “Faites-vous nos corps un marchepied, soyez plus grand que nous”. Pakailah kami sebagai anak tangga, jadilah kalian lebih besar dari kami.

Maaf bung... Kami, generasi muda bangsa ini, harus menginjakkan kami  pada bahu dan badan kalian semua yang telah mendahului kami. Maafkan kami bila kami kurang sopan. Salam!


Jakarta, Rabu 7 Juni 2017
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Mas Template
Copyright © 2011. SHOFA AS-SYADZILI - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website | Edited by Arick Evano
Proudly powered by Blogger