Di muat di Koran Harian Radar Surabaya, Minggu, 21 Agustus 2011
Sebuah teks tidak turun dalam ruang hampa, banyak sekali faktor yang melingkupinya. Begitu pula dengan Al-Qur’an. Al-Qur’an hadir kemuka bumi untuk merespons segala persoalan hidup manusia yang terus bergerak. Perubahan yang terus menerus berputar mengharuskan Al-Qur’an untuk memberikan jawaban atas berbagai poblematika kemanusiaan. Maka dari itu, teks Al-Qur’an bukanlah monument mati yang tak tersentuh. Al-Qur’an haruslah shalih li kulli makan wa zaman, sesuai dengan segala tempat dan keadaan.
Salah seorang pemikir Islam berkebangsaan Mesir, Nashr Hamid Abu Zaid pernah mengutip pendapat Sayyidina Ali RA yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah teks yang diam, dan manusialah yang bertugas untuk membuatnya hidup dan berbicara dengan realitas. Tampak terlihat peran sentral teks dalam pengembangan dasar-dasar peradaban manusia. Hingga Nasr Hamid Abu Zaid mengatakan bahwa peradaban Islam adalah peradaban teks.
Nah, berdasar hal itulah essai ini hadir dalam rangka menyentil kesadaran kita semua, juga sebagai wahana untuk berdialektika antara penulis dengan pembaca. Sebagaimana dikisahkan dalam beberapa literature sejarah bahwa sekitar empat belas abad yang lalu tepatnya di Gua Hira, terjadi sebuah peristiwa turunnya wahyu pertama. Dalam peristiwa itu terjadi sebuah dialog antara mahluk langit, Jibril, dengan mahluk bumi, Muhammad. Dipeluknya Muhammad hingga tak bisa bernafas, kemudian dibisikkannya sebuah kata, iqra’. Muhammad yang ummi, tidak bisa baca tulis, tentu saja mengalami kegagapan saat itu. Dengan lugunya Muhammad menjawab, “maa anaa biqirooatii, saya tidak bisa membaca”.
Hal demikian selalu diulangi lagi oleh Jibril hingga tiga kali, jawaban Muhammad selalu sama dengan sebelum-sebelumnya. “Maa anaa biqirooatii. Aku tidak bisa membaca”. Kemudian dituntunlah Muhammad untuk membaca lima ayat pertama dari surat al-‘Alaq.
Kata iqra’ dalam gramatikal bahasa Arab adalah sebuah kata fi’il, kata kerja yang mengandung makna perintah atau fi’il amar. Maka sudah barang tentu, ketika ada perintah, hukumnya wajib dilaksanakan. Apalagi perintah itu berasal dari Tuhan. Makna iqra’ secara hakiki sangatlah luas sekali. Membaca, merupakan sebuah proses transfer ilmu pengetahuan yang menggunakan kesadaran manusia dalam melihat konteks realitas yang ada disekitarnya. Jadi, membaca disini, bukan hanya membaca buku saja, tapi juga membaca konteks yang ada di sekitar kita. Termasuk pula membaca diri sendiri. Kepandaian kita dalam membaca diri sendiri akan menghantarkan kita mengenal lebih dekat kepada Tuhan.
Perintah membaca inilah yang sering kali “dilupakan” oleh sebagian besar umat Islam. Mayoritas umat Islam beranggapan, membaca bukanlah sebuah ibadah layaknya sholat, zakat dan puasa. Padahal, jika kita kembali menelisik lagi ayat pertama yang turun tersebut, kata Iqra’ yang merupakan bentuk fiil amar, sama dengan kalimat aqimis sholah tegakkanlah sholat.Jadi bagi penulis, membaca adalah kewajiban yang harus dijalani layaknya sholat, puasa dan zakat.
Contoh kecil bisa penulis ajukan, dimana keberhasilan Muhammad dalam menyiarkan Islam di jazirah Arab tak lepas dari proses pembacaan dirinya tehadap realitas yang ada disekitarnya. Realitas yang mengitari Muhammad pada saat itu dipenuhi dengan prilaku yang tidak manusiawi. Kaum perempuan benar-benar berada dalam keterkungkungan pada masa itu. Kalaupun ada sebuah keluarga yang melahirkan seorang anak perempuan, maka seketika itu juga bayi kecil mungil tersebut ditimbun, di kubur hidup-hidup. Kondisi hidup nomaden membuat mereka berpikiran, bahwa anak perempuan hanya akan menyulitkan saat terjadi peperangan dengan suku lain. Penghormatan terhadap kaum perempuanlah yang membuat ajaran yang di bawa Muhammad mendapat tempat di hati suku-suku wilayah jazirah Arab. Muhammad membongkar semua pemahaman keagamaan dan prilaku hidup masyarakat Arab masa itu dengan jeli dan cerdas.
Lagi pula maju dan berkembangnya Islam menjadi mercusuar peradaban dunia pada abad pertengahan, tak lepas dari proses pembacaan terhadap realitas masa lalu yang didapat dari karya-karya klasik Yunani yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Nuansa intelektual semakin menyuntikkan semangat para intelektual untuk menghasilkan penemuan yang berarti bagi manusia. Tak terhitung berapa banyaknya ilmuwan-ilmuwan Islam yang lahir pada masa itu.
Hal inilah kemudian, yang menarik minat orang-orang Barat untuk belajar pada dunia Islam. Tak berselang lama, Barat yang sudah memperoleh apa yang didapatkannya di dunia Islam mengembangkan apa yang diperolehnya itu dinegaranya masing-masing. Peradaban dunia yang pada mulanya berada di dunia Islam menjadi beralih ke dunia Barat hingga kini. Meskipun pada akhirnya Barat mengidap penyakit narsisisme dengan tidak mengakui sumbangsih Islam terhadap kebudayaan dan peradaban yang mereka bangun.
Jika di tarik dalam konteks kekinian, khususnya di negara kita, jangankan untuk melakukan gerakan penerjemahan besar-besaran, melakukan proses pembacaan terhadap realitas saja bisa dikatakan sangatlah minim. Ini menyebabkan budaya baca masyarakat Indonesia berada di rating paling bawah di wilayah Asia Timur.
Kesadaran akan pentingnya iqra’, perintah membaca yang hukumnya sama dengan ibadah sholat, puasa dan zakat, selayaknya mulai digalakkan. Agar nantinya, masyarakat semakin berpikir terbuka dalam melihat sesuatu. Sebab membaca sendiri merupakan solusi dalam memecahkan berbagai persoalan. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Shindunata “membaca adalah kaki manusia, makin gemar dalam membaca makin kokoh dan kuat pertahanan kakinya”. Kuatnya pertahanan kaki, akan membuat tidak mudah terjatuh dan dijatuhkan. Tidak mudah dikibuli dan dipermainkan. Tidak gampang pula dibujuk oleh rayuan manis politisi karbitan yang hadir tiap momen pemilu. Maka jika sudah seperti itu, makin teranglah masa depan yang akan dilaluinya.
*Mahasiswa Theologi dan Filsafat IAIN Sunan Ampel Surabaya, dan Koordinator Komunitas Pemikir Islam (KOPI CANGKIR).
Sebuah teks tidak turun dalam ruang hampa, banyak sekali faktor yang melingkupinya. Begitu pula dengan Al-Qur’an. Al-Qur’an hadir kemuka bumi untuk merespons segala persoalan hidup manusia yang terus bergerak. Perubahan yang terus menerus berputar mengharuskan Al-Qur’an untuk memberikan jawaban atas berbagai poblematika kemanusiaan. Maka dari itu, teks Al-Qur’an bukanlah monument mati yang tak tersentuh. Al-Qur’an haruslah shalih li kulli makan wa zaman, sesuai dengan segala tempat dan keadaan.
Salah seorang pemikir Islam berkebangsaan Mesir, Nashr Hamid Abu Zaid pernah mengutip pendapat Sayyidina Ali RA yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah teks yang diam, dan manusialah yang bertugas untuk membuatnya hidup dan berbicara dengan realitas. Tampak terlihat peran sentral teks dalam pengembangan dasar-dasar peradaban manusia. Hingga Nasr Hamid Abu Zaid mengatakan bahwa peradaban Islam adalah peradaban teks.
Nah, berdasar hal itulah essai ini hadir dalam rangka menyentil kesadaran kita semua, juga sebagai wahana untuk berdialektika antara penulis dengan pembaca. Sebagaimana dikisahkan dalam beberapa literature sejarah bahwa sekitar empat belas abad yang lalu tepatnya di Gua Hira, terjadi sebuah peristiwa turunnya wahyu pertama. Dalam peristiwa itu terjadi sebuah dialog antara mahluk langit, Jibril, dengan mahluk bumi, Muhammad. Dipeluknya Muhammad hingga tak bisa bernafas, kemudian dibisikkannya sebuah kata, iqra’. Muhammad yang ummi, tidak bisa baca tulis, tentu saja mengalami kegagapan saat itu. Dengan lugunya Muhammad menjawab, “maa anaa biqirooatii, saya tidak bisa membaca”.
Hal demikian selalu diulangi lagi oleh Jibril hingga tiga kali, jawaban Muhammad selalu sama dengan sebelum-sebelumnya. “Maa anaa biqirooatii. Aku tidak bisa membaca”. Kemudian dituntunlah Muhammad untuk membaca lima ayat pertama dari surat al-‘Alaq.
Kata iqra’ dalam gramatikal bahasa Arab adalah sebuah kata fi’il, kata kerja yang mengandung makna perintah atau fi’il amar. Maka sudah barang tentu, ketika ada perintah, hukumnya wajib dilaksanakan. Apalagi perintah itu berasal dari Tuhan. Makna iqra’ secara hakiki sangatlah luas sekali. Membaca, merupakan sebuah proses transfer ilmu pengetahuan yang menggunakan kesadaran manusia dalam melihat konteks realitas yang ada disekitarnya. Jadi, membaca disini, bukan hanya membaca buku saja, tapi juga membaca konteks yang ada di sekitar kita. Termasuk pula membaca diri sendiri. Kepandaian kita dalam membaca diri sendiri akan menghantarkan kita mengenal lebih dekat kepada Tuhan.
Perintah membaca inilah yang sering kali “dilupakan” oleh sebagian besar umat Islam. Mayoritas umat Islam beranggapan, membaca bukanlah sebuah ibadah layaknya sholat, zakat dan puasa. Padahal, jika kita kembali menelisik lagi ayat pertama yang turun tersebut, kata Iqra’ yang merupakan bentuk fiil amar, sama dengan kalimat aqimis sholah tegakkanlah sholat.Jadi bagi penulis, membaca adalah kewajiban yang harus dijalani layaknya sholat, puasa dan zakat.
Contoh kecil bisa penulis ajukan, dimana keberhasilan Muhammad dalam menyiarkan Islam di jazirah Arab tak lepas dari proses pembacaan dirinya tehadap realitas yang ada disekitarnya. Realitas yang mengitari Muhammad pada saat itu dipenuhi dengan prilaku yang tidak manusiawi. Kaum perempuan benar-benar berada dalam keterkungkungan pada masa itu. Kalaupun ada sebuah keluarga yang melahirkan seorang anak perempuan, maka seketika itu juga bayi kecil mungil tersebut ditimbun, di kubur hidup-hidup. Kondisi hidup nomaden membuat mereka berpikiran, bahwa anak perempuan hanya akan menyulitkan saat terjadi peperangan dengan suku lain. Penghormatan terhadap kaum perempuanlah yang membuat ajaran yang di bawa Muhammad mendapat tempat di hati suku-suku wilayah jazirah Arab. Muhammad membongkar semua pemahaman keagamaan dan prilaku hidup masyarakat Arab masa itu dengan jeli dan cerdas.
Lagi pula maju dan berkembangnya Islam menjadi mercusuar peradaban dunia pada abad pertengahan, tak lepas dari proses pembacaan terhadap realitas masa lalu yang didapat dari karya-karya klasik Yunani yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Nuansa intelektual semakin menyuntikkan semangat para intelektual untuk menghasilkan penemuan yang berarti bagi manusia. Tak terhitung berapa banyaknya ilmuwan-ilmuwan Islam yang lahir pada masa itu.
Hal inilah kemudian, yang menarik minat orang-orang Barat untuk belajar pada dunia Islam. Tak berselang lama, Barat yang sudah memperoleh apa yang didapatkannya di dunia Islam mengembangkan apa yang diperolehnya itu dinegaranya masing-masing. Peradaban dunia yang pada mulanya berada di dunia Islam menjadi beralih ke dunia Barat hingga kini. Meskipun pada akhirnya Barat mengidap penyakit narsisisme dengan tidak mengakui sumbangsih Islam terhadap kebudayaan dan peradaban yang mereka bangun.
Jika di tarik dalam konteks kekinian, khususnya di negara kita, jangankan untuk melakukan gerakan penerjemahan besar-besaran, melakukan proses pembacaan terhadap realitas saja bisa dikatakan sangatlah minim. Ini menyebabkan budaya baca masyarakat Indonesia berada di rating paling bawah di wilayah Asia Timur.
Kesadaran akan pentingnya iqra’, perintah membaca yang hukumnya sama dengan ibadah sholat, puasa dan zakat, selayaknya mulai digalakkan. Agar nantinya, masyarakat semakin berpikir terbuka dalam melihat sesuatu. Sebab membaca sendiri merupakan solusi dalam memecahkan berbagai persoalan. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Shindunata “membaca adalah kaki manusia, makin gemar dalam membaca makin kokoh dan kuat pertahanan kakinya”. Kuatnya pertahanan kaki, akan membuat tidak mudah terjatuh dan dijatuhkan. Tidak mudah dikibuli dan dipermainkan. Tidak gampang pula dibujuk oleh rayuan manis politisi karbitan yang hadir tiap momen pemilu. Maka jika sudah seperti itu, makin teranglah masa depan yang akan dilaluinya.
*Mahasiswa Theologi dan Filsafat IAIN Sunan Ampel Surabaya, dan Koordinator Komunitas Pemikir Islam (KOPI CANGKIR).
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !