Alif
Putra Isnaya namanya. Mahasiswa ini awalnya adalah mahasiswa jurusan Tafsir
Hadits, namun pada semester kali ini, ia pindah jurusan dikarenakan pada
jurusan Tafsir, mata kuliahnya sulit-sulit. Begitulah alasannya yang
diceritakan padaku. Aku mendengarnya sambil manggut-manggut saja. Bukan
apa-apa, di Fakultas Ushuluddin, sudah bukan hal yang mengherankan bila ada
sebagian mahasiswa yang pindah jurusan. Hal ini disebabkan, karena kebanyakan
mahasiswa Ushuluddin adalah mahasiswa lemparan. Mahasiswa yang tidak lulus
sesuai dengan pilihannya, biasanya ia akan dilempar ke Ushuluddin. Itulah
sebabnya, Fakultas Ushuluddin disebut sebagai Fakultas lemparan, fakultasnya
orang-orang yang tersesat.
Sebagai
mahasiswa yang dulunya lahir dari Ushuluddin, kadang saya berontak dengan
julukan tersebut. Bagi saya, fakultas ataupun jurusan, bukanlah penentu sukses
tidaknya seseorang di masa depan. Semuanya tergantung pada pribadi mahasiswa
tersebut saat berproses di bangku kuliah. Mampukah ia memanfaatkan waktunya
yang hanya empat tahun untuk berdinamika mengikuti proses yang ada di kampus.
Tak hanya di dalam kelas, ia pun harus kerap mengikuti diskusi-diskusi,
seminar-seminar yang diadakan di kampus. Sebab dengan begitulah ia akan
berhadapan dengan banyak orang, banyak pemikiran yang tentu berbeda dengan
pemikirannya. Dimulai dari sinilah biasanya, ia akan menemukan banyak teman
baru di luar teman kelasnya. Dan menurut saya, teman baru dari lain fakultas
dan jurusan adalah teman diskusi yang mengasyikkan nantinya.
Dulunya
aku memang menemui kekecewaan saat kuliah di kampus ini. Kecewa karena sebagian
dosennya yang menurut saya tidak memenuhi standar kualitas dalam praktik
mengajarnya. Terkadang, aku temui dosen yang sangat anti kepada kritik dari
mahasiswanya. Bila ada mahasiswa yang berbeda pendapat, maka seketika itu juga
karakternya dibunuh. Bila sudah menemui dosen yang seperti ini, kata-kata Soe
Hok Gie kembali mengiang-ngiang di telingaku “Dosen yang tak mau dikritik,
lebih baik dibuang ke tong sampah”.
Hanya
ada satu dua dosen yang kapasitas keilmuannya mumpuni dalam bidangnya. Bila
sudah ketemu dengan dosen yang seperti ini, maka aku semangat betul saat mata
kuliahnya. Aku perhatikan dosen yang begini ini, biasanya ia kutu buku. Selalu
membaca buku-buku terbaru sehingga informasinya selalu up date. Dan aku pun harus begitu nantinya saat
mengajar. Selalu membaca.
Kekecewaan
karena menemui kenyataan akan kapasitas keilmuan pengajarnya yang tidak mumpuni
inilah yang menyebabkan aku mengasingkan diri dari kawan-kawanku. Aku lebih
sering bergaul dengan buku-buku, koran, majalah dan berbagai seminar-seminar
yang diadakan. Dari sanalah aku berani berdialektika dengan siapapun. Aku tak
kuatir bila berhadapan dengan mahasiswa-mahasiswa dari kampus excelent yang ada di Surabaya. Bagiku,
mereka dan saya adalah sama. Sama-sama manusia, sama-sama makan nasi. Soal
keilmuan mana yang lebih banyak mengkonsumsi informasi dan pengetahuan. Itu
saja.
Aku
sebenarnya kuatir menerima mata kuliah jurnalistik ini. Bukan karena apa, aku
takut ada sebagian dosen senior yang merasa ceruk nasinya aku ambil. Padahal
aku mengajar karena diminta, bukan mengajukan diri. Dosen-dosen senior itu
mungkin juga meremehkan kemampuanku mengampu mata kuliah jurnalistik ini. Namun
tak apalah. Dengan begitu aku makin memompa diri dan menunjukkan pada mereka
bahwa aku bisa. Bagiku, tak ada perbedaan antara dosen biasa dan dosen luar
biasa. Yang membedakan mungkin hanya soal usia pengabdian saja. Soal kemampuan
tergantung dari seberapa banyak ia menyerap dan mencari informasi dari berbagai
bacaan dan literature.
Maka
saat semua mahasiswa sudah memasuki kelas, mulailah aku memperkenalkan diri.
Aku sebut namaku pada mereka semua. “Namaku Muhammad Shofa. Kalian boleh
panggil saya Shofa, boleh panggil saya mas atau kakak, asal jangan panggil saya
Bapak”. Aku coba untuk mengikuti gaya Soe Hok Gie saat memperkenalkan dirinya
di hadapan Mahasiswa Fakultas Sastra UI. Gaya mengajar yang menunjukkan tak
adanya sekat antara mahasiswa dan dosennya.
Mulailah
aku menjelaskan prihal arah dari mata kuliah yang kuampu. Fungsinya, tujuannya
dan target dari diberikannya mata kuliah jurnalistik. Aku jelaskan semuanya
agar mereka tahu dan mengerti bahwa mata kuliah ini bukanlah seperti mata
kuliah lainnya yang hanya berbasiskan teori semata. Aku suntikkan mereka,
mahasiswa-mahasiswi itu dengan mengutip perkataan dari Pram, Malala Yousafzai,
Iqbal Masih dan lainnya akan pentingnya pena atau tulisan sebagai alat untuk
melawan.
Aku
tekankan pula pada mereka bahwa Jurnalistik tak hanya berkaitan dengan media
cetak saja, namun segala sesuatu yang berkaitan dengan proses pemberitaan
segala media. Baik televisi, radio, koran, buku, dan film adalah termasuk
bagian dari pada jurnalistik. Aku ingin mereka, para mahasiswa ini benar-benar
memanfaatkan segala hal yang berkaitan media.
Ada
memang sedikit kekecewaan karena keterlambatan masuk ke dalam kelas yang
melebihi batas waktu yang saya tolerir. Namun bagiku karena ini adalah hari
pertama, aku biarkan saja terlebih dahulu. Di sesi akhir dari mata kuliah ini,
aku berharap pada mereka untuk minggu depannya agar tak terlambat lagi. Batas
waktu minimal keterlambatan adalah 5 menit. Yah... Budaya jelek kampus ini
ternyata masih ada.
Yah
inilah catatan pertamaku saat mengajar di hari pertama di kampus tempatku dulu
ditempa. Ada kenangan yang terlintas saat aku dulu duduk di bangku yang saat
ini diduduki oleh mahasiswa-mahasiswa ini. Kenangan-kenangan itu kini ibarat
diputar ulang oleh Sang Pemilik Kehidupan.
Surabaya,
7 Maret 2013.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !