MANDELA , AKTIVIS PEJUANG PEMBEBASAN : REVIEW ATAS FILM MANDELA LONG WALK TO FREEDOM

Sabtu, 17 Januari 2015

Anda kaum aktivis pergerakan? Ingin tahu bagaimana seharusnya sebuah ide dan gagasan tentang kemerdekaan sejati itu diperjuangkan?. Saya sarankan anda untuk mencoba menonton film ini. Film berjudul "Mandela Long Walk to Freedom" ini layak kiranya menjadi sebuah referensi wajib bagi anda untuk ditonton selain film yang baru dirilis di negeri ini, "Dibalik 98". Film yang diperankan oleh Idris Elba dan Naomie Harris ini benar-benar menyuguhkan semangat aktivis pergerakan. Dari film ini, tak salah bila kita belajar dari Mandela.

Setelah sebelumnya aku mereview dua film yang bergenre drama romance dan humor filosofis, maka kini waktunya aku menyuguhkan pada pembaca sebuah review film yang amat menarik. Film ini berbicara prihal kisah hidup tokoh pembebasan politik apartheid dari Afrika Selatan, Nelson Mandela. Tokoh ini merupakan sosok ternama dari benua Afrika. Saat wafatnya, ribuan hingga jutaan manusia di seluruh jagad ini, memanjatkan doa untuknya. Darinya dan karenanya, Afrika Selatan yang bertahun-tahun hidup dalam peperangan antar ras, kembali menyatu menjadi sebuah bangsa yang selayaknya menjadi teladan bagi bangsa Indonesia.

Film ini dimulai dengan penggambaran suasana padang sahara Afrika yang begitu panas meranggas. Penggambaran nan apik ini membuat penonton seperti merasa ada di lokasi tempat syuting film tersebut diambil. Anak-anak kecil berkulit hitam yang berlari-lari di padang sahara dengan penuh kegembiraan tersebut kemudian memiliki rasa yang tinggi terhadap tanah mereka.

“Kau segera akan menjadi laki-laki dewasa. Masa mudamu, keindahanmu, kekuatanmu bukanlah milikmu sendiri. Jika kau berjuang sendiri kau maka akan merasa kecil, padahal kaummu sangatlah kuat”

Demikianlah kalimat yang muncul diawal film ini. Kalimat itulah yang menjadi jimat bagi Mandela untuk menyatukan segenap kekuatan rakyat Afrika Selatan untuk melakukan perlawan dan penindasan terhadap yang dilakukan kelompok kulit putih pada mereka. Penerapan politik Apartheid ini benar-benar menindas warga kulit hitam di Afsel. Apartheid sendiri adalah kata yang berasal dari Bahasa Afrika yang tersusun dari dua kata, apart dan heid. Apart  memiliki arti memisah sedangkan heid memiliki arti hukum.

Jadi, apartheid adalah kebijakan yang mengharuskan adanya pemisahan secara geografis antara kulit putih dan kulit hitam. Kebijakan ini ditetapkan pada tahun 1948 saat Perdana Menteri dari Partai Nasionalis, Daniel F. Malan terpilih kembali kemudian ia menyusun kebijakan secara geografis. Kebijakan ini diterapkan secara total tanpa pandang bulu di manapun tempatnya. Inilah masa di mana supremasi kulit putih dilakukan tanpa kompromi.

Dari film ini digambarkan pemisahan tersebut bahkan merambah hingga pada persoalan tempat duduk di moda transportasi seperti bis dan lainnya. Ada pelarangan bila warga kuli hitam melewati tempat-tempat umum seperti jalan raya dan restoran atau rumah makan yang dipenuhi oleh warga kulit putih. Yang sangat menyedihkan adalah warga kulit hitam bahkan dipanggil dengan sebutan kafir!!!. Kebijakan inipun kemudian direspon secara besar-besaran oleh seluruh warga kulit hitam di Afrika. Mereka melakukan aksi boikot untuk naik bis kota dan lebih memilih berjalan kaki hingga ke Johanesburg.

Kebijakan selanjutnya yang juga ditanggapi secara negatif oleh warga kulit hitam adalah,  saat pemerintah kulit putih menerapkan sebuah peraturan yang mengharuskan setiap warga kulit hitam membawa kartu identitas setiap saat. Akibat kebijakan ini, di Sharpeville, sebuah kota industry di Afsel bergolak aksi demontrasi besar-besaran mengepung kantor polisi di kota tersebut. Aksi ini berakhir rusuh. Sekitar 100 orang terbunuh karena diberondong senapan oleh pihak kepolisian, sedangkan ratusan lainnya mengalami luka-luka.

Film ini juga mengisahkan  perjalanan hidup Nelson Mandela saat terlibat masuk dalam organisasi Afrika Nasional Congress (ANC). Ia masuk dalam organisasi ini sejak tahun 1942. Berawal dari sinilah Mandela kemudian menggerakkan rakyat Afrika Selatan untuk bangkit melakukan perlawanan pada pemerintahan yang dianggapnya berlaku tak adil pada warga kulit putih. Karenanya Mandela pada akhirnya harus harus mendekam di dalam penjara Johanesburg Fort pada tanggal 5 Agustus 1962. Kemudian menghadapi persidangan di Gedung Keadilan Pretoria pada 1963.

Sidang ini dilakukan oleh pemerintah Afsel untuk kasus Mandela yang dianggap melakukan perlawanan pada komando tertinggi nasional. Dalam pengadilan ini, Mandela tak sendiri. Ia beserta pejabat teras ANC lainnya juga ikut di sidang dan dijatuhi hukuman  20 tahun penjara. Yang menarik saat persidangan ini adalah manakala Mandela dengan lantangnya meminta adanya kesetaraan di seluruh Afsel serta keinginan hak yang sama dalam politik. One man one vote.

Pembelaan Mandela ini tak mempengaruhi keputusan hakim untuk manjatuhkan vonis penjara baginya. Mulailah Mandela menghabiskan masa demi masa dari hidupnya di dalam penjara.  Ia kerap dipindah dari penjara yang satu ke penjara lainnya. Meskipun begitu, perlawanan rakyat Afsel yang telah digelorakannya dilanjutkan oleh kaum muda yang ada di luar sana.  Usia bertambah, rambut mulai dipenuhi uban, kulit sudah mulai menampakkan kematangannya dalam makan asam dan garamnya kehidupan ini, semangat perlawanan Mandela ternyata masih tetap bergelora meski ia berada di dalam penjara.

Maka saat istrinya mengunjunginya di penjara Poolsmoor, Mandela menitipkan sebuah surat untuk para pendukungnya. Surat ini kemudian dibaca oleh anaknya, Zindzi Mandela, di Orlando Stadium pada 10 Februari 1985 dihadapan ribuan orang yang memadati Stadium tersebut. Isi surat tersebut adalah penolakan Mandela terhadap pembebasan bersyarat yang diberikan Presiden Botha padanya. Saat itu, kekerasan antar etnis merebak diberbagai kota di Afrika Selatan. Rakyat tanpa segan-segan saling membunuh antar sesamanya, mereka juga melakukan penjarahan pada harta kekayaan milik warga kulit putih. Kacau. Benar-benar kacau.

Lewat surat yang ditujukan pada massa pendukungnya tersebut, Mandela berkata : “ Aku bukan orang yang suka dengan kekerasan, sebab itu hanya salah satu bentuk dari perlawanan. Yang tidak bisa lagi dihindari sehingga kami melawan dengan senjata. Biarkan Presiden Botha menghentikan kekerasannya. Biar dia yang membongkar apartheid. Aku tidak bisa dan tidak akan melakukannya, ketika aku dan kau, rakyat Afrika Selatan belum bebas. Kebebasanmu dan aku tidak bisa dipisahkan. Aku akan segera kembali”.

Dari sinilah Mandela kemudian mendapatkan perlakuan yang khusus dari pemerintahan kulit putih Afrika Selatan. Ia bahkan diajak untuk merundingkan nasib Afrika Selatan yang selalu dipenuhi oleh konflik antar etnis. Film ini benar-benar mengisahkan perjalanan hidup Mandela hingga pemilu bisa mengantarkannya menjadi Presiden kulit hitam pertama di Afrika Selatan.

Meskipun begitu, Mandela sebagaimana penuturannya, sangatlah menghargai semua ide tentang kebebasan. Ia juga mengharapkan terwujudnya masyaraka demokratis, di mana semua orang mampu hidup bersama-sama dalam satu harmoni dengan memiliki kesempatan yang sama. Dari Mandela-lah seharusnya kita belajar..!!!


Share this article :

1 komentar:

 
Support : Mas Template
Copyright © 2011. SHOFA AS-SYADZILI - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website | Edited by Arick Evano
Proudly powered by Blogger