SUATU MASA PENAKLUKAN KONSTANTINOPEL

Jumat, 03 Februari 2012


Di muat di Koran Harian Radar Surabaya, 20 November 2011
Judul Buku : 1453, Detik-Detik Jatuhnya Konstantinopel Ke Tangan Muslim
Penulis : Roger Crowley
Penerjemah : Ridwan Muzir
Penerbit : Pustaka Alvabet
Cetakan : I, 2011
Tebal : 408 hlm. 15 x 23 cm

Dalam sejarah peradaban Islam, Turki pernah menjadi mercusuar kekuasaan dalam dunia Islam yang tak terkalahkan selama beberapa abad. Turki juga sangat disegani oleh bangsa Eropa karena kekuatan militer yang dimiliknya mampu “merampas“ Konstantinopel menjadi bagian dari wilayahnya. Jatuhnya Konstantinopel, kini Istanbul, ke tangan pasukan muslim Turki Utsmani hingga kini masih menyisakan luka yang sangat mendalam bagi Eropa.

Buku ini menguraikan kehadapan mahkamah pembaca proses runtuhnya imperium Byzantium kuno dengan ditaklukkannya Konstantinopel oleh pasukan Turki Utsmani pada tahun 1453. Konstantinopel dulunya adalah pusat peradaban Kristen kedua setelah Roma, namun karena pengepungan selama lima puluh lima hari yang dikomandoi oleh Sultan Mehmet II, kota tetesan surga itu pada akhirnya takluk karena dibombardir dari segala sisi.

Konstantinopel awalnya dibangun oleh orang Yunani yang telah menjadi legenda, Byzas. Terletak di pertemuan dua benua penyumbang peradaban besar dunia, Asia dan Eropa. Dengan celah laut sempit selat Bosporus sebagai jembatannya di sisi bagian Timur, Laut Marmara di sisi selatan, Golden Horn dibagian utara, Konstantinopel menjadi wilayah yang sangat strategis dalam jalur perhubungan laut saat itu. Maka tak heran, jika Konstantinopel selalu menjadi lirikan target penaklukan bangsa-bangsa lain sepanjang sejarahnya.

Tetapi, meski berkali-kali mengalami pengepungan, Konstantinopel selalu lolos dari lubang jarum yang menjeratnya. Lalu apa yang menyebabkan Konstantinopel bisa bertahan dari serangan dan gempuran bangsa-bangsa Barbar ataupun yang beradab, yang berusaha untuk menaklukkannya?. Dan apa strategi dari Sultan Mehmet II hingga bisa menjebol kokohnya pertahanan Konstantinopel?

Buku dengan judul asli 0453, The Holy War For Constantinople and The Class Of Islam and The West ini menjawab dua pertanyaan di atas dengan jelas. Menggunakan style penceritaan novel, Roger Growley begitu apik dalam menggambarkan keberadaan tembok Theodosius, tembok buatan negarawan Romawi abad ke-5, Anthemius.

Tembok berusia seribu tahun ini menjadi benteng pertahanan paling kokoh pada abad tengah yang membentang dari tanah gersang Laut Marmara sampai Golden Horn dan di buat untuk melindungi rakyat Konstantinopel dari berbagai serangan. Bahkan saking pentingnya keberadaan dan keberlangsungan tembok ini, sampai-sampai perawatan terhadap tembok Theodosius menjadi kewajban warga negaranya yang berada dibawah otoritas pejabat khusus dengan menggunakan gelar yang mentereng, “Menteri Pertembokan” (hal.108)

Kelemahan tembok Theodosius hanya ada di dua titik. Pertama, bagian mesotheichion atau bagian tengah yang merentang diantara dua gerbang strategis, Gerbang St. Romanus dan Gerbang Charisian. Kedua, tembok tunggal dan pendek dekat Golden Horn. (hal. 135) Dua titik inilah yang menjadi sasaran gempuran pasukan Turki Utsmani dengan artileri modern meriam Basilica, yang ledakannya ibarat genta kematian pasukan Byzantium.

Meriam Basilica merupakan meriam buatan seorang ahli meriam dari Hunggaria, Urban. Larasnya terbuat dari lempengan perunggu setebal 8 inci, dengan diameter 30 inci yang berfungsi untuk menambah daya ledakan. Meriam raksasa ini memang dirancang khusus agar bisa menampung batu besar seberat setengah ton sebagai pelurunya. Dan inilah cikal bakal super meriam yang selalu dipakai dalam upaya penaklukan Konstantinopel. Meriam ini pulalah yang menjadi sumber bencana jebolnya Tembok Theodosius. (hal 120)

Kelebihan buku ini terletak pada kelihaian penulisnya dalam mengambarkan karakter para tokohnya dengan sangat rinci. Dituturkannya pula kehadapan pembaca seni perang pengepungan, taktik perang samudra, mitos- dan takhayul yang menyelubungi dilakukannya pengepungan terhadap Konstantinopel.

Di luar itu, keunikan buku setebal 408 halaman ini terletak pada sumber-sumber atau referensi yang dijadikan rujukan dalam pembuatannya. Pembaca akan terkejut saat mengetahui bahwa 1453 adalah sejarah yang justru banyak di tulis oleh pihak yang mengalami kekalahan, bukan oleh pihak pemenang.

Penulisan kembali sejarah ditaklukkannya Konstantinopel ini, kata Roger Crowley, hanyalah untuk membangun versi cerita yang lebih kokoh dibanding yang pernah ada sebelumnya. Dengan ketelitiannya, Roger Crowley memilih dan memilah sumber-sumber yang dijadikan sandaran dalam penyusunan buku ini. Sebab, bagi Roger Crowley, setiap penulis sejarah punya sudut pandang dan motif sendiri-sendiri dalam sejarah yang dia tulis. Dan hal inilah yang membuat kita harus hati-hati dalam membaca klaim dan kepentingan khusus yang dusungnya.

Pernyataan Roger Crowley ini membuat saya teringat dengan perkataan Louis Gotschalk yang menyatakan bahwa upaya merekonstruksi sejarah secara utuh adalah suatu kemustahilan, sebab sejarah bersifat lampau. Yang ada adalah mengumpulkan serpihan-serpihan sejarah yang berserak. Dengan demikian, untuk selanjutnya selamat membaca.

Peresensi Mahasiswa Theologi & Filsafat IAIN Sunan Ampel, bergiat di DBUKU Bibliopolis Surabaya
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Mas Template
Copyright © 2011. SHOFA AS-SYADZILI - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website | Edited by Arick Evano
Proudly powered by Blogger