CATATANKU SEJARAHKU III

Rabu, 12 Maret 2014


“Setiap pengalaman yang tidak dinilai, baik oleh dirinya sendiri ataupun oleh orang lain, akan tinggal menjadi sesobek kertas dari buku hidup yang tidak punya makna. Padahal setiap pengalaman tak lain daripada fondasi kehidupan. Maka belajarlah kau menilai pengalamanmu sendiri” (Pramoedya Ananta Toer dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, II, 273)

 Kalimat itu aku temui saat menyigi buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu-nya Pram. Dua hari buku ini bersamaku, tumpas sudah aku membacanya. Pram berusaha untuk mengajarkan kepadaku betapa pentingnya pengalaman hidup itu untuk dinilai. Dengan menuliskan pengalaman hidupnya dalam buku ini, Pram melaksanakan terlebih dulu perkataan itu buat dirinya sendiri sebelum diberitai ke orang lain.

Saat kutemui kalimat di atas itu, aku berhenti sejenak mencoba untuk meresap maknanya. Mutiara hikmahnya sungguh membuat aku merasakan kesia-siaan selama hidup kemarin yang tak sempat kutuliskan. Ada banyak pengalaman yang menguar bersama udara yang berhembus tiap harinya, hilang ke alam entah. Menarik kembali ingatan itu ibarat mengumpulkan kepingan-kepingan sejarah yang terserak. Sulit. Harus memeras ingatan agar kepingan itu bisa tersusun rapi dan utuh menjadi sebuah cerita yang menarik. Puzzle-puzzle kehidupan itu masih berserakan, tercecer di antara bait-bait nada kehidupan yang mengalun ibarat irama musik rock.

Kalimat Pram di atas seakan mengingatkan aku untuk tak sekalipun melewatkan pengalaman hidup yang kulalui. Entah itu soal kuliah, keluarga, organisasi bahkan persoalan asmara sekalipun. Segala-gala, semua, setiap waktu adalah pengalaman. Maka dari itu, melalui tulisan ini aku akan memulainya selangkah dua langkah, secuap dua cuap, menuliskannya sebagai catatan sejarahku.

Kemarin, 10 Maret 2014, aku menyusuri jalanan kota Surabaya ini untuk kemudian menuju Kampung Ilmu. Kampung yang menyediakan berbagai buku bacaan dengan harga murah meriah. Dulu, saat aku masih semester dua, kerap aku mendatangi tempat itu. Mencari, mengubek-ubek buku yang bertumpuk-tumpuk untuk kemudian aku beli mana yang menarik buatku. Tak jarang aku bisa berjam-jam di sana. Berputar-putar melihat tiap-tiap stand dengan bukunya yang bertumpuk. Berangkat jam sebelas, pulang bisa sampai jam lima lewat.

Entah kenapa tiap kali aku berada di sebuah tempat yang dipenuhi dengan buku, aku bisa betah berlama-lama di sana. Meski pada awalnya saat berangkat dari kos sudah berniat tidak membeli buku, hanya sekedar untuk melihat-lihat saja, sesampainya di sana, pikiran dan jiwaku malah berontak untuk segera membawa pulang buku yang sekiranya menarik buatku. Aku merasa seperti ada ikatan batin antara buku dengan jiwaku. Bagiku, buku juga mempunyai jiwa. Dengannya, buku bisa membuat orang gelisah bila tidak memilikinya.

Ada pengalaman yang membuatku menarik kesimpulan seperti itu. Waktu itu aku lagi di Jakarta karena mengikuti kegiatan organisasiku. Seminggu lebih acara itu dilaksanakan. Seusai kegiatan itu, seperti biasanya orang udik, aku juga ingin mengetahui kebesaran dan kemegahan ibu kota ini. Aku tak ingin melihatnya hanya lewat koran dan televisi saja, aku harus mengetahuinya langsung lewat kedua mataku dan jasadku. Mulailah aku berpetualang. Satu tempat yang wajib aku kunjungi, tidak boleh tidak. Tempat itu adalah Kwitang. Tahu khan dengan Kwitang?. Tempat buku-buku murah itu? Aku mengetahui Kwitang dari film yang dibintangi oleh Dian Sastrowardojo dengan Nicholas Saputra dalam Ada Apa Dengan Cinta-nya.

Dari sanalah aku menanamkan niat, kelak saat aku ke Jakarta, aku harus ke Kwitang. Begitu hatiku berkata. Nah, sesampainya di sana aku melihat beberapa stand yang menjajakan buku dengan harga yang sangat murah. Seketika mataku tertuju pada sebuah buku karya Buya Hamka, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijcks. Aku coba untuk bertanya harganya. Ups... 25 ribu. Harga yang murah pikirku. Kulihat dompetku. Ampun.... Kalau kubelikan buku, lalu saya mau balik pakai apa?. Dompetku lagi sekarat. Kegalauan menyelimuti batinku. Buku itu telah menarik jiwaku. Aku pulang dengan langkah gontai. Tak satupun buku yang bisa aku bawa pulang ke Surabaya.

Sepulangnya dari Jakarta, keesokan harinya aku ke kampus untuk melepas kerinduan pada teman-teman sekelasku. Tak lama. Hanya sekitar setengah jam aku ada di kampus. Saat berupaya untuk pulang, aku melewati jalanan gang tikus di belakang Fakultas Dakwah. Di sana, tepat di belakang Fakultas Dakwah memang terdapat pedagang buku yang biasa mangkal. Aku mencoba tuk mampir sejenak melihat-lihat. Ndilalah kok buku Hamka itu ada di sini, pikirku. Aku tanyakan harganya pada pedagang tersebut, “15 ribu mas”. Alhamdulillah... Sekalian saja aku samber tanpa aku pikir lagi. Kebetulan duit di dompet lagi lebih. Yah...ternyata kalau sudah jodoh, buku tak akan ke mana.

Surabaya, 12 Maret 2014
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Mas Template
Copyright © 2011. SHOFA AS-SYADZILI - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website | Edited by Arick Evano
Proudly powered by Blogger