CATATANKU SEJARAHKU ( V )

Jumat, 21 Maret 2014

Minggu ketiga mengajar sungguh sangat mengecewakan buatku. Terutama pada kelas A Prodi Politik Islam. Tugas yang kuberikan pada mahasiswa, hanya dua orang yang melaksanakan. Itupun aku nilai keduanya belum siap untuk mempresentasikan hasil bacaan mereka atas buku yang aku rekomendasikan. Cara keduanya memaparkan isi buku kepada teman-teman sekelasnya ibarat membaca koran, hingga membuat mahasiswa lainnya yang ada di dalam kelas, membuat kesibukan sendiri.


Sungguh aku kecewa kemarin. Kekecewaan ini membuatku harus mengambil sikap tegas atas sikap mereka yang mengentengkan mata kuliah ini. Baru kali ini aku bersuara sedikit keras kepada mahasiswa-mahasiswi itu. Aku meminta mereka, jika minggu depannya masih belum siap, maka silahkan menyatakan diri belum siap. Bagiku, itu lebih gentle dibanding mereka maju tapi malah membikin malu diri sendiri akibat ketidaksiapannya. Aku menilai mahasiswa pada kelas A ini, tidak punya ghirah dalam menuntut ilmu. Coba bayangkan, waktu masuk kuliah adalah pukul 10.50 wib, namun sebagian besar dari mereka malah masuk ke dalam kelas pukul 11.20. Bahkan ada yang masuk kelas 20 menit sebelum mata kuliah ini berakhir. Sudah telat, pakaian yang digunakan pun kaos oblong. Namun bagiku, soal pakaian aku masih bisa mentolerir. Beda bila tugas yang aku berikan malah tidak dikerjakan. Ini yang terkadang membuatku muntab tak karuan.

Khawatir aku makin emosi karena sikap mereka yang begitu, segera saja aku usaikan untuk segera ke warung kopi. Ngopi disek ben nggak salah paham. Begitulah kata yang sering dikeluarkan oleh kawan-kawanku saat gejolak hati lagi diselimuti emosi. Dengan meneguk kopi, aku rasa pikiranku bisa jernih dalam menilai mengapa mahasiswa pada kelas A ini bersikap begitu.  Maka aku bersegera melangkahkan kakiku ke warung kopi yang terletak di belakang Fakultas Dakwah. Lama aku tak mampir ngopi di warung itu. Datang dan ngopi di warung itu mampu menarikku pada kenangan masa lalu saat masih study S1. Aku dan kawan-kawanku kerap ngopi di warung kopi itu. Rokok ngebal ngebul, diskusi ngalor ngidul, tak ketahuan rimbanya. Namun di sanalah kenikmatan sebenarnya saat menempuh kuliah S1.

Pada bangku kuliah, tak kutemukan kebahagiaan dalam menuntut ilmu yang diberikan oleh para dosen. Makanya aku banyak menghabiskan waktu untuk berdiskusi dari warung kopi satu ke warung kopi lainnya. Bergeser dan selalu bergeser. Malam harinya aku sibukkan diri dengan bekerja di tengah-tengah kota. Tak lupa, aku selalu memanggul tas kesayanganku yang di dalamnya dipenuhi dengan beragam buku bacaan. Baik buku Sastra, Filsafat, Sosiologi, Psikologi, Pemikiran Islam dan Sejarah Peradaban. Dari buku dan diskusilah aku banyak menyerap ilmu pengetahuan yang muncul melalui perdebatan-perdebatan sengit dengan kawan-kawanku. Kawan sejatiku adalah lawan berpikirku, demikian aku memaku kata itu dalam ingatanku.

Mengingat memori masa lalu saat kuliah sambil ditemani segelas kopi dan sebungkus rokok adalah kenikmatan tak terkira. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 13.12 menit. Aku harus bergegas masuk ke kelas B Prodi Politik Islam. Agar tak terulang hal yang sama seperti di kelas sebelumnya, maka aku berupaya untuk membangkitkan semangat mahasiswa pada kelas ini terlebih dahulu. Menjelaskan pada mereka soal fungsi dan peran media massa sebelum memberi waktu bagi yang bertugas untuk presentasi.

Alhamdulillah. Aku bangga pada kelas ini. Nabilla, mahasiswi yang punya tugas untuk presentasi, sedikit banyak melunasi kekecewaanku pada kelas sebelumnya. Meski agak sedikit grogi, ia sudah berani tampil. Dan itu adalah petunjuk bahwa buku yang aku rekomendasikan dibaca olehnya. Itu bisa kulihat dari pemaparan yang ia sampaikan dengan sedikit hati-hati. Mungkin ia takut salah menerangkan, makanya tak jarang ia harus berhenti sekitar 2 atau 3 menit untuk mengingat apa yang dibacanya. Tapi, tak apa. Itu sudah langkah awal yang bagus menurutku. Karena sangat jarang ada sosok perempuan yang berani menyampaikan gagasannya di hadapan sekumpulan laki-laki.

Seusai Nabilla menyampaikan presentasinya, sudah jadi kebiasaanku untuk mengarahkan ke mana seharusnya pembahasan atau diskusi di dalam kelas harus dibawa. Aku bicara soal pers,bisnis korporasi media massa, hingga beberapa sosok perempuan penulis yang menuangkan idenya melalui tulisan. Malala Yousafzai, Tawakkul Karman, dan Halide Edib Adivar serta Nawal El-Sadawi aku suguhkan pada mereka.

Aku ceritakan pada mereka bagaimana Tawakkul Karman menggerakkan jutaan massa rakyat Yaman untuk melakukan aksi demonstrasi melalui tulisan-tulisannya. Setiap seminggu sekali dari tahun 2007, Tawakkul Karman mengorganisir massa untuk berdemo memprotes kebijakan Presiden Ali Abdullah Saleh yang berlaku tidak adil pada kaum perempuan. Tawakkul Karman adalah sosok perempuan pendiri Woman Jurnalist Without Chainc. Dari sanalah ia dengan sayatan kata-katanya menebas tiap kebijakan Ali Abdullah Saleh yang dianggapnya berlaku otoriter dengan memasung kaum perempuan. Pada akhirnya, Presiden yang telah mengangkangi Yaman selama 30 tahun itu harus menyerah atas tuntutan dan permintaan rakyat Yaman untuk segera mengundurkan diri.

Intinya, menulis bisa dijadikan alat perlawanan terhadap kesewenang-wenangan dan penindasan serta ketidakadilan. Aku sangat berharap ada di antara mahasiswa dan mahasiswi di kelas B ini mengambil inspirasi dari beberapa tokoh besar dunia. Baik dari luar ataupun dari dalam negeri yang menjadikan tulisannya sebagai alat perlawanan. Itulah harapanku. Semoga bisa terkabul. Amien...

Surabaya, 21 Maret 2014


Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Mas Template
Copyright © 2011. SHOFA AS-SYADZILI - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website | Edited by Arick Evano
Proudly powered by Blogger