Menggali Sumur Bersama William Saroyan dan Orhan Pamuk

Rabu, 26 Oktober 2016

26 Oktober 2016

Aku mengucapkan terima kasih pada  Toko Buku Gramedia yang telah mempertemukanku dengan buku ini, sebuah buku yang berisi kumpulan tulisan para penulis  besar dunia. Siapa coba yang tak tergugah hatinya bila melihat buku yang ditulis oleh Jorge Luis Borges, Naguib Mahfoudz, Orhan Pamuk, Gabriel Garcia Marquez, Seamus Heaney dan William Saroyan?. Dan berjumpa dengan mereka lewat satu buku? Murah lagi! Anda tak perlu membeli tiket pesawat hanya untuk bertemu dengan mereka yang berasal dari bermacam-macam negara itu. Cukup anda membeli buku ini. Lalu ikmati percakapan dengan mereka lewat buku ini.

Bagi pecinta buku dan penulis pemula sepertiku, mendengar nama-nama besar itu membuat kaki gemetaran, bulu kuduk merinding. Ini bukan karena angker dan seramnya wajah mereka. Bukan. Melainkan karena karya-karya mereka telah membuatku masuk ke dalam dunia ilmu pengetahuan yang berusaha dipahat oleh mereka melalui batu bata yang berasal dari kata-kata.

Maka saat mataku menoleh ke buku berjudul ‘Menggali Sumur Dengan Ujung Jarum : Segenggam Kisah dan Ceramah Para Maestro Sastra Dunia’, di lokasi bazar buku Gramedia Matraman Jakarta, aku bergegas merengkuhnya, meraihnya untuk kemudian mencumbunya malam nanti. Aku kumpulkan ia bersama buku-buku yang lain bagai tawanan perangku. Ada sekitar 25 jumlah tawanan perang berupa buku yang kuperoleh melalui medan perang di Gramedia.

Buku-buku itu bertumpuk bagaikan gunung. Aku melihatnya ibarat menemukan pegunungan emas yang dikerubungi oleh ratusan manusia. Semuanya berjejalan. Saling mencomot tumpukan buku yang ada. Tatanan buku yang sebelumnya rapi dan tertata dengan baik, menjadi berantakan, tak beraturan. Buku satu menindih buku lainnya dengan wajah miring sebelah.

Dalam kondisi carut marut itulah, aku menemukan buku itu. Awalnya, saat masuk dalam lokasi bazar buku tersebut, kegaduhan dan keriuhan memukul gendang telingaku. Tumpukan buku yang saling menggenjet itu seperti berteriak nyaring saat aku masuk. Suara-suara mereka sungguh memekakkan telingaku. Nyaris aku dibuat pusing dan puyeng saat melihat buku-buku itu saling menggenjet antara satu dengan lainnya sambil mengeluarkan suaranya yang gegap gempita.

Perlahan-lahan aku menghirup udara untuk menenangkan jiwaku. Aku memang suka kalap bila melihat tumpukan buku yang tak beraturan pada medan perang bernama ‘Bazar Buku’. Saat kalap, tentunya akan menyapu dan menyikat buku apa saja yang ada di hadapan mata tanpa melihat budget yang ada di dompet. Bila sudah begitu, aku tak sadar kalau saat ini hidup di Jakarta dengan penghasilan yang masih belum tetap. Berbeda halnya dengan saat hidup di Surabaya.

Kalau di Surabaya, ada bazar buku atau pun tidak, seminggu sekali bisa tiga hingga empat kali datang berkunjung ke toko buku. Setiap berkunjung bisa dua hingga tiga buku kubawa. Maklum, biar tampangku jelek-jelek begini, penghasilanku sehari di Surabaya melebihi anak-anak muda pekerja kantoran yang berpenampilan necis tapi isi dompet tipis. Setiap berkunjung ke toko buku saat di Surabaya, minimal ada lima kertas merah di dompetku. Kupikir itu sudah cukup membawa dua hingga tiga buku tebal-tebal.

Di Jakarta ini, aku memang jarang ke toko buku. Selain belum ada penghasilan tetap layaknya di Surabaya, aku juga kuatir kalau ke toko buku aku tak bisa menahan hasrat, gairah dan nafsuku untuk membeli buku. Ujung-ujungnya, ATM bisa terkuras habis untuk menuruti hasratku pada buku. Jadi kalau bertemu denganku di toko buku di Jakarta, itu tandanya aku ada budget cukup untuk membeli empat hingga lima buku.

Jujur saja. Aku lebih senang berada di ruangan yang dipenuhi tumpukan buku dibanding berada di tengah gadis-gadis cantik kota megapolitan ini. Selain karena aku suka membaca, aku menemukan banyak makna di sana. Makanya, awal-awal hidup di Jakarta, jujur aku tertekan karena tak dapat lagi bersentuhan dengan buku-buku baru. Kalau pun ada, itu adalah buku milikku yang kubawa dari Surabaya.

Nah kebetulan saat ada rezeki lebih, aku datang berkunjung ke toko buku di Gramedia Matraman yang sedang menggelar bazar buku. Aku menemukan buku ‘Menggali Sumur Dengan Ujung Jarum’ ini dalam kondisi terpojok ibarat tawanan perang yang ditodong oleh tombak. Ia tersudut dipojokan tumpukan buku lainnya. Ia mengiba-iba padaku untuk dibawa. Ia mengeluarkan pula rintihan yang menyayat hati karena ditindih buku-buku lainnya.

Mungkin saat pertama kali melihatku, buku ini beranggapan bahwa aku adalah dewa penolongnya. Aku berusaha sekuat tenaga mengeluarkannya dari tindihan buku-buku lainnya yang berlaku kejam padanya. Aku mengeluarkannya dari himpitan buku-buku sombong itu ibarat ksatria lakon utama dalam film laga. Saat pertama kali mengangkatnya dari tindihan buku lainnya, sebenarnya aku sudah gemetaran melihat para penulis yang menulis dalam buku tersebut.

Aku merengkuhnya. Merabanya dengan mesra. Ada getaran mistik yang menjalari seluruh tubuhku. Jiwaku meronta-ronta memintaku untuk membawa buku ini terlepas dari jejalan buku-buku lainnya. Aku pun menuruti kata jiwa. Membawanya untuk dikumpulkan bersama 24 tawanan buku lainnya. Dengan langkah mantap, aku membayar biaya tebusan mereka semua kemudian bersegera pulang.

Malam harinya, aku mulai menjamah 25 tawanan buku itu satu persatu. Dimulai dari Anna Karenina-nya Leo Tolstoy, Fatimah Chen Chen-nya Motinggo Busye, The Final Note-nya Kevin Alan Milne dan sudah dua hari ini aku menjamah buku ‘Menggali Sumur Dengan Ujung Jarum’ini. Bila diperhatikan, setiap harinya ada satu buku yang kubaca. Aku memang suka membaca. Buku apa saja. Tanpa terkecuali. Entah mengapa aku seperti mengalami sakit jiwa bila sehari saja tak membaca buku. Tak heran, dalam tasku selalu berisi dua buah buku yang siap kubaca di manapun dan kapanpun.

Judul buku ‘Menggali Sumur Dengan Ujung Jarum’ diambil dari sebuah pepatah klasik masyarakat Turki yang menandaskan kekeraskepalaan, kesabaran, dan tekad yang kuat untuk mencipta sesuatu. Pepatah itu dituturkan oleh penulis Turki, Orhan Pamuk dalam tulisannya yang berjudul ‘Koper Ayah Saya’.

Saat membaca tulisan Orhan Pamuk, aku sangat bahagia sekali. Ada banyak pesan dan hikmah di dalamnya yang harus dipungut oleh siapa saja yang hendak menekuni jalan sunyi dunia buku dan kepenulisan. Coba perhatikan pesan Orhan Pamuk bagi para penulis, terutama penulis pemula sepertiku :

“Untuk menjadi seorang penulis, kesabaran dan kerja keras belumlah cukup. Pertama-tama kita mesti merasakan dorongan untuk melarikan diri dari kerumunan, pergaulan, rutinitas kehidupan sehari-hari, dan mengurung diri di dalam kamar”.

Yah... Dunia buku dan kepenulisan memang diperuntukkan bagi mereka yang asyik masyuk dengan kesunyian dan kesepian, yang mau merelakan diri untuk berlari dari kerumunan yang kadang membutakan nurani. Namun, anda jangan salah. Sebenarnya, dunia buku dan kepenulisan bukanlah dunia yang sepi dan sunyi amat, melainkan dunia yang sangat ramai dan gaduh. Bahkan sangat gaduh. Saking gaduhnya anda akan selalu diselimuti oleh kebahagiaan kalau sudah kecemplung di dalamnya.

Dunia buku dan kepenulisan adalah dunia berisik yang dipenuhi dengan ide dan gagasan orang-orang terdahulu. Cobalah anda rasakan. Mengurung dirilah di dalam kamar sambil ditemani sebuah buku. Aku mengamini apa yang dituturkan oleh Orhan Pamuk, bahwa saat kita mengurung diri di kamar dan ditemani buku, kita akan segera menemukan kalau kita ternyata tidak sendiri sebagaimana yang dibayangkan. Kita, ujar Orhan Pamuk, akan ditemani oleh kata-kata dari mereka yang datang sebelum kita, oleh kisah-kisah orang lain, buku-buku orang lain, kata-kata orang lain, sesuatu yang dinamakan tradisi. Jadi, salah besar mereka yang mengatakan bahwa dunia buku dan kepenulisan adalah dunia yang sepi dan sunyi. Jadi jangan takut untuk terjun di dalamnya. Ada banyak hal-hal baru yang akan ditemui dan bersahabat dengan anda nantinya.

Ada banyak quote menarik sebenarnya dalam tulisan Orhan Pamuk di buku ini. Sayangnya tak mungkin aku tuliskan satu persatu di sini. Selain tulisan Orhan Pamuk yang sangat menarik, ada pula tulisan yang sangat mengagumkan milik William Saroyan yang berjudul ‘Suatu Hari yang Dingin’. Sumpah! Ia sangat erat menggandeng tanganku saat membaca tulisannya hingga membuatku tak mau melepaskan genggaman tangannya, meski hanya sekejap saja. Sungguh sangat luar biasa!!!

William Saroyan begitu lihai mempermainkan emosiku saat ia kedinginan dan berusaha untuk mencari kehangatan lewat usahaya untuk membakar buku-buku sebagai bahan bakarnya. Aku menebak-nebak dan bahkan menuduh bahwa ia pasti akan membakar buku-bukunya untuk menghangatkan tubuhnya dari cuaca yang sangat dingin. Persepsiku ini muncul karena aku pernah membaca buku berjudul ‘Pembakaran Buku dari Masa ke Masa’ yang menyatakan ada pula beberapa penulis buku dan filsuf besar dunia yang tak segan-segan membakar buku. 

Ndilalah aku terkecoh. Aku tertipu. Ia malah menyatakan, “Banyak sekali yang bisa dipelajari para penulis muda dari para penulis buruk. Membakar buku-buku buruk itu bahkan lebih destruktif ketimbang membakar buku-buku bagus”. Saat membaca kalimat ini aku langsung tersungkur sudah melakukan purbasangka padanya. Aku jadi bertanya-tanya dengan penuh rasa penasaran, untuk mencari alasan darinya mengapa tidak melakukan pembakaran buku demi menghangatkan tubuhnya.

Di halaman lainlah dia menjawab rasa penasaranku. Katanya, “Jika kau punya secuil rasa hormat pada gagasan dalam sebuah buku, apa yang mereka sumbangkan untuk kehidupan, jika kau percaya pada kertas dan cetakan, kau tak akan bisa membakar halaman-halaman sebuah buku. Bahkan andai pun itu dilakukan agar kau sendiri bisa nyaman saat menulis, kau tak akan bisa melakukannya. Ia akan menuntut terlalu banyak pertanyaan”.

Subhanallah. Itulah alasannya ia tak mau membakar buku. Selain rasa hormat pada gagasan, buku-buku itu juga akan menuntut banyak pertanyaan yang diajukan nantinya sebelum buku tersebut dibakar. Bagi pencinta buku, antara dia dan buku memiliki keterikatan jiwa dan bahasa yang hanya dipahami oleh mereka yang terjun dalam dunia buku. Buku juga memiliki jiwa. Dan tentunya ia mampu untuk berkata dan berbahasa dengan kita. Namun, hanya pencinta buku yang paham akan bahasa yang diucapkan oleh batin sebuah buku. Wassalam!








Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Mas Template
Copyright © 2011. SHOFA AS-SYADZILI - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website | Edited by Arick Evano
Proudly powered by Blogger