CATATANKU SEJARAHKU II

Minggu, 09 Maret 2014

Usai sudah aku menyigi lembar demi lembar buku karya sastrawan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Buku ini ada dua jilid, dan baru jilid yang pertama yang sudah tumpas kubaca. Butuh waktu tiga hari lebih aku menggumulinya, mencumbunya. Kadang aku baca di Gang Setan saat lagi sepi pengunjung atau di atas jam 00.15 malam. Kadang aku baca ia saat aku lagi mendekam di dalam kamar. Di mana ada waktu luang, pastinya buku ini selalu aku baca.

Buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu ini adalah buku yang ditulis oleh Pram mengisahkan prihal kehidupan para tahanan politik saat diasingkan ke Pulau Buru. Buku ini sempat dipenggal dan dilarang diterbitkan oleh Kejaksaan Agung pada tahun 1995. Padahal, buku ini di luar negeri mendapat sambutan luas dari segenap pembacanya. Tak diterima di tanah kelahirannya, buku ini malah terbit pertama kali di Belanda dengan judul Lied van een Stomme.

Saat membacanya aku benar-benar diajaknya untuk menyaksikan perlakuan kalangan militer yang begitu bengis dan kejam. Kadang marah, sedih, tertawa, takut, kengerian menghinggapi aku.Bagaimana tidak, Pram begitu lihai menuturkan  setiap kejadian yang terjadi di Pulau Buru itu. Pram memintal kata begitu indahnya saat ia menjelaskan suasana hutan, ngarai, lembah, serta sungai yang ada di Pulau Buru. Pram juga kulihat marah, saat ia membangun kata menjelaskan kepada pembaca akan tindakan dan perlakuan militer yang mengungkung kebebasannya, menjerat kalangan tahanan politik dengan aturan-aturan yang aneh.

Para tapol itu dipaksa bekerja membuka lahan tanpa diberi alat yang memadai untuk proses penggarapannya. Sedikit saja ada kesalahan, popor senapan akan hinggap dan menempel di muka. Ada pesimisme yang akut hinggap dalam diri Pram. Ia tak percaya orde baru akan memperlakukan kalangan tahanan politik itu dengan baik dan istimewa. Alih-alih mendapat penghargaan, yang ada malah tamparan dan pukulan aparat keamanan yang didapat.

“Walau demikian jangan berilusi! Mengharapkan kebaikan hati orde baru sama dengan mimpi melihat kambing berkumis!”. Yah... Pram sudah hilang kepercayaannya pada setiap orang yang ia jumpai. Terlalu banyak motif dan kepentingan yang disembunyikan saat orang-orang Jakarta datang menemuinya di Pulau itu. Jenderal-jenderal itu semua pembohong besar! Penindas manusia bertopengkan aturan hukum. Lihatlah, bagaimana para tahanan politik itu, orang-orang tua itu ditampar,diludahi, ditendang hingga terjengkang. Tragedi 12 November 1974 adalah bukti nyata tak adanya naluri seorang manusia di dalam hati aparat militer saat itu.

Tragedi itu terjadi pada malam rabu, 12 November 1974 pada pukul 24.00 lewat. Para tapol itu dibangunkan secara tiba-tiba dan mendadak di tengah gelap malam menyelimuti pulau Buru. Rasa takut menghinggapi mereka. Seribu pertanyaan menyembul dari batok kepala, ada apakah gerangan malam-malam begini dikumpulkan? Begitu mungkin pertanyaan yang timbul. Teriakan, bentakan mulai berseliweran meminta agar para tapol itu mempercepat langkah kakinya. 

Gdebug. Benda keras mendarat tepat pada daging para tapol itu. Erangan kesakitan, mengaduh meramaikan suasana malam itu. Para tapol itu, masih belum tahu ada apa gerangan hingga membuat mereka harus mengalami penyiksaan di pagi-pagi buta, saat malam menggelayut manja. Banyak tapol yang jatuh bergelimpangan, menggelosor di tanah. Masih belum puas juga, aparat militer itu masih juga menghajarnya. Cacian, umpatan, hinaan keluar dari mulut yang mengaku pemegang kuasa itu di wilayah itu.

Pram pada buku ini benar-benar mengaduk emosiku. Aku marah pada kalangan militer yang tak berprikemanusiaan itu. Saat tubuh telah dihajar kanan kiri, para tapol itu diperintahkan untuk berdiri hanya dengan satu kaki. Saat itulah pukulan terus mendarat pada tubuh-tubuh yang mulai letih, lelah, pasrah akan nasib buruknya. Mereka, aparat militer itu, memukul para tapol seperti memukul dan membantai tikus dalam lubang galian. Banyak di antara para tapol itu yang kemudian pingsan, tergeletak di jalanan, terjerembab di tanah karena tak kuat lagi menahan pukulan. Ah....Wajah militer akan selalu begini. Beringas!!!

Dari sinilah aku mendapati sebuah hal yang hilang dari negeri ini. Penghormatan atas manusia. Itulah barang yang hilang itu. Entah ke mana larinya. Yang kutahu, negeri ini sangat jarang dijumpai orang-orang yang mau menerima perbedaan warna politik, ideologi dan agama. Dan Pram mencoba menyadarkan aku melalui buku ini.

Selanjutnya, karena rasa penasaranku yang terus menghantuiku, aku menjamah kembali Nyanyi Sunyi Seorang Bisu jilid 2. Tenang. Damai, saat halaman pertama. Aku tak tahu, apa yang akan Pram tuturkan padaku pada lembar-lembar halaman yang ada di buku ini.

Surabaya, 9 Maret 2014.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Mas Template
Copyright © 2011. SHOFA AS-SYADZILI - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website | Edited by Arick Evano
Proudly powered by Blogger