LUNTURNYA TRADISI HMI

Minggu, 30 Juni 2013

Sebagai aquarium para intelektual, HMI adalah wadah yang dulunya menyimpan banyak kalangan mahasiswa yang meretas jalan bagi perkembangan pemikiran keislaman keindonesiaan di negeri khatulistiwa ini.  Sumbangsih pemikiran itu tidaklah bisa dianggap remeh. Cak Nur, Dawam Rahardjo, Ahmad Wahib serta masih banyak lagi lainnya adalah sosok pendekar-pendekar yang sumbangsih pemikiran mereka menjadi tapak kaki yang diikuti oleh para penerusnya.

            Mereka menawarkan wacana Islam yang inklusif, tidak rigid, dan mencoba mengguyur masyarakat Islam dengan ajaran-ajaran substansialis Islam. Tema-tema dogmatis dalam Islam tidak menjadi lokus kajian yang menyedot perhatian mereka. Bagi mereka, Islam tidaklah sebatas simbol-simbol yang melekat dan menjerat penganutnya ibarat domba-domba yang tergembalakan. Manusia menurut mereka adalah mahluk yang mempunyai kebebasan untuk berpikir.   

Nama besar mereka yang kini tergurat, terpahat dalam sejarah perjalanan panjang HMI tidaklah didapat dengan mudah. Proses kaderisasi mereka ikuti dan jalani dengan penuh khidmat untuk pengembangan pribadi menuju harapan dan tujuan HMI. Penggemblengan diri mereka lakukan dengan tradisi membaca, menulis, diskusi dan menabalkan dirinya menjadi problem solver bagi persoalan umat dan bangsa. Ketiga tradisi itulah yang kiranya kini mulai luntur, tergerus, mengalami erosi pada diri kader HMI saat ini.

            Sangat sedikit sekali bahkan bisa dihitung dengan jari, kader HMI yang berdiri kukuh tetap tegak berada dan menekuni jalan tradisi membaca. Keengganan untuk menekuni jalan sunyi ini, jalan setapak yang terpengggal dari hingar bingar politik, tetap setia memadu kasih bersama aksara, serta kukuh berpijak pada gagasan pada akhirnya berimbas terhadap pola pikir kader dalam memandang sebuah persoalan. Pola pikir pragmatis menjadi sebuah tradisi baru yang menjadi kiblat kader HMI.

            Budaya membaca buku kader HMI kini mulai hilang ditelan derasnya gempuran modernisasi. Memamah dan mengepik buku kini bukan lagi menjadi gaya hidup kebanyakan kader. Padahal tradisi membaca inilah yang akan mengantar seorang kader menjadi rujukan dari lontaran-lontaran ide yang dimilikinya.

            Tradisi menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan juga mulai menipis. Lembaga profesi, khususnya LAPMI, yang menjadi penjaga gawang untuk tetap melestarikan budaya menulispun jarang dilirik dan dianggap tidak seksi dalam pandangan kebanyakan kader. Padahal, harus diakui, tokoh-tokoh besar HMI semuanya adalah pembaca aktif sekaligus penulis yang menuangkan gagasan-gagasannya ke berbagai media.

            Membaca buku dan realitas sosial kemudian menuliskannya adalah jalan sunyi yang banyak dilakukan kader HMI pada masa keemasan dulu. Kini, jalan itu mulai sunyi, senyap bahkan sunyat. Glamouritas dunia politik dianggap lebih seksi, menggairahkan dan menantang. Padahal, jika ingin menjadi politisipun ia harus memiliki dasar keintelektualan yang mumpuni. Tidak hanya menjadi pemain figuran dalam kontestasi perpolitikan di tanah air tanpa sumbangsih ide dan gagasan apapun. Jika demikian adanya, janganlah kaget, bila kelak HMI akan mulai mengalami krisis intelektual. Bahkan tanda-tanda itu sudah mulai muncul ke permukaan. Tak lagi ada figure di HMI yang menjadi rujukan, tempat bertanya, pasca wafatnya Cak Nur beberapa tahun lalu.

            Forum-forum diskusi di komisariat juga mulai ditinggalkan. Padahal, disinilah jantung dari penanaman ideologisasi HMI. Diskusi bukan lagi menjadi ajang yang menarik untuk melakukan transfer ilmu dan bertarung gagasan secara jantan. Tapi menjadi hal yang langka, tabu bahkan dipertanyakan. Keberanian bertarung gagasan dengan landasan pemikiran yang bernas di berbagai gelanggang ide, dari diskusi kecil hingga besar, inilah yang akan mengantarkan seseorang kader menjadi Insan Cita seperti yang diharapkan dan dicita-citakan oleh pendiri HMI.

Jika melihat perjalanan HMI dari masa ke masa, tokoh-tokoh besar HMI itu lahir karena mereka membudayakan tradisi membaca, menulis juga diskusi. Bila tiga tradisi ini mulai ditanggalkan, diacuhkan bahkan disepelekan, HMI kiranya kelak akan berisi segerombolan manusia yang hanya bisa membebek, membeo pada keadaan. Suatu kondisi kejumudan yang ditentang dalam ajaran HMI.

            Melihat tantangan ke depan yang semakin sulit, bijak kiranya jika tradisi itu mulai digelorakan kembali. Mengajak, menuntun kader pada tiga tradisi itu memang tidaklah ibarat membalikkan telapak tangan. Segenap komponen pengurus HMI dari tingkatan komisariat, Cabang, Badko hingga PB sekalipun punya tanggung jawab yang sama untuk menghidupkan kembali tradisi itu. Tujuannya tentu agar kader HMI siap dalam menghadapi zaman dalam kondisi apapun. Lalu sudah siapkah anda?

*Muhammad Shofa (Aktivis Bakornas LAPMI PB HMI bergiat di DBUKU Bibliopolis Surabaya)
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Mas Template
Copyright © 2011. SHOFA AS-SYADZILI - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website | Edited by Arick Evano
Proudly powered by Blogger