“Setiap pengalaman yang tidak dinilai, baik oleh dirinya sendiri ataupun oleh orang lain, akan tinggal menjadi sesobek kertas dari buku hidup yang tidak punya makna. Padahal setiap pengalaman tak lain daripada fondasi kehidupan. Maka belajarlah kau menilai pengalamanmu sendiri” (Pramoedya Ananta Toer dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, II, 273)
Kalimat itu aku temui saat menyigi buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu-nya Pram. Dua hari buku ini bersamaku, tumpas sudah aku membacanya. Pram berusaha untuk mengajarkan kepadaku betapa pentingnya pengalaman hidup itu untuk dinilai. Dengan menuliskan pengalaman hidupnya dalam buku ini, Pram melaksanakan terlebih dulu perkataan itu buat dirinya sendiri sebelum diberitai ke orang lain.
Saat
kutemui kalimat di atas itu, aku berhenti sejenak mencoba untuk meresap
maknanya. Mutiara hikmahnya sungguh membuat aku merasakan kesia-siaan selama
hidup kemarin yang tak sempat kutuliskan. Ada banyak pengalaman yang menguar
bersama udara yang berhembus tiap harinya, hilang ke alam entah. Menarik
kembali ingatan itu ibarat mengumpulkan kepingan-kepingan sejarah yang
terserak. Sulit. Harus memeras ingatan agar kepingan itu bisa tersusun rapi dan
utuh menjadi sebuah cerita yang menarik. Puzzle-puzzle kehidupan itu masih
berserakan, tercecer di antara bait-bait nada kehidupan yang mengalun ibarat
irama musik rock.
Kalimat
Pram di atas seakan mengingatkan aku untuk tak sekalipun melewatkan pengalaman
hidup yang kulalui. Entah itu soal kuliah, keluarga, organisasi bahkan
persoalan asmara sekalipun. Segala-gala, semua, setiap waktu adalah pengalaman.
Maka dari itu, melalui tulisan ini aku akan memulainya selangkah dua langkah,
secuap dua cuap, menuliskannya sebagai catatan sejarahku.
Kemarin,
10 Maret 2014, aku menyusuri jalanan kota Surabaya ini untuk kemudian menuju
Kampung Ilmu. Kampung yang menyediakan berbagai buku bacaan dengan harga murah
meriah. Dulu, saat aku masih semester dua, kerap aku mendatangi tempat itu.
Mencari, mengubek-ubek buku yang bertumpuk-tumpuk untuk kemudian aku beli mana
yang menarik buatku. Tak jarang aku bisa berjam-jam di sana. Berputar-putar
melihat tiap-tiap stand dengan bukunya yang bertumpuk. Berangkat jam sebelas,
pulang bisa sampai jam lima lewat.
Entah
kenapa tiap kali aku berada di sebuah tempat yang dipenuhi dengan buku, aku
bisa betah berlama-lama di sana. Meski pada awalnya saat berangkat dari kos
sudah berniat tidak membeli buku, hanya sekedar untuk melihat-lihat saja,
sesampainya di sana, pikiran dan jiwaku malah berontak untuk segera membawa
pulang buku yang sekiranya menarik buatku. Aku merasa seperti ada ikatan batin
antara buku dengan jiwaku. Bagiku, buku juga mempunyai jiwa. Dengannya, buku
bisa membuat orang gelisah bila tidak memilikinya.
Ada
pengalaman yang membuatku menarik kesimpulan seperti itu. Waktu itu aku lagi di
Jakarta karena mengikuti kegiatan organisasiku. Seminggu lebih acara itu
dilaksanakan. Seusai kegiatan itu, seperti biasanya orang udik, aku juga ingin
mengetahui kebesaran dan kemegahan ibu kota ini. Aku tak ingin melihatnya hanya
lewat koran dan televisi saja, aku harus mengetahuinya langsung lewat kedua
mataku dan jasadku. Mulailah aku berpetualang. Satu tempat yang wajib aku
kunjungi, tidak boleh tidak. Tempat itu adalah Kwitang. Tahu khan dengan
Kwitang?. Tempat buku-buku murah itu? Aku mengetahui Kwitang dari film yang
dibintangi oleh Dian Sastrowardojo dengan Nicholas Saputra dalam Ada Apa Dengan
Cinta-nya.
Dari
sanalah aku menanamkan niat, kelak saat aku ke Jakarta, aku harus ke Kwitang.
Begitu hatiku berkata. Nah, sesampainya di sana aku melihat beberapa stand yang
menjajakan buku dengan harga yang sangat murah. Seketika mataku tertuju pada
sebuah buku karya Buya Hamka, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijcks. Aku coba untuk
bertanya harganya. Ups... 25 ribu. Harga yang murah pikirku. Kulihat dompetku.
Ampun.... Kalau kubelikan buku, lalu saya mau balik pakai apa?. Dompetku lagi
sekarat. Kegalauan menyelimuti batinku. Buku itu telah menarik jiwaku. Aku
pulang dengan langkah gontai. Tak satupun buku yang bisa aku bawa pulang ke Surabaya.
Sepulangnya
dari Jakarta, keesokan harinya aku ke kampus untuk melepas kerinduan pada
teman-teman sekelasku. Tak lama. Hanya sekitar setengah jam aku ada di kampus.
Saat berupaya untuk pulang, aku melewati jalanan gang tikus di belakang
Fakultas Dakwah. Di sana, tepat di belakang Fakultas Dakwah memang terdapat
pedagang buku yang biasa mangkal. Aku mencoba tuk mampir sejenak melihat-lihat.
Ndilalah kok buku Hamka itu ada di sini, pikirku. Aku tanyakan harganya pada
pedagang tersebut, “15 ribu mas”. Alhamdulillah... Sekalian saja aku samber
tanpa aku pikir lagi. Kebetulan duit di dompet lagi lebih. Yah...ternyata kalau
sudah jodoh, buku tak akan ke mana.
Surabaya,
12 Maret 2014
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !