SECUIL CERITA DARI BALINESE CAMP (Bagian IV)

Jumat, 14 Juni 2013

To :Muhammad Shofa
Aku berdoa semoga anda tidak putus cinta lagi dan tidak galau, karena akan menyusahkan kos saya lagi. Ha ha ha ha

Saat itu, senin 31 Desember 2012 kegundahan menyelimuti hati dan jiwaku. Harapan dan impian untuk membangun mahligai rumah tangga di atas bangunan istana mimpi ada di ujung tanduk. Hari itu, aku ibarat terdakwa duduk dalam persidangan menunggu vonis dijatuhkan. Pembelaan yang kulakukan tak jua menyurutkan niatnya untuk mengetok palu kata putus dalam menjalin hubungan.

Aku berupaya menjaga agar vonis itu tak jatuh sebelum tahu apa kesalahanku. Apa dosaku. Beribu argumentasi kuajukan agar dia berpikir dengan jernih sebelum mengambil keputusan. Namuna palah daya, cinta pada akhirnya menunjukkan wajah bengisnya, wajah kejamnya.

“Pikirkan dulu dik. Kita baru melangkah merajut asmara, jadi wajar saja bila masih banyak kenangan yang tersimpan antara kau dan dia.Mana mungkin mas yang baru saja hadir dalam hidupmu bisa begitu cepat menyingkirkan dia yang telah lama bertahta dihatimu“ begitu kataku padanya melalui telpon di hari yang naas itu.
“Gak bisa mas. Aku mencintainya. Ternyata hingga kini aku masih mencintainya. Aku belum bisa melupakannya. Meski aku usahakan untuk mencoba membuka rasa buat mas, tapi tak bisa. Maafkan adik mas”ujarnya.
“Wajarlah dik. Kita lho baru berapa bulan jalan”
“Gak bisa maaaaas. Aku takut. Takut kedepannya akan malah lebih mengecewakan mas. Aku masih selalu ingat padanya meski aku coba tuk mengusir bayang-bayangnya, tapi wajahnya selalu menghantuiku“

Aku tetap berusaha meneguhkannya bahwa itu hal biasa bagi yang baru berapa bulan menjalin asmara. Tapi dia keukeh.Bergeming. Ingin segera menyelesaikannya. Ingin segera mengusir aku dari hatinya.

Aku yang tak biasa menghadapi persoalan hanya melalui telpon, berinisiatif untuk bertemu langsung dengannya. Aku ingin bertandang kerumahnya. Berbicara baik-baik dengannya, dengan orang tuanya, dengan saudara-saudaranya. Aku ingin tahu wajahnya saat berhadapan muka denganku. Tegakah ia membiarkan aku berjalan di atas bumi sendirian tanpanya?

Matahari meringkuk cemas mendengar percakapan kami. Panasnya menyengat tak peduli akan gemuruh hatiku yang sedang memanas. Segera kualunkan langkah kaki menuju jalan besar utnuk menuju bertandangkerumahnya.

Kring kring kring kring..... Hpku berdering. Segera kuangkat telpon darinya di atas bis yang akan mengantarkanku ke tanah Majapahit. Kudengar suaranya di ujung seberang sana.

“Mas, balik aja. Gak usah ke rumah. Kedatangan mas tidak akan merubah keputusanku“
“Gak dek. Mas udah di atas bis ini, nanggung“
“Jangan mas. Kalau mas butuh penjelasan biar adik yang ke Surabaya“
“Gak usah dek. Sekalian mas pengen ketemu ibu“
“Emang tahu rumah adek?“ tanyanya
“Nggak tahu. Nanti khan adik bisa jemput mas di terminal“
“Maaaas... balik aja. Biar adik yang keSurabaya. Adik gak akan jemput mas di terminal!!!”ancamnya.
“Adiiiik. Ini cobaan buat hubungan yang baru beberapa bulan kita rajut.... Sabar ya sayang.... Apapun yang adik katakan mas tetap akan ke rumah. Biar mas dengar penjelasan di rumah adik aja ya. Jika adik tak mau jemput di terminal, mas tetap akan menanti adik hingga pukul 00.00 wib, tepat pergantian tahun. Bila tak datang, itulah jawaban adik“

Klik. Telpon saya matikan.

Kring kring kring kring..... Telpon berdering kembali. Tak kuangkat. Kubiarkan saja. Segera saja kukirim pesan singkat pada keponakannya meminta alamat rumah tantenya. Yess..!!! Dapat..!! teriakku. Kukirim sms lagi pada keponakannya sambil bertanya :

“ Dek, apakah cinta harus diperjuangkan?” tanyaku
“Iyalah mas. Harus itu” jawabnya sekenanya

Akupun tahu beberapa hari kemudian, ternyata keponakannya yang lugu itu dimarahin habis-habisan gara-gara memberi alamat rumah tantenya padaku.

Mojokerto-Surabaya. Lumayan pikirku. Gak begitu jauh. Lagi pula aku sering melewati kota ini saat mengisi pelatihan yang digagas adik-adik himpunan. Namun aku belum tahu di mana rumahnya. Gak apa-apa. Yang penting alamat sudah aku pegang.

Sesampainya di terminal Mojokerto, segera ku kirim pesan singkat padanya bahwa aku sudah di terminal. Tak ada jawaban darinya. Sepuluh menit. Tetap tak ada. Seperti biasa, menunggu adalah hal yang membosankan buatku. Segera ku ke warung di depan terminal. Rokok. Ah lega saat kuhisap rokok sambil menunggu dia datang menjemputku.

Titut titut titut….. Pesan masuk. Kulihat dari dia.

“Naik angkot aja mas. Turun di desa anu di depan kuburan. Ntar kalau udah di sana adik jemput Kita bicarakan baik-baik aja di rumah“ pada akhirnya dia mengalah.
“Ok. Coba dari tadi kayak begini. Khan enak“ jawabku

Segera kulambaikan tangan untuk menghentikan angkot berwarna biru yang menuju desa anu. Tepat dengan saran alamat yang diberikan. Aku berhenti di depan kuburan desa anu. Ku kirim pesan singkat lagi padanya bahwa aku sudah di ujung gang depan kuburan desa anu.

Ia datang menghampiriku dengan mengendarai sepeda motor. Berkerudung,meski tak pakai bedak kecantikan tetap menguar diwajahnya.Geleng-geleng ia akan keputusanku untuk tetap ngotot bertandang kerumahnya.
“Mas udah pernah bilang, jangan samakan mas dengan laki-laki lain yang adik kenal. Kita jadian baik-baik,putusnyapun harus baik-baik. Iya khan?” ujarku di atas motor saat berboncengan dengannya untuk menuju rumahnya.

Sesampainya di rumah. Aku cium tangan ibunya dengan penuh ta’dzim. Aku anggap ia adalah ibuku meski aku hanya sekali bertemu dengannya saat putrinya, gadis yang kucintai,diwisuda.

Mulailah aku berbicara dengan anak gadisnya dari hati ke hati. Kenapa dan bagaimana kok bisa dia mengambil keputusan untuk segera mengakhiri hubungan antara aku dengannya.

“Jujur mas. Adik sudah berusaha untuk mencintai mas tapi tak bisa. Wajah orang itu selalu hadir di pelupuk mata. Adik takut, saat malam pertama di hari pernikahan kita, Adik teringat padanya. Ini sungguh menyiksa. Ternyata adik masih sayang dan cinta padanya mas. Maaaas tolong dimengerti. Maafin adik ya“

Sakit?. Jelas. Benci padanya? Tidak..!!!

Aku pandangi wajahnya dengan lekat.Matanya, bibirnya, hidungnya, alisnya, semua yang ada pada wajahnyatelah mengabadi dalam hatiku. Bagaimana caranya agar akumelupakanmu?. Batinku bertanya dalam keheningan diri. Pernyataannya tadi adalah tabuh kematian jiwaku.

Tak mungkin aku memaksanya untuk berjalan bersamaku, menari di ujung cakrawala langit-langit cinta bila ia tak ada gairah lagi. O Tuhan.... Tabuhlah rebana dengan rancak untukmengiringi kematianku. Menarilah di atas pekuburan hatiku yang sedang berduka.

Hampir dua jam kukira aku ada dirumahnya. Makan berdua, ngobrol berdua layaknya tak ada apa-apa. Waktupun mengharuskanku untuk segera undur diri dan pamit undur dari rumahnya.Aku cium tangan ibunya sebelum pulang. Aku bisikkan bahwa aku cinta pada anaknya meski anak gadisnya mencampakkanku. Aku hanya bisa berdoa semoga anak gadisnya mendapatkan laki-laki yang memang dicintainya itu. Laki-laki yang mengganggu hari-harinya.

Diantarnya aku hingga terminal. Berdua. Naik motor berboncengan.Inilah terakhir kali aku berboncengan dengannya. Tak ingin rasanya segera tiba di terminal. Ah…ternyata hidup memang tak mengerti dengan aku yang lagi berduka. Kejam...Kejam....Terminal kok dekat banget!!!!!!!

“Naik angkot yang itu mas“
“ya. Udah pulang gih“
“Nggak ah. Mas naik dulu“
“Ya...“ aku elus kepalanya seperti biasa. Aku sayang dia.

Dia melaju kencang. Melewati terminal yang sudah mulai sepi. Aku masih berdiri, mematung di depan terminal enggan untuk naik angkot.

Rupanya tangis dan rintihan hatiku didengar oleh-Nya. Langit seketika menumpahkan air hujan ibarat bah yang diguyur dari atas. Aku berlari mencari tempat untuk bernaung. Basah. Sekujur tubuhku basah oleh air yang menyusup melalui sela-sela bajuku. Celingukan aku melihat kanan-kiri berharap ada angkot lewat lagi. Alhamdulillah...Dari kejauhan angkot berjalan merayap pelan seperti keong.

Segera saja kunaiki angkot itu setelah tiba didepanku yang basah kuyup. Aku bingung ke mana aku harus berjalan. Surabaya? Ah..... Jangan. Jombang? Ya. Sekalian aku ingin berziarah ke makam tokoh yang karya-karyanya selalu kubaca. Gus Dur. Aku ingin kemakamnya. Aku ingin berdialog dengannya saat aku lagi berada dalam kegalauan. Setelah dari makam Gus Dur, aku beranjak ke Blitar. Kemana? Ke Makam Bung Karno. Keduanya adalah tokoh idolaku. Mungkin kalau aku tak diputus oleh perempuan itu, aku tak akan pernah bisa singgah di pesarean keduanya. Inilah hikmahnya..........

Kesan pada secarik kertas yang ditulis adik-adik Bali pada acara Balinese Camp di atas tadi mengorek luka masa laluku.Luka yang kemudian membuatku kembali teringat pada dia yang kusebut sebagai Bunga Revolusi dalam hidupku. Kehilangan dia sungguh banyak menyusahkan karib kerabatku. Aku akui, aku lemah dalam hal satu ini.Lagi pula siapa sih yang kuat menanggung beban asmara yang bertumpuk-tumpuk karena ditimpuk oleh kejamnya cinta?

Siapapun orangnya, ia pasti takluk di bawah cinta. Ketika cinta datang, hidup jadi merona, namun ketika pergi hidup jadi merana. Cinta memang suatu perasaan yang tumbuh dalam hati dan ditunjukkan tidak dengan kata-kata tapi dengan sikap dan perbuatan. Luka cinta itu pula yang membuatku harus berbagi cerita pada karib kerabatku. Mungkin karena itu, aku dianggapnya menyusahkan dirinya.

Tak apalah. Aku sangat berterima kasih karena ia mau menerima curhatku yang sedikit banyak dapat mengurangi bebanku saat itu. Tak ada satupun manusia yang kuat menanggung beban diputus cinta sendirian. Andapun yang membaca tulisan ini pasti mengiyakannya bukan?. Ketika anda diputus cinta, anda tentu akan mencari teman tempat anda berkeluh kesah, mengadu, mencari solusi bagaimana caranya agar segera bisa melupakan pacar anda. Akupun demikian halnya. Normal. Wajar.

Aku masih ingat saat kata putus itu meluncur keluar dari mulutnya yang suaranya hingga kini masih kurekam. Aku paku kata yang diucapkannya saat itu dalam memori otakku. Bagiku, kata putus darinya hanyalah pelajaran hidup buatku bahwa apa yang kucintai, tidak selamanya bisa kumiliki. Apakah aku membencinya? Apakah kemudian menganggapnya sama dengan perempuan lain yang suka beralih dari cinta yang satu ke cinta lainnya?. Tidak..!!

Aku tidak akan pernah membencinya karena cinta tidak pernah mengajarkanku untuk membenci orang yang kucintai. Walau bagaimanapun perempuan itu telah mengisi hari-hariku dengan penuh warna. Aku ucapkan terima kasih padanya karena telah menerima aku untuk masuk dalam pintu hatinya. Meski hanya sekejap saja.

Surabaya,8 Mei 2012


Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Mas Template
Copyright © 2011. SHOFA AS-SYADZILI - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website | Edited by Arick Evano
Proudly powered by Blogger