Sungguh
aku kecewa kemarin. Kekecewaan ini membuatku harus mengambil sikap tegas atas
sikap mereka yang mengentengkan mata kuliah ini. Baru kali ini aku bersuara
sedikit keras kepada mahasiswa-mahasiswi itu. Aku meminta mereka, jika minggu
depannya masih belum siap, maka silahkan menyatakan diri belum siap. Bagiku,
itu lebih gentle dibanding mereka maju tapi malah membikin malu diri sendiri
akibat ketidaksiapannya. Aku menilai mahasiswa pada kelas A ini, tidak punya ghirah dalam menuntut ilmu. Coba
bayangkan, waktu masuk kuliah adalah pukul 10.50 wib, namun sebagian besar dari
mereka malah masuk ke dalam kelas pukul 11.20. Bahkan ada yang masuk kelas 20
menit sebelum mata kuliah ini berakhir. Sudah telat, pakaian yang digunakan pun
kaos oblong. Namun bagiku, soal pakaian aku masih bisa mentolerir. Beda bila
tugas yang aku berikan malah tidak dikerjakan. Ini yang terkadang membuatku
muntab tak karuan.
Khawatir
aku makin emosi karena sikap mereka yang begitu, segera saja aku usaikan untuk
segera ke warung kopi. Ngopi disek ben nggak salah paham. Begitulah kata yang sering dikeluarkan oleh kawan-kawanku
saat gejolak hati lagi diselimuti emosi. Dengan meneguk kopi, aku rasa
pikiranku bisa jernih dalam menilai mengapa mahasiswa pada kelas A ini bersikap
begitu. Maka aku bersegera melangkahkan
kakiku ke warung kopi yang terletak di belakang Fakultas Dakwah. Lama aku tak
mampir ngopi di warung itu. Datang dan ngopi di warung itu mampu menarikku pada
kenangan masa lalu saat masih study S1. Aku dan kawan-kawanku kerap ngopi di
warung kopi itu. Rokok ngebal ngebul, diskusi ngalor ngidul, tak ketahuan
rimbanya. Namun di sanalah kenikmatan sebenarnya saat menempuh kuliah S1.
Pada
bangku kuliah, tak kutemukan kebahagiaan dalam menuntut ilmu yang diberikan
oleh para dosen. Makanya aku banyak menghabiskan waktu untuk berdiskusi dari
warung kopi satu ke warung kopi lainnya. Bergeser dan selalu bergeser. Malam
harinya aku sibukkan diri dengan bekerja di tengah-tengah kota. Tak lupa, aku
selalu memanggul tas kesayanganku yang di dalamnya dipenuhi dengan beragam buku
bacaan. Baik buku Sastra, Filsafat, Sosiologi, Psikologi, Pemikiran Islam dan
Sejarah Peradaban. Dari buku dan diskusilah aku banyak menyerap ilmu pengetahuan
yang muncul melalui perdebatan-perdebatan sengit dengan kawan-kawanku. Kawan
sejatiku adalah lawan berpikirku, demikian aku memaku kata itu dalam ingatanku.
Mengingat
memori masa lalu saat kuliah sambil ditemani segelas kopi dan sebungkus rokok
adalah kenikmatan tak terkira. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 13.12
menit. Aku harus bergegas masuk ke kelas B Prodi Politik Islam. Agar tak
terulang hal yang sama seperti di kelas sebelumnya, maka aku berupaya untuk
membangkitkan semangat mahasiswa pada kelas ini terlebih dahulu. Menjelaskan
pada mereka soal fungsi dan peran media massa sebelum memberi waktu bagi yang
bertugas untuk presentasi.
Alhamdulillah.
Aku bangga pada kelas ini. Nabilla, mahasiswi yang punya tugas untuk
presentasi, sedikit banyak melunasi kekecewaanku pada kelas sebelumnya. Meski
agak sedikit grogi, ia sudah berani tampil. Dan itu adalah petunjuk bahwa buku
yang aku rekomendasikan dibaca olehnya. Itu bisa kulihat dari pemaparan yang ia
sampaikan dengan sedikit hati-hati. Mungkin ia takut salah menerangkan, makanya
tak jarang ia harus berhenti sekitar 2 atau 3 menit untuk mengingat apa yang
dibacanya. Tapi, tak apa. Itu sudah langkah awal yang bagus menurutku. Karena
sangat jarang ada sosok perempuan yang berani menyampaikan gagasannya di
hadapan sekumpulan laki-laki.
Seusai
Nabilla menyampaikan presentasinya, sudah jadi kebiasaanku untuk mengarahkan ke
mana seharusnya pembahasan atau diskusi di dalam kelas harus dibawa. Aku bicara
soal pers,bisnis korporasi media massa, hingga beberapa sosok perempuan penulis
yang menuangkan idenya melalui tulisan. Malala Yousafzai, Tawakkul Karman, dan
Halide Edib Adivar serta Nawal El-Sadawi aku suguhkan pada mereka.
Aku
ceritakan pada mereka bagaimana Tawakkul Karman menggerakkan jutaan massa rakyat
Yaman untuk melakukan aksi demonstrasi melalui tulisan-tulisannya. Setiap
seminggu sekali dari tahun 2007, Tawakkul Karman mengorganisir massa untuk
berdemo memprotes kebijakan Presiden Ali Abdullah Saleh yang berlaku tidak adil
pada kaum perempuan. Tawakkul Karman adalah sosok perempuan pendiri Woman
Jurnalist Without Chainc. Dari sanalah ia dengan sayatan kata-katanya menebas
tiap kebijakan Ali Abdullah Saleh yang dianggapnya berlaku otoriter dengan
memasung kaum perempuan. Pada akhirnya, Presiden yang telah mengangkangi Yaman
selama 30 tahun itu harus menyerah atas tuntutan dan permintaan rakyat Yaman
untuk segera mengundurkan diri.
Intinya,
menulis bisa dijadikan alat perlawanan terhadap kesewenang-wenangan dan
penindasan serta ketidakadilan. Aku sangat berharap ada di antara mahasiswa dan
mahasiswi di kelas B ini mengambil inspirasi dari beberapa tokoh besar dunia.
Baik dari luar ataupun dari dalam negeri yang menjadikan tulisannya sebagai
alat perlawanan. Itulah harapanku. Semoga bisa terkabul. Amien...
Surabaya,
21 Maret 2014
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !