PEMBUNUH GILA PENYUSUN KAMUS LEGENDA

Jumat, 03 Februari 2012


Judul Buku : The Profesor And The Mad Man
Penulis : Simon Winchester
Penerjemah : Bernard Hidayat
Penerbit : PT.Serambi Ilmu Semesta
Cetakan : Kedua, Maret 2007
Tebal : xiii 341 hal

Terkejut. Mungkin itulah yang akan timbul dalam benak pembaca kala menelusuri kata demi kata, kalimat demi kalimat yang dihamparkan oleh buku berjudul The Profesor And The Mad Man ini. Bagaimana tidak, dalam buku ini diceritakan bahwa kamus legenda terlengkap dalam mengkodifikasikan bahasa Inggris, yaitu kamus Oxford English Dictionary, ternyata penyusunnya adalah orang-orang yang memiliki masa lalu yang kelam.

Kamus yang menjadi rujukan paling otoritatif para ilmuwan, cendikiawan, filsuf dan pakar hukum itu dikerjakan oleh James Murray selaku ketua tim penyusunnya. Putra dari seorang penjahit dan pedagang kain ini ternyata tidak mampu menyelesaikan studynya di Grammar School, semacam sekolah rakyat kalau di Indonesia.

Sosok kedua dibalik suksesnya penyusunan kamus itu adalah Willliam Chester Minor. Ia adalah pasien Rumah Sakit Jiwa Kriminal Broadmoor yang mengidap penyakit Dementia paranoiac. Penyakit ini merupakan nama sebuah penyakit kejiwaan yang korbannya mengalami delusi berupa perasaan dianiaya.

Buku yang di tulis oleh Simon Winchester ini begitu apik mengisahkan seluk beluk penyusunan kamus terbesar itu. Kisah dalam buku ini diawali saat terjadinya pembunuhan atas diri George Merret oleh William C. Minor di jalanan Lamberth Mars, satu-satunya distrik di London yang terkenal angker, kumuh, dan identik dengan aksi kekerasan dan pembunuhan.

Sang pembunuh sendiri merupakan seorang mantan kapten perwira Angkatan Darat atau U.S. Army berkebangsaan Amerika. Ia berasal dari keluarga golongan aristokrat teratas di Amerika. Kedatangannya ke Inggris adalah dalam rangka menenangkan diri dan pikirannya atas berbagai persoalan masa lalunya yang kelam. Bertugas sebagai ahli bedah dalam satuannya saat perang saudara, Minor menjadi saksi mata kekejian atas nama perang tersebut.

Saat kondisi perang waktu itu, sangat dilarang apa bila ada salah satu dari pasukan itu berusaha melarikan diri atau desersi dari tanggung jawab yang diembannya. Bila diketahui, maka hukumannya adalah pipinya dicap dengan besi panas yang masih membara. Dan Minor-lah yang bertugas mencap apabila terdapat salah satu pasukan yang berusaha kabur dari tugasnya.

Akibat dari tugas yang diembannya itu, bayang-bayang penyiksaan pada Orang Irish terus membuntutinya. Hingga Minor merasa tertekan dan ketakutan. Takut akan balas dendam yang dilakukan orang-orang Irish yang disiksanya saat perang. Hingga akhirnya Minor dipensiunkan dari kemiliteran dengan alasan kesehatannya yang terganggu. Tepat saat malam kejadian, Minor mendadak bangun dari tidurnya. Minor merasa ada bayang-bayang seseorang di bawah ranjangnya dan lari keluar dari rumahnya. Tanpa pikir panjang diambilnyalah pistol yang ia letakkan di bawah bantal tidurnya lalu mengejar orang tersebut.

Tak disangka dan tak di duga, George Merret yang saat itu berangkat kerja lari tunggang langgang karena melihat Minor yang menenteng senapan. Dengan berteriak Minor yakin bahwa pria itulah yang barusan masuk ke kamar yang ditempatinya. Tanpa pikir panjang Minor menembaknya dengan tembakan yang tepat mengenai dada George Merret. Hal itulah yang menyebabkan Minor di penjara di Rumah Sakit Jiwa Kriminal Broadmoor dengan status “kriminal gila terdaftar”.

Dipenjaranya William Chester Minor ini tidak sama dengan dengan pelaku kejahatan lainnya. Minor masih mendapatkan pelayanan dan fasilitas yang mewah. Ia ditempatkan di blok 2. Blok khusus bagi orang-orang hebat dan istimewa. Sebab ia mempunyai status sosial dan tingkat pendidikan yang tinggi. Di dalam penjara inilah Minor memuaskan dahaga intelektualnya dengan membawa dan membaca buku-buku yang dimilikinya. Baik buku lama maupun buku baru.

Perlakuan istimewa yang didapatnya tak disia-siakan olehnya. Minor pada akhirnya menulis sepucuk surat pada Eliza Merret, istri dari George Merret yang dibunuhnya. Minor merasa bersalah dan menyesal atas tindakannya membunuh George Merret. Dan ia menyatakan kesediannya untuk membantu segala kebutuhan hidup Eliza Merret dan anak-anaknya. Namun Minor berharap agar Eliza Merret bersedia membawakannya buku-buku yang dipesannya di luar sana.

Dari sinilah Minor menemukan selebaran yang dipublikasikan oleh James Murray dalam proyek prestisiusnya menyusun kamus. Surat menyurat dua manusia jenius ini berlangsung hingga beberapa tahun dalam rangka penyusunan kamus itu. Dan anehnya keduanya belum pernah bertatap muka sama sekali. James Murray-pun tak mengetahui bahwa William Chester Minor adalah pasien pada penjara rumah sakit jiwa,

Dengan tekunnya Minor menyalin kata-kata yang terdapat dalam buku-buku abad ke – 17 pada lembaran kertasnya. Namun hingga lebih tiga tahun, hasil kata-kata yang didapatnya belum satupun yang dikirimnya ke Scriptorium. Strategi yang digunakannya memang cukup jitu. Kumpulan kertas berisi ribuan kata yang sudah menumpuk dalam sel penjara itu dikirmnya beberapa tahun kemudian.

Strategi yang digunakannya adalah dengan menyurati tim kamus dan bertanya huruf atau kata apa yang sedang di garap. Setelah di beri balasan surat, segeralah Minor menyusun indeks sesuai dengan notasi nomor halamann dari buku-buku itu. Lalu dikirimilah beberapa ribuan kata yang sudah tertata rapi ke Scritorium bahasa tersebut.

Menjadi suatu keganjilan tersendiri bagi para petugas Sriptorium pusat bahasa, saat tahu betapa sosok tak dikenal itu mempunyai sumber yang luar biasa kaya. Dan anehnya, tak satupun yang tahu tentang Minor. Yang mereka ketahui hanyalah hasil kerjanya spektakuler, cepat dan cemerlang.

Buku setebal 341 halaman ini selain mengisahkan proses pembuatan kamus Oxford, juga menyuguhkan arti sebuah persahabatan. Persahabatan yang disatukan karena menelusuri jalan keintelektualan. Dua sosok manusia, James Murray dan William Chester Minor, menggambarkan pada kita semua bahwa sahabat bisa menjadi saudara sendiri.

Buku ini setidaknya memberikan sebuah gagasan baru tentang arti dari sebuah kata-kata, sebuah bahasa. Sebab bahasa yang sebenarnya milik masyarakat umum, kini cenderung diremehkan dan diabaikan dengan adanya “polisi bahasa”. Dari buku ini kita semua bisa belajar bahwa bahasa juga menjadi penentu dari peradaban suatu bangsa. Selamat membaca.

*Penulis Mahasiswa Theologi & Filsafat IAIN Sunan Ampel dan aktif di DBUKU Bibliopolis Surabaya.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Mas Template
Copyright © 2011. SHOFA AS-SYADZILI - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website | Edited by Arick Evano
Proudly powered by Blogger