Aksi kekerasan kembali marak di negeri ini. Jatuhnya korban jiwa, seakan-akan sudah menjadi pemandangan yang biasa dan lumrah terjadi. Masyarakat dipertontonkan sebuah adegan kekerasan demi kekerasan oleh media yang berperan sangat penting dalam membanting dan menjungkirbalikkan opini publik. Belum kering rasanya air mata ibu pertiwi karena kerusuhan di Pati Jawa Tengah, kerusuhan Tarakan Kalimantan Tengah, Kerusuhan Ampera Jakarta. Tepat tengah malam, Sabtu 2 Oktober 2010 kerusuhan kembali mengoyak di Bogor.
Data yang ditunjukkan oleh koran Kompas, edisi Jum’at 1 Oktober 2010 bahwa dalam rentang waktu dari bulan April hingga September saja sudah terjadi tujuh tindak kekerasan oleh masyarakat. Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan masyarakat bertindak main hakim sendiri apabila lubang-lubang dalam penyelesaian konflik tidak segera ditutupi oleh aparat yang berwenang.
Frustasi sosial, meminjam istilah sosiolog William Chang, ini terjadi disebabkan karena lemahnya penegakan hukum serta rendahnya tingkat ekonomi dan pendidikan masyarakat di negeri ini. Hukum bisa dibeli. Diperdagangkan atau bahkan digadaikan sekalipun. Yang mayoritas menindas yang minoritas. Yang pintar membodohi yang tak berpendidikan. Yang kaya menjerat yang miskin.
Kondisi demikian seharusnya menjadi cermin bening bagi kita semua bahwa ada yang salah dalam pengelolaan bangsa ini.
Bangsa yang terdiri dari beragam suku, budaya, dan agama ini seharusnya menjadikan perbedaan itu sebagai perekat dalam kehidupan sosial sehari-hari. Kemajemukan adalah suatu hal yang niscaya. Kemajemukan tidak lantas menjadikan kita semua terpecah belah.
Spiral kekerasan setidaknya seminimal mungkin kita cegah agar nantinya tidak menimbulkann kekerasan baru. Siklus kekerasan yang tak henti-hentinya bisa membuat ”cipratan negeri surga“ ini berada dalam titik nadir. Berada dalam bayang-bayang kehancuran.
Program otonomi daerah yang sudah tidak menarik lagi membuat sebagian masyarakat membayangkan nikmatnya bernegara dengan sistem federal. Arah menuju“ Balkanisasi“ sebagaimana negara-negara yang berada di semenanjung Balkan, yang terbagi-bagi berdasarkan etnis, menjadi pintu masuk pecahnya negara kesatuan.
Gejala kekerasan di masyarakat kita akhir akhir ini memberikan bukti bahwa pendulum kebebasan sedang bergerak ke arah ekstrem. Dan jika hal ini dibiarkan dan tidak di handle dengan baik, maka akan memberikan peluang munculnya pemerintahan yang autoroterian. Dengan kata lain, negara kita menjadi failed state atau negara yang gagal. Tentunya kita semua tidak menginginkan hal itu terjadi bukan?.
Untuk mengantisipasi yang demikian itu, penegakan hukum tanpa pandang bulu bagi yang melakukan tindakan yang melanggar hukum pantas dan layak untuk dilakukan. Hukum seberat-beratnya individu ataupun kelompok yang suka menggunakan aksi-aksi premanisme.
Law In Order sangat perlu kiranya dalam sebuah negara dengan tatanan demokrasi yang baik. Bangsa ini sangat, sangat majemuk. Jadi jangan sampai masyarakatnya terjebak dalam politik partisan, kesukuan. Karena hal itu bukanlah fondasi yang baik buat bangsa ini.
Kemajemukan suatu bangsa adalah sebuah keunikan tersendiri. Perlu memberikan dan menumbuhkan pemahaman pada masyarakat di tingkatan grass rootagar mau menerima kemajemukan itu tanpa reserve. Selama ini, pemahaman itu hanya dimiliki oleh kalangan elit saja. Hal ini tentunya menjadi tugas berat kita semua demi keberlangsungan dan roda kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sepertinya gambaran masyarakat madani pada zaman Rosulullah layak untuk diketengahkan saat ini. Perlindungan terhadap pihak yang minoritas, keadilan, pemerataan pembangunan serta persamaan hak dan kewajiban dalam bidang hukum dan pendidikan haruslah dimulai dari sekarang.
Seluruh elemen bangsa ini harus segera membentengi diri agar bayang bayang kehancuran seperti yang dialami oleh Bangsa Inca, Yugoslavia, Uni Sovyet tidak terjadi. Kita semua tentunya tidak menginginkan bangsa ini menjadi sebuah sejarah yang hanya kita ceritakan pada anak cucu kita kelak.
Selain itu, media baik cetak ataupun elektronik juga harus ikut berperan aktif dalam mengawal perjalanan kapal besar bernama Indonesia ini. Media jangan malah menyajikan berita yang tak seimbang dengan mengipas-ngipasi suasana agar makin keruh. Karena masyarakat masih belum memahami kalau media, sebagaimana yang dikatakan Fahrudin Zen, itu bukanlah cermin dari hal yang nyata. Media hanyalah memotret sisi tertentu dari realitas yang dipilih. Jika tidak demikian, yang terjadi malah masyarakat madani yang kita miliki akhirnya menjadi masyarakat medhenii (Jawa, menakutkan). Terakhir penulis ucapkan, I Love This Country, mari kita jaga dan kawal bersama-sama.
Data yang ditunjukkan oleh koran Kompas, edisi Jum’at 1 Oktober 2010 bahwa dalam rentang waktu dari bulan April hingga September saja sudah terjadi tujuh tindak kekerasan oleh masyarakat. Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan masyarakat bertindak main hakim sendiri apabila lubang-lubang dalam penyelesaian konflik tidak segera ditutupi oleh aparat yang berwenang.
Frustasi sosial, meminjam istilah sosiolog William Chang, ini terjadi disebabkan karena lemahnya penegakan hukum serta rendahnya tingkat ekonomi dan pendidikan masyarakat di negeri ini. Hukum bisa dibeli. Diperdagangkan atau bahkan digadaikan sekalipun. Yang mayoritas menindas yang minoritas. Yang pintar membodohi yang tak berpendidikan. Yang kaya menjerat yang miskin.
Kondisi demikian seharusnya menjadi cermin bening bagi kita semua bahwa ada yang salah dalam pengelolaan bangsa ini.
Bangsa yang terdiri dari beragam suku, budaya, dan agama ini seharusnya menjadikan perbedaan itu sebagai perekat dalam kehidupan sosial sehari-hari. Kemajemukan adalah suatu hal yang niscaya. Kemajemukan tidak lantas menjadikan kita semua terpecah belah.
Spiral kekerasan setidaknya seminimal mungkin kita cegah agar nantinya tidak menimbulkann kekerasan baru. Siklus kekerasan yang tak henti-hentinya bisa membuat ”cipratan negeri surga“ ini berada dalam titik nadir. Berada dalam bayang-bayang kehancuran.
Program otonomi daerah yang sudah tidak menarik lagi membuat sebagian masyarakat membayangkan nikmatnya bernegara dengan sistem federal. Arah menuju“ Balkanisasi“ sebagaimana negara-negara yang berada di semenanjung Balkan, yang terbagi-bagi berdasarkan etnis, menjadi pintu masuk pecahnya negara kesatuan.
Gejala kekerasan di masyarakat kita akhir akhir ini memberikan bukti bahwa pendulum kebebasan sedang bergerak ke arah ekstrem. Dan jika hal ini dibiarkan dan tidak di handle dengan baik, maka akan memberikan peluang munculnya pemerintahan yang autoroterian. Dengan kata lain, negara kita menjadi failed state atau negara yang gagal. Tentunya kita semua tidak menginginkan hal itu terjadi bukan?.
Untuk mengantisipasi yang demikian itu, penegakan hukum tanpa pandang bulu bagi yang melakukan tindakan yang melanggar hukum pantas dan layak untuk dilakukan. Hukum seberat-beratnya individu ataupun kelompok yang suka menggunakan aksi-aksi premanisme.
Law In Order sangat perlu kiranya dalam sebuah negara dengan tatanan demokrasi yang baik. Bangsa ini sangat, sangat majemuk. Jadi jangan sampai masyarakatnya terjebak dalam politik partisan, kesukuan. Karena hal itu bukanlah fondasi yang baik buat bangsa ini.
Kemajemukan suatu bangsa adalah sebuah keunikan tersendiri. Perlu memberikan dan menumbuhkan pemahaman pada masyarakat di tingkatan grass rootagar mau menerima kemajemukan itu tanpa reserve. Selama ini, pemahaman itu hanya dimiliki oleh kalangan elit saja. Hal ini tentunya menjadi tugas berat kita semua demi keberlangsungan dan roda kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sepertinya gambaran masyarakat madani pada zaman Rosulullah layak untuk diketengahkan saat ini. Perlindungan terhadap pihak yang minoritas, keadilan, pemerataan pembangunan serta persamaan hak dan kewajiban dalam bidang hukum dan pendidikan haruslah dimulai dari sekarang.
Seluruh elemen bangsa ini harus segera membentengi diri agar bayang bayang kehancuran seperti yang dialami oleh Bangsa Inca, Yugoslavia, Uni Sovyet tidak terjadi. Kita semua tentunya tidak menginginkan bangsa ini menjadi sebuah sejarah yang hanya kita ceritakan pada anak cucu kita kelak.
Selain itu, media baik cetak ataupun elektronik juga harus ikut berperan aktif dalam mengawal perjalanan kapal besar bernama Indonesia ini. Media jangan malah menyajikan berita yang tak seimbang dengan mengipas-ngipasi suasana agar makin keruh. Karena masyarakat masih belum memahami kalau media, sebagaimana yang dikatakan Fahrudin Zen, itu bukanlah cermin dari hal yang nyata. Media hanyalah memotret sisi tertentu dari realitas yang dipilih. Jika tidak demikian, yang terjadi malah masyarakat madani yang kita miliki akhirnya menjadi masyarakat medhenii (Jawa, menakutkan). Terakhir penulis ucapkan, I Love This Country, mari kita jaga dan kawal bersama-sama.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !