TENGGELAM DALAM JAGAD AKSARA

Sabtu, 21 Juni 2014

Ada empat buku yang tumpas kubaca dalam minggu ini. Pertama, Sekarang Saatnya : Belajar Menulis Dengan Menulis. Kedua, Menulis Bersama Allah. Ketiga, Cerita Segelas Kopi karyanya Mbak Melanie Subono. Keempat, Berhala itu Bernama Budaya Pop.

Dari keempat buku tersebut, banyak hal yang bisa kupetik. Di antaranya prihal kemampuan bagaimana menulis agar tidak merasa kegiatan tersebut sebagai sebuah beban. Memang selama ini, menulis bagiku ibarat beban. Rasa malas selalu saja menghinggapi saat ada ide yang harus segera dituliskan. Padahal, saat menulis itulah saat di mana kita bisa belajar mengenal diri sendiri.

Lewat buku “Sekarang Saatnya : Belajar Menulis Dengan Menulis”, penulis Haderi mengajak kita semua untuk selalu menulis. Apapun itu. Harus dituliskan ujarnya. Tulis apa yang kau rasakan, kau dengar, kau lihat, dan kau alami. Tegasnya. Ada banyak hal di atas dunia ini yang harus dituliskan tanpa perlu menunggu datangnya ilham dari langit.

Haderi juga mengajak pembaca buku ini untuk selalu mengamati realitas yang terjadi di sekitar kita. Dengannya, tanpa terasa banyak hal atau ide yang bisa diambil untuk dituliskan. “ Tulis apa yang anda pikirkan, jangan memikirkan apa yang akan anda tulis” demikian ujarnya dengan penuh kemantapan. Memang selama ini, ketika hendak menulis, saya bukannya menulis apa yang saya pikirkan. Malah saya berpikiran. ‘apa ya yang akan saya tulis ya?”. Akhirnya, ya satu tulisanpun tak pernah tuntas untuk selesai. Yah begitulah penulis yang masih belum ada di tingkatan professional. Kadang saya malah lebih banyak menghabiskan waktu dengan membaca, membaca dan terus membaca.

Entah mengapa, kenikmatan membaca membuatku enggan untuk beranjak menuliskan akan hasil bacaan tersebut. Padahal, Haderi mengharapkan agar seusai membaca kita menuliskan hasil bacaan tersebut kemudian membaginya pada masyarakat. Dibagi via blog, fb atau twitter. Nah mungkin karena kebiasaan menulis yang jarang kulakukan, kadang aku menemukan kejenuhan saat menghabiskan waktu hanya dengan membaca. Padahal, sering kali saat usai menulis, aku merasakan nikmat yang tiada terkira. Aku seperti merasakan orgasme saat usai menuliskan itu semua. 
 
Ada beban yang lepas. Ada kepuasan sendiri kurasa. Mungkin ini yang dikatakan oleh Mbakku, Diana Sasa, yang pernah mengatakan bahwa aktivitas menulis itu sama dengan aktivitas kita saat berak, atau buang hajat. Lepas. Nikmat. Tanpa beban melepas apa yang kita punya. Setelah kupikir, ternyata emang benar. Saat aktifitas membaca terus menerus dilakukan tanpa diimbangi dengan aktivitas menulis, maka hasil bacaan itu akan mengendap di otak. Ia kemudian akan menjadi kerak-kerak otak yang membeku. Inilah mungkin yang mengharuskan, ada usaha untuk mengimbangi kebiasaan membaca dengan menulis.

Astaghfirullah. Aku terkadang melupakan kebiasaan menulis. Dulu saat pertama mengajar di kampus. Seusai ngajar aku sempatkan diri untuk menumpahkan segenap perasaan yang kualami saat mengajar dengan menulis. Tapi sudah dua bulan ini, tak satupun yang berhasil kutuliskan. Tak apalah. Mungkin dengan memulai lewat tulisan ini, kebiasaan itu tumbuh kembali.

Buku yang diterbitkan oleh Leutika ini memberiku banyak pelajaran yang bisa dipraktikkan saat menulis. Kuharap saat menulis nantinya tak lagi mengalami kendala seperti yang lalu-lalu. Memang, sebenarnya rasa malaslah yang mengungkungku untuk berbagi ilmu lewat tulisan. Menulis bisa kita lakukan saat kita mendapat ceritera dari orang lain. Menceriterakan kembali apa yang kita dengar dengan menuliskannya. Ini poin pertama dalam buku ini.

Selanjutnya, menulis dengan menanggapi pendapat, komentar orang lain. Baik itu pendapat tokoh, pimpinan dan kawan sendiri. Dengannya kita dilatih untuk berani beradu gagasan dengan siapapun. Apakah kita akan sepakat, menolak, atau mengkritisi pendapat-pendapat orang tersebut. Dengan berusaha menulis untuk menanggapi pendapat orang lain, kebiasaan menulis akan kerap kita lakukan. Apalagi saat ini banyak para tokoh berargumen prihal apa aja yang saat ini lagi booming. Soal pemilu presiden, piala dunia, hingga soal tindak kekerasan seksual yang membuat coreng moreng wajah pendidikan tanah air.

Tak tahulah. Yang jelas aku harus makin banyak membaca, melihat, mendengar, merasakan dan mencari pengalaman hidup untuk aku jadikan bahan tulisanku nantinya. Buku karya Haderi ini membukakan mataku yang selama ini enggan untuk menulis apa yang kudengar, kulihat, kurasakan dan yang kualami. Usai membaca buku ini, inilah tulisan yang telah aku hasilkan. Meski hanya sekedar catatan tak berarti, sedikit banyak mungkin ini ada hasil yang bisa dipetik olehku. Apakah itu? Aku PUAS!! Puas menumpahkan segenap rasa dan keinginan yang selama ini masih tersumbat di kepala. Seperti kataku tadi, saat menuliskan catatan ini, aku seperti bersenggama lalu menikmati orgasme bersama huruf-huruf itu.

Kemudian buku kedua yang tuntas aku baca minggu ini adalah buku karya Arroyyan Dwi Andini yang berjudul Menulis Bersama Allah terbitan Al-Manar Yogjakarta. Buku ini berupaya membahas prihal tulis menulis dengan mengaitkannya sebagai persoalan ibadah kepada Allah. Seorang penulis, menurut penulis buku ini, harus memulai kegiatannya dengan terlebih dahulu meluruskan niatnya bahwa tulisan yang hendak disusunnya adalah karena Allah.

Dalam buku ini penulisnya mengajak pembaca untuk selalu melibatkan Allah dalam setiap proses penulisan. Diawali dari niat yang tulus karena Allah, berdoa saat hendak mulai menulis, kemudian berdzikir kepada Allah saat menulis. Awalnya saya membaca buku ini agak sedikit risih juga. Kenapa buat buku praktis menulis kok kayak gini? Menulis jadi terkesan ribet, sulit. Tapi setelah aku pikir ulang. Buku praktis menulis yang begini memang langka dan tak ada di pasaran. Menjadikan proses menulis sebagai jalan ibadah kepada Allah adalah nilai jual yang selayaknya menjadikan pembaca tertarik untuk membeli kemudian membacanya.

Selain itu, buku ini juga mengupas beberapa sikap yang harus dimiliki oleh seorang penulis. Ia harus sabar, ihlas, tawakkal, ridha, pandai berbagi dan pandai bersyukur atas segala nikmat yang diberikan oleh Allah. Dari buku inilah saya menemukan tentang kedekatan seorang penulis itu dengan Tuhan-nya. Dari buku ini akumemetik sebuah pelajaran, jika anda ingin menghasilkan ide seluas samudera, maka janganlah menjauh dari Tuhan-mu. Dengan-Nya, dari-Nya semua ide akan ditumpahkan-Nya ke otakmu untuk dijadikan bahan tulisanmu. Maka, mulailah melibatkan Tuhan dalam setiap aktivitas menulismu.

Surabaya, 05 Juni 2014.

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Mas Template
Copyright © 2011. SHOFA AS-SYADZILI - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website | Edited by Arick Evano
Proudly powered by Blogger