MEMBANGKITKAN SEMANGAT KEPAHLAWANAN

Jumat, 03 Februari 2012


( Di muat di Radar Surabaya, 09 November 2011)

Berbicara tentang Hari Pahlawan tentu tak lepas dari heroisme yang ditunjukkan oleh rakyat Surabaya saat perang pasca kemerdekaan. Pekikan “Merdeka atau Mati”, seakan-akan menjadi dzikir penyemangat untuk mengusir penjajah dari bumi pertiwi. Ribuan pejuang rela menyetorkan nyawa hanya demi arti sebuah kemerdekaan, sebuah kebebasan. Kemerdekaan dan kebebasan untuk berdaulat, mandiri dalam mengurus negeri sendiri.

Semangat juang yang ditunjukkan oleh para pahlawan setidaknya sudah memberikan bukti, bahwa kini tidak ada lagi penjajah di negeri ini. Namun hal itu bukanlah berarti penjajahan dalam bentuk yang berbeda juga tidak ada. Bahkan rupanyapun sudah beralih lebih menyeramkan dari sekedar penjajahan dalam bentuk fisik. Tanpa disadari, negara ini butuh pahlawan-pahlawan baru yang bisa membebaskan diri dari ratusan bahkan ribuan belitan persoalan.

Sudah kita pandangi bersama, bagaimana nasib saudara kita di Papua yang mencoba mengais rezeki diantara sisa-sisa emas yang lebih dulu di keruk dan di hisap oleh Freeport. Lalu bagaimana pula dengan nasib para TKI yang menunggu antrean panjang untuk di pancung negara tetangga yang mengaku paling Islami. Lalu bagaimana pula dengan bangkitnya kembali para koruptor yang mencoba untuk menggerogoti kekayaan negara secara diam-diam. Potret buram negeri ini sepertinya tak akan ada cerita akhirnya

Tak terhitung sudah keberapa kalinya, Hari Pahlawan diperingati. Tak terhitung pula, berapa kali semangat yang ditunjukkan oleh para pahlawan itu hilang, terkikis sedikit demi sedikit bahkan habis sama sekali dalam benak kesadaran.

Nilai-nilai emas kepahlawanan itu kini terkubur dalam-dalam akibat derasnya gempuran globalisasi. Sudah saatnya semangat kepahlawanan yang mulai luntur dan bahkan hilang itu harus segera di gali kembali. Di gali dengan menggunakan cangkul optimisme dan pupuk keihlasan tanpa pamrih yang harus tetap berkobar dalam dada. Sebab keihklasan dan berjuang tanpa pamrihlah yang kini mulai hilang di telan zaman.

Motivasi, greget serta semangat juang arek-arek suroboyo pada 10 November 1945 haruslah segera dibangkitkan lagi. Agar jalannya negara ini tidak oleng, tidak karam disebabkan karena ego pribadi yang tak bisa di tahan. Ego untuk*memupuk kekayaan di atas kemiskinan rakyat, ego kebengisan aparat yang menembak mati manusia-manusia tak berdosa di Aceh, Papua dan di Sidoarjo. Jika yang demikian ini tidak dihilangkan, maka jangan berharap kemerdekaan sejati bisa diraih.

Cobalah untuk mengingat kembali sejarah yang ditorehkan oleh para pejuang saat Urban Guerilla Warfare atau perang yang dilakukan di dalam kota. Dalam Seratus Hari Di Surabaya Yang Menggemparkan Indonesia, Roeslan Abdul Gani menggambarkan bagaimana hancurnya Surabaya dibombardir tentara sekutu yang di pimpin oleh Jenderal Mansergh. Lebih dari 16.000 korban jiwa tewas dalam peperangan tersebut. Anak-anak, pemuda, kaum bapak-ibu rela untuk menjadi martirnya.

Nah, melihat hal itu, bukanlah sebuah kekeliruan jika pemimpin di negeri ini mencoba untuk mengambil pelajaran yang ada dalam karya Roeslan Abdul Gani itu. Yakni keberanian pemimpin Indonesia saat ini untuk tidak menjual aset negara ke pihak asing. Sudah jamak di ketahui, pengelolaan asset sumber daya alam di negeri ini banyak dikuasai oleh Asing. Bisa disebut di sini PT. New Mont, Freeport, Danone, tambang minyak Exxon dan Caltex.

Melalui perusahaan-perusahaan yang bercokol di bumi pertiwi itulah, mereka berusaha untuk mengontrol kebijakan negara. Inilah yang kemudian menyebabkan kedaulatan negeri ini tergadaikan. Negeri ini jadi tidak memiliki nilai tawar yang tinggi, sebab semuanya sudah terkepung dan jadi milik asing.

Kehadiran seorang pemimpin yang mempunyai integritas serta pemikiran luas demi kesejahteraan rakyat, sosok semacam inilah yang dibutuhkan keberadaannya dalam negeri ini. Tidak hanya itu , pemimpin itu juga harus mempunyai keberanian untuk menolak segala peran serta asing yang mencoba mengusik kedaulatan negara.

Bila sudah seperti itu, Ibu pertiwi sepertinya akan tetap menyunggingkan senyum penuh makna. Makna bahwa nilai-nilai dan semangat kepahlawanan itu akan tetap ada dalam ribuan bahkan jutaan generasi yang mempunyai mimpi Indonesia merdeka seutuhnya. Merdeka secara ekonomi, politik, pendidikan dan kesehatan.

Negara ini sungguh sangat sangat membutuhkan pemimpin yang berjiwa seperti Hatta, Sjahrir, dan Haji Agus Salim. Cermin integritas sudah mereka buktikan dan tunjukkan. Dengan integritas yang dimilikinya, Hatta tetap menggunakan bahasa Indonesia dalam prosesi penyerahan kedaulatan pada tahun 1949 di Belanda. Saat itu, Bung Hatta dengan bangganya berpidato menggunakan bahasa Indonesia di negeri orang. Tak ada secuilpun rasa malu, atau rendah diri sekalipun meski Ratu Belanda, Ratu Juliana, berpidato dengan menggunakan bahasa Belanda.

Maka untuk saat ini, kitalah yang harus menjawabnya. Tidak dengan membuang-buang waktu sambil melakukan hal-hal yang tidak berguna, tapi mengisi kemerdekaan ini dengan hal-hal yang positif dan konstruktif. Menyingsingkan lengan baju bersama mengangkat semua persoalan yang melilit bangsa ini dengan kerja dan karya nyata. Agar nantinya gambaran Indonesia merdeka seutuhnya bisa diwujudkan dalam kenyataan. Amien.

*Aktivis HMI Cabang Surabaya, bergiat di Bengkel Menulis Bibliopolis.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Mas Template
Copyright © 2011. SHOFA AS-SYADZILI - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website | Edited by Arick Evano
Proudly powered by Blogger