BAJAJ ANTI KEKERASAN SI ONENG Oleh Muhammad Shofa

Senin, 21 Maret 2011

Ketika kekerasan demi kekerasan sudah di anggap biasa di tengah-tengah masyarakat, saat itulah terjadi apa yang disebut banality of evil atau banalisasi kejahatan”
Itulah kalimat yang dikeluarkan oleh filosof politik berkebangsaan Jerman, Hannah Arendt, yang dijadikan poin penting oleh Rieke Dyah Pitaloka atau akrab dikenal dengan nama Oneng dalam buku berjudul “Banalitas Kekerasan” ini.
Didalamnya Oneng begitu tampak berbeda. Ia yang biasanya tampil culun, lugu dan bloon terlihat begitu kritis menguliti problematika kekerasan yang sering terjadi di Republik ini. Sebagaimana diketahui, perjalanan bangsa ini dari periode ke periode selalu diringi dengan menetesnya darah di atas bumi pertiwi.
Tentu masih ingat dalam benak kita, kala terjadi pembantaian besar-besaran bagi kelompok yang tersangkut dan dianggap terlibat G 30 S/PKI. Korban tewas pada saat itu diperkirakan mencapai angka 2 juta jiwa. Tidak berhenti di situ, kekerasan sepertinya sudah menjadi bagian integral dari bangsa ini. Mulai dari kasus Tanjung Priok, Tragedi Kudatuli, Tragedi Mei 98 hingga kerusuhan yang baru-baru ini mengoyak di Cikeusik, Pandeglang Banten.
Oneng dalam buku setebal 142 halaman ini mencoba membedah banalnya kekerasan yang terjadi dengan menelaah pemikiran Filosof perempuan, Hannah Arendt. Menurut Arendt, setiap kekerasan yang terjadi tak bisa lepas ada korelasinya dengan kekuasaan dan kekerasan yang dilakukan oleh Negara. Dalam artian, banalnya kekerasan yang dilakukan masyarakat merupakan imbas daripada kekerasan yang dilakukan oleh Negara.
Teori banality of evil ini berawal dari analisanya Arendt pada persidangan Adolf Eichmann di Jerussalem tahun 1961. Eichmann adalah sosok manusia rekayasa bentukan pemimpin Nazi Jerman bergelar Fuehrer, Adolf Hitler. Eichmann awalnya bukanlah sosok manusia yang membenci kaum Yahudi. Akan tetapi, karena saat itu ia ditempatkan di Departemen yang berhubungan dengan orang-orang Yahudi, pada akhirnya ia harus mengikuti perintah yang bukan berasal dari dalam dirinya sendiri untuk melakukan pembunuhan pada kaum Yahudi.
Arendt menganalisa bahwa kedangkalan berpikir Eichmannn disebabkan karena negara dalam hal ini penguasa, menjadikan manusia hanya sebagai materi yang bergerak. Daya berpikir kritisnya dilumpuhkan. Manusia seperti Eichmann ini biasanya ibarat robot yang digerakkan oleh sesuatu di luar dirinya. Ia tidak tahu lagi mana yang benar dan mana yang salah.
Mungkin timbul pertanyaan, mengapa Eichmann tanpa terasa mau “dirobotkan”?. Arendt menuding Modernitaslah yang menjadi biang kerok daripada banalisasi kejahatan yang dilakukan oleh Eichmann. Modernitas yang merupakan proyek gagal rasionalisme membuat manusia menjadi berpikiran individualis, apolitis dan kehilangan rasionalitasnya. Tanpa terasa pikiran manusia dikebiri oleh rasionalisme yang bersifat eksploitatif. Modernitas adalah polutan dalam atmosfer berpikir manusia. Meminjam istilahnya Herbert Marcuse, Eichmann bisa dikatakan adalah korban daripada perbudakan mekanik modernitas.
Dalam konteks keindonesiaan, banality of evil ini tampak merupakan hal yang tak bisa dilepaskan dalam kehidupan kita sehari-hari. Negara yang berfungsi menetapkan aturan-aturan yang mengikat dan menjamin kehidupan bersama terlihat hanya melindungi dan memenuhi kebutuhan satu kelompok dan golongan saja. Inilah bentuk kekerasan tertutup yang dilakukan oleh negara.
Bukan hanya itu, negara juga tanpa malu-malu melakukan kekerasan terbuka di depan masyarakat. Dengan segala perangkatnya, negara memberikan contoh-contoh kekerasan vulgar di depan mata pada masyarakat. Saat rezim orde baru, aparat Negara dengan dalih patuh pada perintah atasan dan demi menjaga keamanan dan ketertiban Negara melakukan pelanggaran HAM di Aceh. Status Daerah Operasi Militer (DOM) buat Aceh seakan-akan memberikan wewenang pada aparat berbaju loreng untuk melakukan penculikan dan pembunuhan.
Di masa pemerintahan SBY saat ini, koruptor masih bebas berkeliaran tanpa terkena jeratan hukum. Contoh kedua ini, membuat masyarakat mempunyai anggapan bahwa tindakan pelanggaran hukum sudah merupakan hal yang biasa dan lumrah dilakukan. Imbasnya adalah rakyat jadi ikut-ikutan kehilangan akal sehat dan mengalami ketumpulan nurani. Dengan tanpa berpikir panjang, masyarakat jadi kehilangan daya kritisnya karena propaganda dan terror yang dilakukan oleh Negara. Kekerasan, pembunuhan, dan penghancuran tempat ibadah umat agama lain pada akhirnya bak lingkaran setan yang tidak diketahuai kapan akan berhenti.
Buku yang merupakan tesis Oneng di Program Pascasarjana Filsafat UI ini, bisa di baca dan dijadikan Bajaj untuk ditumpangi oleh seluruh masyarakat Indonesia. Agar nantinya, bajaj anti kekerasan ini bisa membawa bangsa Indonesia menuju pintu gerbang bangsa yang berkeadaban. Bangsa yang menghargai dan menghormati hak-hak asasi manusia. Serta mencegah lahirnya Eichman-Eichman kecil dari rahim ibu pertiwi. Semoga.
*Penulis Mahasiswa Theologi & Filsafat IAIN Sunan Ampel dan aktif di Perpustakaan dbuku Bibliopolis Surabaya.
(Resensi ini di muat di Koran Jawa Pos, Minggu 20 Maret 2011)



Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Mas Template
Copyright © 2011. SHOFA AS-SYADZILI - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website | Edited by Arick Evano
Proudly powered by Blogger