Buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu ini adalah
buku yang ditulis oleh Pram mengisahkan prihal kehidupan para tahanan politik
saat diasingkan ke Pulau Buru. Buku ini sempat dipenggal dan dilarang
diterbitkan oleh Kejaksaan Agung pada tahun 1995. Padahal, buku ini di luar
negeri mendapat sambutan luas dari segenap pembacanya. Tak diterima di tanah
kelahirannya, buku ini malah terbit pertama kali di Belanda dengan judul Lied van een Stomme.
Saat
membacanya aku benar-benar diajaknya untuk menyaksikan perlakuan kalangan
militer yang begitu bengis dan kejam. Kadang marah, sedih, tertawa, takut,
kengerian menghinggapi aku.Bagaimana tidak, Pram begitu lihai menuturkan setiap kejadian yang terjadi di Pulau Buru
itu. Pram memintal kata begitu indahnya saat ia menjelaskan suasana hutan,
ngarai, lembah, serta sungai yang ada di Pulau Buru. Pram juga kulihat marah,
saat ia membangun kata menjelaskan kepada pembaca akan tindakan dan perlakuan
militer yang mengungkung kebebasannya, menjerat kalangan tahanan politik dengan
aturan-aturan yang aneh.
Para
tapol itu dipaksa bekerja membuka lahan tanpa diberi alat yang memadai untuk
proses penggarapannya. Sedikit saja ada kesalahan, popor senapan akan hinggap
dan menempel di muka. Ada pesimisme yang akut hinggap dalam diri Pram. Ia tak
percaya orde baru akan memperlakukan kalangan tahanan politik itu dengan baik
dan istimewa. Alih-alih mendapat penghargaan, yang ada malah tamparan dan
pukulan aparat keamanan yang didapat.
“Walau demikian jangan
berilusi! Mengharapkan kebaikan hati orde baru sama dengan mimpi melihat
kambing berkumis!”. Yah... Pram sudah hilang kepercayaannya
pada setiap orang yang ia jumpai. Terlalu banyak motif dan kepentingan yang disembunyikan
saat orang-orang Jakarta datang menemuinya di Pulau itu. Jenderal-jenderal itu
semua pembohong besar! Penindas manusia bertopengkan aturan hukum. Lihatlah,
bagaimana para tahanan politik itu, orang-orang tua itu ditampar,diludahi,
ditendang hingga terjengkang. Tragedi 12 November 1974 adalah bukti nyata tak
adanya naluri seorang manusia di dalam hati aparat militer saat itu.
Tragedi
itu terjadi pada malam rabu, 12 November 1974 pada pukul 24.00 lewat. Para
tapol itu dibangunkan secara tiba-tiba dan mendadak di tengah gelap malam
menyelimuti pulau Buru. Rasa takut menghinggapi mereka. Seribu pertanyaan
menyembul dari batok kepala, ada apakah gerangan malam-malam begini
dikumpulkan? Begitu mungkin pertanyaan yang timbul. Teriakan, bentakan mulai berseliweran
meminta agar para tapol itu mempercepat langkah kakinya.
Gdebug.
Benda keras mendarat tepat pada daging para tapol itu. Erangan kesakitan,
mengaduh meramaikan suasana malam itu. Para tapol itu, masih belum tahu ada apa
gerangan hingga membuat mereka harus mengalami penyiksaan di pagi-pagi buta,
saat malam menggelayut manja. Banyak tapol yang jatuh bergelimpangan,
menggelosor di tanah. Masih belum puas juga, aparat militer itu masih juga
menghajarnya. Cacian, umpatan, hinaan keluar dari mulut yang mengaku pemegang
kuasa itu di wilayah itu.
Pram
pada buku ini benar-benar mengaduk emosiku. Aku marah pada kalangan militer
yang tak berprikemanusiaan itu. Saat tubuh telah dihajar kanan kiri, para tapol
itu diperintahkan untuk berdiri hanya dengan satu kaki. Saat itulah pukulan
terus mendarat pada tubuh-tubuh yang mulai letih, lelah, pasrah akan nasib
buruknya. Mereka, aparat militer itu, memukul para tapol seperti memukul dan
membantai tikus dalam lubang galian. Banyak di antara para tapol itu yang kemudian
pingsan, tergeletak di jalanan, terjerembab di tanah karena tak kuat lagi
menahan pukulan. Ah....Wajah militer akan selalu begini. Beringas!!!
Dari
sinilah aku mendapati sebuah hal yang hilang dari negeri ini. Penghormatan atas
manusia. Itulah barang yang hilang itu. Entah ke mana larinya. Yang kutahu,
negeri ini sangat jarang dijumpai orang-orang yang mau menerima perbedaan warna
politik, ideologi dan agama. Dan Pram mencoba menyadarkan aku melalui buku ini.
Selanjutnya,
karena rasa penasaranku yang terus menghantuiku, aku menjamah kembali Nyanyi
Sunyi Seorang Bisu jilid 2. Tenang. Damai, saat halaman pertama. Aku tak tahu,
apa yang akan Pram tuturkan padaku pada lembar-lembar halaman yang ada di buku
ini.
Surabaya,
9 Maret 2014.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !