Anda kaum aktivis pergerakan? Ingin tahu bagaimana seharusnya sebuah ide dan gagasan tentang kemerdekaan sejati itu diperjuangkan?. Saya sarankan anda untuk mencoba menonton film ini. Film berjudul "Mandela Long Walk to Freedom" ini layak kiranya menjadi sebuah referensi wajib bagi anda untuk ditonton selain film yang baru dirilis di negeri ini, "Dibalik 98". Film yang diperankan oleh Idris Elba dan Naomie Harris ini benar-benar menyuguhkan semangat aktivis pergerakan. Dari film ini, tak salah bila kita belajar dari Mandela.
Setelah
sebelumnya aku mereview dua film yang bergenre drama romance dan humor
filosofis, maka kini waktunya aku menyuguhkan pada pembaca sebuah review film
yang amat menarik. Film ini berbicara prihal kisah hidup tokoh pembebasan
politik apartheid dari Afrika Selatan, Nelson Mandela. Tokoh ini merupakan
sosok ternama dari benua Afrika. Saat wafatnya, ribuan hingga jutaan manusia di
seluruh jagad ini, memanjatkan doa untuknya. Darinya dan karenanya, Afrika
Selatan yang bertahun-tahun hidup dalam peperangan antar ras, kembali menyatu
menjadi sebuah bangsa yang selayaknya menjadi teladan bagi bangsa Indonesia.
Film
ini dimulai dengan penggambaran suasana padang sahara Afrika yang begitu panas
meranggas. Penggambaran nan apik ini membuat penonton seperti merasa ada di
lokasi tempat syuting film tersebut diambil. Anak-anak kecil berkulit hitam
yang berlari-lari di padang sahara dengan penuh kegembiraan tersebut kemudian
memiliki rasa yang tinggi terhadap tanah mereka.
“Kau
segera akan menjadi laki-laki dewasa. Masa mudamu, keindahanmu, kekuatanmu
bukanlah milikmu sendiri. Jika kau berjuang sendiri kau maka akan merasa kecil,
padahal kaummu sangatlah kuat”
Demikianlah
kalimat yang muncul diawal film ini. Kalimat itulah yang menjadi jimat bagi
Mandela untuk menyatukan segenap kekuatan rakyat Afrika Selatan untuk melakukan
perlawan dan penindasan terhadap yang dilakukan kelompok kulit putih pada
mereka. Penerapan politik Apartheid ini benar-benar menindas warga kulit hitam
di Afsel. Apartheid sendiri adalah kata yang berasal dari Bahasa Afrika yang
tersusun dari dua kata, apart dan heid. Apart
memiliki arti memisah sedangkan heid memiliki arti hukum.
Jadi,
apartheid adalah kebijakan yang mengharuskan adanya pemisahan secara geografis
antara kulit putih dan kulit hitam. Kebijakan ini ditetapkan pada tahun 1948
saat Perdana Menteri dari Partai Nasionalis, Daniel F. Malan terpilih kembali
kemudian ia menyusun kebijakan secara geografis. Kebijakan ini diterapkan
secara total tanpa pandang bulu di manapun tempatnya. Inilah masa di mana
supremasi kulit putih dilakukan tanpa kompromi.
Dari
film ini digambarkan pemisahan tersebut bahkan merambah hingga pada persoalan
tempat duduk di moda transportasi seperti bis dan lainnya. Ada pelarangan bila
warga kuli hitam melewati tempat-tempat umum seperti jalan raya dan restoran
atau rumah makan yang dipenuhi oleh warga kulit putih. Yang sangat menyedihkan
adalah warga kulit hitam bahkan dipanggil dengan sebutan kafir!!!. Kebijakan
inipun kemudian direspon secara besar-besaran oleh seluruh warga kulit hitam di
Afrika. Mereka melakukan aksi boikot untuk naik bis kota dan lebih memilih
berjalan kaki hingga ke Johanesburg.
Kebijakan
selanjutnya yang juga ditanggapi secara negatif oleh warga kulit hitam
adalah, saat pemerintah kulit putih menerapkan
sebuah peraturan yang mengharuskan setiap warga kulit hitam membawa kartu
identitas setiap saat. Akibat kebijakan ini, di Sharpeville, sebuah kota
industry di Afsel bergolak aksi demontrasi besar-besaran mengepung kantor
polisi di kota tersebut. Aksi ini berakhir rusuh. Sekitar 100 orang terbunuh
karena diberondong senapan oleh pihak kepolisian, sedangkan ratusan lainnya
mengalami luka-luka.
Film
ini juga mengisahkan perjalanan hidup
Nelson Mandela saat terlibat masuk dalam organisasi Afrika Nasional Congress
(ANC). Ia masuk dalam organisasi ini sejak tahun 1942. Berawal dari sinilah
Mandela kemudian menggerakkan rakyat Afrika Selatan untuk bangkit melakukan
perlawanan pada pemerintahan yang dianggapnya berlaku tak adil pada warga kulit
putih. Karenanya Mandela pada akhirnya harus harus mendekam di dalam penjara
Johanesburg Fort pada tanggal 5 Agustus 1962. Kemudian menghadapi persidangan
di Gedung Keadilan Pretoria pada 1963.
Sidang
ini dilakukan oleh pemerintah Afsel untuk kasus Mandela yang dianggap melakukan
perlawanan pada komando tertinggi nasional. Dalam pengadilan ini, Mandela tak
sendiri. Ia beserta pejabat teras ANC lainnya juga ikut di sidang dan dijatuhi
hukuman 20 tahun penjara. Yang menarik
saat persidangan ini adalah manakala Mandela dengan lantangnya meminta adanya
kesetaraan di seluruh Afsel serta keinginan hak yang sama dalam politik. One
man one vote.
Pembelaan
Mandela ini tak mempengaruhi keputusan hakim untuk manjatuhkan vonis penjara
baginya. Mulailah Mandela menghabiskan masa demi masa dari hidupnya di dalam
penjara. Ia kerap dipindah dari penjara
yang satu ke penjara lainnya. Meskipun begitu, perlawanan rakyat Afsel yang
telah digelorakannya dilanjutkan oleh kaum muda yang ada di luar sana. Usia bertambah, rambut mulai dipenuhi uban,
kulit sudah mulai menampakkan kematangannya dalam makan asam dan garamnya
kehidupan ini, semangat perlawanan Mandela ternyata masih tetap bergelora meski
ia berada di dalam penjara.
Maka
saat istrinya mengunjunginya di penjara Poolsmoor, Mandela menitipkan sebuah
surat untuk para pendukungnya. Surat ini kemudian dibaca oleh anaknya, Zindzi
Mandela, di Orlando Stadium pada 10 Februari 1985 dihadapan ribuan orang yang
memadati Stadium tersebut. Isi surat tersebut adalah penolakan Mandela terhadap
pembebasan bersyarat yang diberikan Presiden Botha padanya. Saat itu, kekerasan
antar etnis merebak diberbagai kota di Afrika Selatan. Rakyat tanpa segan-segan
saling membunuh antar sesamanya, mereka juga melakukan penjarahan pada harta
kekayaan milik warga kulit putih. Kacau. Benar-benar kacau.
Lewat
surat yang ditujukan pada massa pendukungnya tersebut, Mandela berkata : “ Aku
bukan orang yang suka dengan kekerasan, sebab itu hanya salah satu bentuk dari
perlawanan. Yang tidak bisa lagi dihindari sehingga kami melawan dengan
senjata. Biarkan Presiden Botha menghentikan kekerasannya. Biar dia yang
membongkar apartheid. Aku tidak bisa dan tidak akan melakukannya, ketika aku
dan kau, rakyat Afrika Selatan belum bebas. Kebebasanmu dan aku tidak bisa
dipisahkan. Aku akan segera kembali”.
Dari
sinilah Mandela kemudian mendapatkan perlakuan yang khusus dari pemerintahan
kulit putih Afrika Selatan. Ia bahkan diajak untuk merundingkan nasib Afrika
Selatan yang selalu dipenuhi oleh konflik antar etnis. Film ini benar-benar
mengisahkan perjalanan hidup Mandela hingga pemilu bisa mengantarkannya menjadi
Presiden kulit hitam pertama di Afrika Selatan.
Meskipun
begitu, Mandela sebagaimana penuturannya, sangatlah menghargai semua ide
tentang kebebasan. Ia juga mengharapkan terwujudnya masyaraka demokratis, di
mana semua orang mampu hidup bersama-sama dalam satu harmoni dengan memiliki
kesempatan yang sama. Dari Mandela-lah seharusnya kita belajar..!!!
Terima kasih, artikel Yang Sangat bagus ... Jaringan Hotels Dunia
BalasHapus