Di muat di Koran Karian Radar Surabaya, Minggu 10 Juli 2011
Judul Buku : Nietzsche Berdamai Dengan Islam
Penulis : Ian Almond
Penerbit : Penerbit Kepik Ungu
Cetakan : I, April 2011
Tebal : xxxiv+ 106 Hal
ISBN : 978-602-98350-3-8
Pasca serangan 11 September oleh teroris yang memakai jubah Islam dalam gerakannya, Islam menjadi sesuatu yang menarik untuk diamati, dicermati dan dikaji oleh para ilmuwan Barat. Islam dan Barat selalu saja dipertentangkan, di-oposisi binerkan. Hingga tak jarang sering terjadi konflik laten diantara keduanya. Tesis Samuel Huntington dalam sebuah karyanya Clash of Civilization tentang benturan dua peradaban besar, Islam dan Barat, menjadikan Islam semakin tersudut saat terjadi gerakan dan aksi teror.
Tewasnya gembong teroris Osama Bin Laden tentunya akan memantik kembali benih-benih kebencian kaum radikal fundamentalis dalam Islam. Wajah Islam yang ditunjukkan kalangan ini memang terkesan angker, sangar. Wajah demikianlah yang membuat Edward Said menuduh Islam sebagai agama kaum primitif, kolot, tidak demokratis.
Melihat hal itu, mungkinkah Islam bisa bersanding mesra dalam horison pemikiran para tokoh filosof Barat yang berada pada bangku terdepan postmodern? Inilah pertanyaan yang coba untuk di jawab oleh lulusan Universitas Edinburgh, Ian Almond, dalam buku ini.
Buku berjudul asli The New Orientalist : Postmodern Representations of Islam From Foucault to Baudrillard ini, mencoba mengaitkan Islam dengan beberapa filosof Barat yang terkenal sebagai gembongnya pemikir Barat. Ada enam tokoh filosof dan tiga satrawan yang coba untuk di ulas pemikirannya tentang Islam dalam buku ini. Enam filosof itu diantaranya Nietzsche, Foucault, Derrida, Julia Kristeva, Baudrillard serta filosof eksentrik yang lagi ngetrend saat ini, Slavoj Zizek.
Sedangkan tiga satrawan lainya yang coba di bahas pemikirannya oleh Almond adalah Orhan Pamuk (Penulis Turki), Jorge Luis Borges (Penulis Agentina) dan penulis buku The Satanic Verses, Salman Rushdie.
Salah satu hal menarik yang terdapat dalam buku ini adalah sayatan-sayatan Almond dalam upaya mengupas pemikiran tokoh dengan sabda The God Is Dead-nya yang menggemparkan dunia pemikiran. Tokoh tersebut adalah Friedrich Wilhelm Nietzsche.
Nietzsche dilahirkan di sebuah kota kecil Jerman, Rocken bei Lutzen, Leipzig pada tanggal 15 oktober 1844. Ia merupakan filsuf legendaris Jerman paling provokatif yang identik dengan atheisme dan gerakan anti agama. Filsuf berkumis tebal ini juga menjadi sosok avant garde aliran filsafat eksistensialis. Tak heran jika ia mendapat julukan biang atheis, ‘mbah’-nya skeptis nihilis serta sang penjagal Tuhan.
Meskipun Nietzsche seorang anti agama, namun anehnya saat diajukan pilihan antara dua agama, Islam dan Kristen, Yahudi dan Arab, Nietzsche lebih cenderung memilih Islam dan Arab. Karena bagi Nietzsche, Islam adalah agama maskulin, agama dari produk kelas yang berkuasa. Dalam artian Islam tidak malu untuk mengakui naluri kelelakian semisal untuk berperang, hasrat untuk berkuasa serta meletakkan perempuan pada posisinya.
Rasa simpatik Nietzsche terhadap Islam, menurut Almond, disebabkan karena dua hal. Pertama, untuk memahami diri sendiri dengan lebih baik. Sebagai seorang eksistensialis, ia beranggapan Islam adalah suatu hal baru yang harus dipelajari. Meskipun Islam bisa di sebut sebagai “tema pinggiran” dalam semesta pemikirannya, akan tetapi memahami Islam, menurut Nietzsche, bisa membuat pemahaman yang lebih baik tentang diri sendiri.
Kemudian alasan kedua yang menjadi faktor ketertarikan Nietzsche terhadap Islam, disebabkan ketidaknyamanannya terhadap kebudayaan Jerman. Sejarah mencatat bahwa tidak hanya Nietzsche saja yang merasa fobia dengan kebudayaannya sendiri. Salah seorang penyair Jerman, Heine, pun demikian halnya. Bedanya, kalau Heine mengutuk orang Jerman sebagai manusia Bar-bar dan orang Persia sebagai kalangan beradab.
Dalam buku setebal 106 halaman ini, Almond juga menyuguhkan kepada pembaca perbedaan Nietzsche dengan para Orientalis lain yang mengkaji Islam. Perbedaan itu terletak pada penggunaan citra-citra gelap olehnya. Citra gelap yang melekat pada Islam diantaranya kurang modern, hierarkis, kurang demokratis, serta bersifat militeristik. Citra gelap itulah yang digunakan oleh para pengkaji Islam di Barat untuk menyudutkan Islam.
Bedanya, citra gelap Islam itu oleh Nietzsche malah dijadikan senjata untuk mendobrak klaim-klaim universal kekristenan dan modernitas Eropa. Maka tak heran dalam sebuah karyanya The Antichrist, Nietzsche dengan lantang bersuara “ Perang hingga titik darah penghabisan dengan Roma. Damai dan persahabatan dengan Islam”.
Membaca pemikiran Nietzsche, ibarat berjalan menyusuri tebing nan curam. Penuh tanjakan dan duri-duri jebakan. Adakalanya pemikiran yang dilontarkannya berwajah ganda, bias serta penuh kritikan pedas terhadap agama. Namun bila ditelisik lebih jauh lagi karya-karyanya, Nietzsche, sebagaimana yang dikatakan oleh Tyler T. Robert, berada di posisi tengah-tengah antara pemikir agama dan anti agama.
Meskipun buku ini oleh Zacky Khairul Umam dalam tulisan esai pembukanya hanya di anggap semacam kegenitan intelektual Almond saja, disebabkan karena kapasitas tiga tokoh filosof yang di bahas didalamnya tidak memahami bahasa dan sastra di Timur Tengah. Baik bahasa Arab, Persia, Turki serta Ibrani. Namun hal itu tidak mengurangi nilai buku ini untuk di baca oleh para penggelut dunia pemikiran.
Setidaknya para pembaca akan memperoleh satu pengetahuan bahwa Islam tetaplah tema seksi yang akan selalu diperbicangkan oleh kalangan filosof Barat. Demikianlah kewarna-warnian Islam dalam horison pemikiran para filosof Barat.
*Peresensi Mahasiswa Theologi & Filsafat IAIN Sunan Ampel, Bergiat Di Bengkel Menulis Bibliopolis Surabaya.
Judul Buku : Nietzsche Berdamai Dengan Islam
Penulis : Ian Almond
Penerbit : Penerbit Kepik Ungu
Cetakan : I, April 2011
Tebal : xxxiv+ 106 Hal
ISBN : 978-602-98350-3-8
Pasca serangan 11 September oleh teroris yang memakai jubah Islam dalam gerakannya, Islam menjadi sesuatu yang menarik untuk diamati, dicermati dan dikaji oleh para ilmuwan Barat. Islam dan Barat selalu saja dipertentangkan, di-oposisi binerkan. Hingga tak jarang sering terjadi konflik laten diantara keduanya. Tesis Samuel Huntington dalam sebuah karyanya Clash of Civilization tentang benturan dua peradaban besar, Islam dan Barat, menjadikan Islam semakin tersudut saat terjadi gerakan dan aksi teror.
Tewasnya gembong teroris Osama Bin Laden tentunya akan memantik kembali benih-benih kebencian kaum radikal fundamentalis dalam Islam. Wajah Islam yang ditunjukkan kalangan ini memang terkesan angker, sangar. Wajah demikianlah yang membuat Edward Said menuduh Islam sebagai agama kaum primitif, kolot, tidak demokratis.
Melihat hal itu, mungkinkah Islam bisa bersanding mesra dalam horison pemikiran para tokoh filosof Barat yang berada pada bangku terdepan postmodern? Inilah pertanyaan yang coba untuk di jawab oleh lulusan Universitas Edinburgh, Ian Almond, dalam buku ini.
Buku berjudul asli The New Orientalist : Postmodern Representations of Islam From Foucault to Baudrillard ini, mencoba mengaitkan Islam dengan beberapa filosof Barat yang terkenal sebagai gembongnya pemikir Barat. Ada enam tokoh filosof dan tiga satrawan yang coba untuk di ulas pemikirannya tentang Islam dalam buku ini. Enam filosof itu diantaranya Nietzsche, Foucault, Derrida, Julia Kristeva, Baudrillard serta filosof eksentrik yang lagi ngetrend saat ini, Slavoj Zizek.
Sedangkan tiga satrawan lainya yang coba di bahas pemikirannya oleh Almond adalah Orhan Pamuk (Penulis Turki), Jorge Luis Borges (Penulis Agentina) dan penulis buku The Satanic Verses, Salman Rushdie.
Salah satu hal menarik yang terdapat dalam buku ini adalah sayatan-sayatan Almond dalam upaya mengupas pemikiran tokoh dengan sabda The God Is Dead-nya yang menggemparkan dunia pemikiran. Tokoh tersebut adalah Friedrich Wilhelm Nietzsche.
Nietzsche dilahirkan di sebuah kota kecil Jerman, Rocken bei Lutzen, Leipzig pada tanggal 15 oktober 1844. Ia merupakan filsuf legendaris Jerman paling provokatif yang identik dengan atheisme dan gerakan anti agama. Filsuf berkumis tebal ini juga menjadi sosok avant garde aliran filsafat eksistensialis. Tak heran jika ia mendapat julukan biang atheis, ‘mbah’-nya skeptis nihilis serta sang penjagal Tuhan.
Meskipun Nietzsche seorang anti agama, namun anehnya saat diajukan pilihan antara dua agama, Islam dan Kristen, Yahudi dan Arab, Nietzsche lebih cenderung memilih Islam dan Arab. Karena bagi Nietzsche, Islam adalah agama maskulin, agama dari produk kelas yang berkuasa. Dalam artian Islam tidak malu untuk mengakui naluri kelelakian semisal untuk berperang, hasrat untuk berkuasa serta meletakkan perempuan pada posisinya.
Rasa simpatik Nietzsche terhadap Islam, menurut Almond, disebabkan karena dua hal. Pertama, untuk memahami diri sendiri dengan lebih baik. Sebagai seorang eksistensialis, ia beranggapan Islam adalah suatu hal baru yang harus dipelajari. Meskipun Islam bisa di sebut sebagai “tema pinggiran” dalam semesta pemikirannya, akan tetapi memahami Islam, menurut Nietzsche, bisa membuat pemahaman yang lebih baik tentang diri sendiri.
Kemudian alasan kedua yang menjadi faktor ketertarikan Nietzsche terhadap Islam, disebabkan ketidaknyamanannya terhadap kebudayaan Jerman. Sejarah mencatat bahwa tidak hanya Nietzsche saja yang merasa fobia dengan kebudayaannya sendiri. Salah seorang penyair Jerman, Heine, pun demikian halnya. Bedanya, kalau Heine mengutuk orang Jerman sebagai manusia Bar-bar dan orang Persia sebagai kalangan beradab.
Dalam buku setebal 106 halaman ini, Almond juga menyuguhkan kepada pembaca perbedaan Nietzsche dengan para Orientalis lain yang mengkaji Islam. Perbedaan itu terletak pada penggunaan citra-citra gelap olehnya. Citra gelap yang melekat pada Islam diantaranya kurang modern, hierarkis, kurang demokratis, serta bersifat militeristik. Citra gelap itulah yang digunakan oleh para pengkaji Islam di Barat untuk menyudutkan Islam.
Bedanya, citra gelap Islam itu oleh Nietzsche malah dijadikan senjata untuk mendobrak klaim-klaim universal kekristenan dan modernitas Eropa. Maka tak heran dalam sebuah karyanya The Antichrist, Nietzsche dengan lantang bersuara “ Perang hingga titik darah penghabisan dengan Roma. Damai dan persahabatan dengan Islam”.
Membaca pemikiran Nietzsche, ibarat berjalan menyusuri tebing nan curam. Penuh tanjakan dan duri-duri jebakan. Adakalanya pemikiran yang dilontarkannya berwajah ganda, bias serta penuh kritikan pedas terhadap agama. Namun bila ditelisik lebih jauh lagi karya-karyanya, Nietzsche, sebagaimana yang dikatakan oleh Tyler T. Robert, berada di posisi tengah-tengah antara pemikir agama dan anti agama.
Meskipun buku ini oleh Zacky Khairul Umam dalam tulisan esai pembukanya hanya di anggap semacam kegenitan intelektual Almond saja, disebabkan karena kapasitas tiga tokoh filosof yang di bahas didalamnya tidak memahami bahasa dan sastra di Timur Tengah. Baik bahasa Arab, Persia, Turki serta Ibrani. Namun hal itu tidak mengurangi nilai buku ini untuk di baca oleh para penggelut dunia pemikiran.
Setidaknya para pembaca akan memperoleh satu pengetahuan bahwa Islam tetaplah tema seksi yang akan selalu diperbicangkan oleh kalangan filosof Barat. Demikianlah kewarna-warnian Islam dalam horison pemikiran para filosof Barat.
*Peresensi Mahasiswa Theologi & Filsafat IAIN Sunan Ampel, Bergiat Di Bengkel Menulis Bibliopolis Surabaya.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !