Membaca dan Menulis Upaya Menjaga Kewarasan

Jumat, 02 Juni 2017

Lima hari sudah puasa ramadhan telah berjalan di tahun ini. Inilah tahun kedua, aku menjalankan ibadah puasa di ibukota Indonesia, Jakarta. Sebelumnya, ada sekitar 12 tahun aku menjalankan ibadah puasa di kota pahlawan, Surabaya. Aku betul-betul menikmati puasa ramadhan kala itu. Meski pun tak jarang ibadah shalat taraweh kerap aku tinggalkan.

Adakalanya berpuasa jauh dari kampung halaman itu menjengkelkan karena selalu teringat nuansa ramadhan di kediaman.Bagaimana tidak, sejak di Surabaya, aku tak merasakan betul suasana dan romantika bulan ramadhan layaknya di rumah. Kalau di rumah, aroma dan nuansa Ramadhan betul-betul terasa.

Bila di rumah, menjelang maghrib, suara qori’ dari toa masjid terdengar nyaring hingga terdengar sampai rumahku. Irama dan nada qori’ itu begitu menghanyutkan jiwaku. Aku larut dalam tarikan nafas yang dilantunkan oleh sang qori’ itu. Meski pun ia menyenandungkannya melalui pita kaset yang kerap diputar oleh pengurus ta’mir sejak aku masih kecil.

Sedangkan saat di perantauan, apalagi saat berada di dua kota besar, Surabaya dan Jakarta, waktuku banyak dihabiskan di jalanan. Menyusuri jalanan dua kota itu tanpa terasa menghabiskan waktu tanpa sadar. Apalagi bila kemacetan datang menghadang. Tentunya akan berjam-jam lamanya berada di tengah-tengah kemacetan.

Tak hanya itu, adzan maghrib pun kadang tak terdengar karena kesibukan dan keinginan untuk bersegera sampai di tujuan. Itulah yang membedakan kehidupan di kota-kota besar dengan di rumah. Bila di rumah, meski tak ada kerjaan, seharian hanya makan, tidur, ngopi, ngobrol bersama teman dan tetangga di warung kopi, pikiran tetap tenang. Kalau sudah seminggu lebih dan duit sudah mulai menipis, baru pikiran akan melayang entah ke mana untuk mencari jalan bagaimana agar bisa tetap menjalani aktivitas ngopi dan merokok seperti hari biasanya.

Meski pun pikiran tak tenang, keinginan untuk segera keluar dari kampung halaman terkadang tak muncul ke permukaan. Yah begitulah bila sedang berada di rumah. Meski duit tak ada, tak bisa ngopi, tak bisa merokok seperti biasanya, keinginan untuk segera kembali ke kota, tak jua muncul. Aku merasa betah ada di rumah, dan sepertinya sangat berat untuk kembali ke kota.

Berlaku sebaliknya bila sudah berada di kota. Sehari dua hari seminggu dua minggu mungkin pikiran masih berada di rumah. Tapi bila sudah lebih sebulan, maka keinginan untuk pulang ke kampung halaman jadi enggan alias malas . Keengganan ini mungkin dikarenakan persiapan untuk pulang yang sangat menyita waktu. Pesan tiket, mencuci pakaian yang kotor, membersihkan kamar sebelum ditinggalkan lama, hingga merapikan buku-buku yang berserakan di mana.

Biasanya menjelang pulang, aku juga menyeleksi buku-buku mana yang hendak aku bawa dan aku baca selama di perjalanan. Lumayan,pikirku, bila dalam perjalanan pulang dari Jakarta-Singaraja, mampu menuntaskan buku bacaan selama di atas angkutan transportasi. Aku memang membiasakan diri untuk membawa buku saat dalam perjalanan.

Biasanya ada sekitar lima lebih buku yang aku sisipkan dalam tas ranselku. Ada novel, buku pemikiran, biografi dan lainnya. Aku sangat menikmati membaca buku saat sedang dalam perjalanan di atas kereta api. Terkadang aku tak mempedulikan sekelilingku saking asyiknya aku dihanyutkan oleh jalan cerita yang ada pada sebuah buku.

Buku memang selalu menjadi penemanku. Di manapun dan kapanpun. Tanpanya aku seperti kebingungan tak tahu arah dan tak tahu apa yang harus kulakukan. Dengan buku aku jadi tenang, jiwaku merasa nyaman. Buku selalu menjadi teman yang paling setia buatku. Ia menemaniku melebihi kekasihku. Buku juga tak banyak cakap, tak bawel dan cerewet. Meski ia ada di dekatku, saat aku melakukan aktivitas menulis, ia tak berusaha untuk menggangguku. Ia diam saja terpaku menyaksikan keseriusanku kala menjahit kata demi kata.

Buku juga tak berusaha untuk menjawilku, mencubit lenganku dengan mesra. Meski ku rasa ia bisa melakukan itu. Sungguh aku jadi sangat mencintainya. Sangat sangat mencintainya. Ia selalu menemaniku di kala senang, susah, bahagia, sedih, bahkan kala kebimbangan menerpa hati dan jiwaku. Buku juga selalu mengembalikan daya konsentrasiku kala pikiranku tak karuan.

Harus kuakui, selama di Jakarta ini, intensitasku dalam membaca mengalami penurunan dibanding saat berada di Surabaya. Bila di Surabaya, dalam waktu seminggu, ada sekitar dua hingga tiga buku yang tumpas terbaca. Sangat berbeda saat aku ada di Jakarta ini. Di kota metropolitan ini, dalam seminggu saja aku harus terengah-engah untuk membaca satu buku. Itu pun belum tentu tuntas terbaca. Bisa-bisa dalam dua minggu satu buku usai kusigi. Bahkan pernah dalam suatu waktu, selama di Jakarta, sekitar dua bulan lamanya aku tak membaca buku. Meski pun ia selalu berada dalam tasku. Dan tentu kalian tahu, bagaimana kalut dan kacaunya pikiranku kala itu.

Jiwaku resah. Pikiran kacau. Meski aku tak menampakkannya di hadapan teman-temanku. Aku selalu menampakkan wajah yang ceria, senyum yang menawan hingga candaan yang biasa sebagai upaya melepas kepenatan pikiranku. Namun, lagi-lagi itu tak mampu menghilangkan resahnya jiwa dan pikiranku yang kacau. Keduanya terpendam sangat dalam pada diriku.

Aku berupaya mengontrolnya sebisa mungkin untuk tidak meledak menjadi sebentuk amarah yang menjadi-jadi. Senyatanya aku sudah tak kuat menahan beban ini. Aku tak bisa dijauhkan dari kebiasaan yang sudah melekat dan kubangun sejak aku masih kecil ; membaca dan menulis. Dua aktivitas ini yang membangun karakterku dan melebur dalam diriku. Dua aktivitas ini pula yang menjadikan aku mampu selalu tersenyum dan berpikiran tenang meski keadaan batinku sedang kacau.

Aku akan sangat marah bila saat melakukan dua aktivitas itu aku diganggu dan dirusak konsentrasiku oleh siapapun. Hatta oleh kekasihku sekali pun. Aku tak ingin saat sedang berasyik masyuk dengan dua aktivitas itu, aku diganggu! Aku menginginkan bagaimana caranya mencari waktu dan tempat agar aku bisa melakukan dua aktivitas itu selama beberapa jam saja dalam satu hari di kota Jakarta ini.

Satu hal yang menjadi alasan mengapa dua aktivitas itu ingin selalu dan selalu aku lakukan. Aku hanya ingin menjaga kewarasanku saja! Tak lebih.

Membaca dan menulis mampu menjaga kewarasanku di tengah pragmatisnya hidup di kota Jakarta ini. Aku tak mau hanyut dalam permainan dan derasnya arus kota Jakarta yang membuat manusia menjadi hamba dan budak. Budak kekuasaan, budak politik, budak uang, dan budak segalanya. Bila sudah menjadi budak dari apapun dan siapapun, itu sama saja menjadi bidak atau pion dari permainan orang lain. Dan aku tak mau menjalani hidup yang seperti itu.

Aku menginginkan diriku seutuhnya. Aku yang menjadi diriku sendiri. Yang bebas dan merdeka menentukan jalan pikiran dan hidupku. Aku tak ingin terpenjara oleh apapun. Oleh kepentingan siapapun. Aku tak ingin kemerdekaanku tersandera  karenanya. Karena aku adalah manusia!

Jakarta, 1 Juni 2017

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Mas Template
Copyright © 2011. SHOFA AS-SYADZILI - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website | Edited by Arick Evano
Proudly powered by Blogger