DARI SURABAYA UNTUK INDONESIA

Senin, 09 Mei 2011



“Manusia Primitif adalah manusia yang tidak mendokumentasikan apapun dalam hidupnya” (Suparto Brata)

Semangat memasuki tahun baru terasa betul kala kuikuti pelatihan menulis yang disponsori oleh dbuku. Tepat 2 Januari 2011 bertempat di stand kecil Bibliopolis di Royal Plaza lantai III, berkumpul beberapa penulis pemula dari beberapa kampus di Surabaya. Bahkan ada sebagian penulis yang berasal dari luar Surabaya. Jombang dan Jember misalnya. Antusias para penulis pemula itu begitu menggebu-gebu kala acara bertajuk “Surabaya Dalam Buku, Seratus Resensi Tentang Surabaya” itu di isi oleh pemateri yang sangat berkompeten dalam dunia tulis menulis.

Dari Surabaya ada sosok tua berkacamata, kumis dan janggutnya sudah memutih, memakai baju takwa menampakkan kesan kesederhanaannya. Beliau adalah salah seorang budayawan dan penulis novel Saksi Mata bernama lengkap Raden Mas Suparto Brata. Tak cukup dengan Suparto Brata, dbuku juga mendatangkan penulis yang karyanya selalu mengundang polemic, controversial, serta penghasil karya novel Kabar Buruk Dari Langit, Adam Dan Hawa, Serta Tuhan Ijinkan Aku Jadi Pelacur, Muhidin M Dahlan.

Seluruh peserta pelatihan yang rata-rata masih berjiwa muda, kulihat begitu serius menyimak, merekam serta mencatat beberapa keterangan dari dua pemateri tersebut. Kurang lebih enam jam, kami semua di godok dengan penjelasan-penjelasan tentang dunia kepenulisan.

Suparto Brata dengan pengalaman menulisnya yang sudah mahir memberikan motivasi pada semua peserta untuk selalu membaca dan menulis. Pria tua dengan motto membaca dapat mengubah takdir itu mengambil tamsil yang menarik agar kita sebagai manusia jangan mau kalah dengan Dinosaurus. Meski mahluk yang tak berakal, setelah matinya Dinosaurus meninggalkan dokumentasi buat manusia. Dokumentasi berupa fosil-fosil itu selanjutnya memberikan manfaat bagi manusia serta bisa menunjukkan bukti sejarah tentang masa lampau bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Manusia sebagai mahluk yang mempunyai kelebihan dengan akal yang dimilikinya tentunya mempunyai tanggung jawab besar untuk mendokumentasikan segala sesuatu yang berkaitan dengan perjalanan hidupnya. Dokumentasi itu bisa berupa catatan-catatan dalam bentuk buku. Sebab dengan bukulah, sebagaimana yang dikatakan oleh Khaled M Abou El Fadl dalam sebuah karyanya The Search for Beauty in Islam (diterjemahkan oleh penerbit Serambi dengan judul Musyawarah Buku, Menyusuri Keindahan Islam Dari Kitab ke Kitab) pemikiran serta sejarah masa lalu bisa terjaga untuk generasi masa depan.

Usai pemaparan Suparto Brata, peserta pelatihan untuk selanjutnya dijejali dengan materi tentang tata cara meresensi buku yang disampaikan oleh Muhidin M Dahlan. Aura controversial terasa benar kala ia baru saja menyampaikan materinya. Pernyataannya tentang definisi buku baru dan lama membiusku untuk sejenak keluar dari konstruk pemikiran yang sudah lama aku bangun. Selama ini buku baru menurutku adalah buku yang covernya licin, kertasnya mulus serta keluaran baru. Dalam artian tulisan itu keluar satu tahun belakanganlah.

Tapi Gus Muh (panggilan akrab Muhidin M Dahlan) begitu lihai dan cerdiknya mendekonstruksi kemudian merekonstruksi konstruk berpikirku kembali. “Buku baru adalah buku yang belum pernah di baca” paparnya. Statement ini aku catat betul dalam ingatanku. Sebab dengan statement ini, tanpa terasa aku digiringnya untuk terus dan terus membaca buku yang belum pernah aku baca. Entah itu terbitan tahun berapapun. Selama belum ku baca maka itu buku baru. Begitu kesimpulanku pada akhirnya.

Tidak cukup sampai disitu. Gus Muh kembali memberikan terapi kejut buat para peserta pelatihan. Gus Muh menekankan agar para peserta tidak hanya jadi penikmat buku saja atau pembaca pasif tapi juga jadi pembaca kritis. Pembaca kritis adalah pembaca yang menulis kembali hasil bacaannya dengan membawa poin-poin penilaian terhadap buku bacaannya. Pembaca kritis inilah yang mempunyai vonis apakah sebuah buku itu layak di baca atau tidak. Atau bahkan terkadang, pembaca kritis juga membawa palu godam untuk menjustifikasi agar buku tersebut di tarik dari peredaran.

Gambaran Gus Muh tentang resensi Poeradisastra yang mengkritik habis-habisan, dan memberikan vonis mati pada karya Prof. Slamet Iman Santoso berjudul Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan melatih sikap awas kami. Sebab terkadang ada juga buku yang metodologinya salah, cara penulisan ilmiahnyapun salah.

Dengan memberikan beberapa contoh pembaca kritis yang di tangannya membawa palu godam, Gus Muh layaknya seorang resi atau seorang mursyid yang membimbing para pesuluk di jalan Allah. Mursyid dalam dunia sufi bertugas mengarahkan, memberi teori dan membimbing langsung prilaku, ahwal, maqamat serta dzikir yang harus dilakukan oleh pesuluk. Gus Muh memberikan beberapa metode jalan menuju dunia kepenulisan resensi, mana bahaya yang harus dihindari, mana yang harus dilakukan kala menghadapi godaan buku yang berisi keterangan yang bisa merusak kaidah berpikir dalam ilmu pengetahuan.

Usai pelatihan itu, tugas berat sudah menantiku dan kawan-kawan peserta pelatihan yang lain. Ketidakmauan kami menjadi manusia primitive seperti diutarakan oleh Suparto Brata memompa semangat kami untuk menelusuri, menelisik dan mendokumentasikan seratus buku tentang Surabaya. Baik itu tentang sejarah, tokoh, panduan wisata, sastra dan seni budayanya.

Seratus buku itu kemudian harus dibaca dan diresensi oleh semua peserta pelatihan. Nah hasil dari resensi itu untuk selanjutnya disatukan dijadikan buku. Agar nantinya serpihan-serpihan buku yang terserak berjumlah seratus itu bisa menjadi penunjuk arah bagi generasi muda Indonesia pada umumnya dan generasi Surabaya pada khusunya.

Tujuan mulia ini demi menciptakan gambaran yang utuh dari seratus buku tentang Surabaya itu agar menjadi sebuah mozaik yang indah untuk dilihat, didengar dan dirasakan. Aku dan para peserta pelatihan yang lain berkeinginan Surabaya harus tetap menjadi pusat segala gerakan pembaharuan di Indonesia. Mungkin dengan seperti itu, kelak generasi selanjutnya bisa melebihi dari apa yang akan kita lakukan saat ini. Bukankah demikian yang kita harapkan semua?. Semoga!!
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Mas Template
Copyright © 2011. SHOFA AS-SYADZILI - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website | Edited by Arick Evano
Proudly powered by Blogger