Ada
empat buku yang tumpas kubaca dalam minggu ini. Pertama, Sekarang
Saatnya
: Belajar
Menulis
Dengan
Menulis.
Kedua, Menulis
Bersama
Allah.
Ketiga, Cerita
Segelas
Kopi
karyanya Mbak Melanie Subono. Keempat, Berhala
itu
Bernama
Budaya
Pop.
Dari
keempat buku tersebut, banyak hal yang bisa kupetik. Di antaranya
prihal kemampuan bagaimana menulis agar tidak merasa kegiatan
tersebut sebagai sebuah beban. Memang selama ini, menulis bagiku
ibarat beban. Rasa malas selalu saja menghinggapi saat ada ide yang
harus segera dituliskan. Padahal, saat menulis itulah saat di mana
kita bisa belajar mengenal diri sendiri.
Lewat
buku “Sekarang
Saatnya
: Belajar
Menulis
Dengan
Menulis”,
penulis Haderi mengajak kita semua untuk selalu menulis. Apapun itu.
Harus dituliskan ujarnya. Tulis apa yang kau rasakan, kau dengar, kau
lihat, dan kau alami. Tegasnya. Ada banyak hal di atas dunia ini yang
harus dituliskan tanpa perlu menunggu datangnya ilham dari langit.
Haderi
juga mengajak pembaca buku ini untuk selalu mengamati realitas yang
terjadi di sekitar kita. Dengannya, tanpa terasa banyak hal atau ide
yang bisa diambil untuk dituliskan. “ Tulis apa yang anda pikirkan,
jangan memikirkan apa yang akan anda tulis” demikian ujarnya dengan
penuh kemantapan. Memang selama ini, ketika hendak menulis, saya
bukannya menulis apa yang saya pikirkan. Malah saya berpikiran. ‘apa
ya yang akan saya tulis ya?”. Akhirnya, ya satu tulisanpun tak
pernah tuntas untuk selesai. Yah begitulah penulis yang masih belum
ada di tingkatan professional. Kadang saya malah lebih banyak
menghabiskan waktu dengan membaca, membaca dan terus membaca.
Entah
mengapa, kenikmatan membaca membuatku enggan untuk beranjak
menuliskan akan hasil bacaan tersebut. Padahal, Haderi mengharapkan
agar seusai membaca kita menuliskan hasil bacaan tersebut kemudian
membaginya pada masyarakat. Dibagi via blog, fb atau twitter. Nah
mungkin karena kebiasaan menulis yang jarang kulakukan, kadang aku
menemukan kejenuhan saat menghabiskan waktu hanya dengan membaca.
Padahal, sering kali saat usai menulis, aku merasakan nikmat yang
tiada terkira. Aku seperti merasakan orgasme saat usai menuliskan itu
semua.
Ada
beban yang lepas. Ada kepuasan sendiri kurasa. Mungkin ini yang
dikatakan oleh Mbakku, Diana Sasa, yang pernah mengatakan bahwa
aktivitas menulis itu sama dengan aktivitas kita saat berak, atau
buang hajat. Lepas. Nikmat. Tanpa beban melepas apa yang kita punya.
Setelah kupikir, ternyata emang benar. Saat aktifitas membaca terus
menerus dilakukan tanpa diimbangi dengan aktivitas menulis, maka
hasil bacaan itu akan mengendap di otak. Ia kemudian akan menjadi
kerak-kerak otak yang membeku. Inilah mungkin yang mengharuskan, ada
usaha untuk mengimbangi kebiasaan membaca dengan menulis.
Astaghfirullah.
Aku terkadang melupakan kebiasaan menulis. Dulu saat pertama mengajar
di kampus. Seusai ngajar aku sempatkan diri untuk menumpahkan segenap
perasaan yang kualami saat mengajar dengan menulis. Tapi sudah dua
bulan ini, tak satupun yang berhasil kutuliskan. Tak apalah. Mungkin
dengan memulai lewat tulisan ini, kebiasaan itu tumbuh kembali.
Buku
yang diterbitkan oleh Leutika ini memberiku banyak pelajaran yang
bisa dipraktikkan saat menulis. Kuharap saat menulis nantinya tak
lagi mengalami kendala seperti yang lalu-lalu. Memang, sebenarnya
rasa malaslah yang mengungkungku untuk berbagi ilmu lewat tulisan.
Menulis bisa kita lakukan saat kita mendapat ceritera dari orang
lain. Menceriterakan kembali apa yang kita dengar dengan
menuliskannya. Ini poin pertama dalam buku ini.
Selanjutnya,
menulis dengan menanggapi pendapat, komentar orang lain. Baik itu
pendapat tokoh, pimpinan dan kawan sendiri. Dengannya kita dilatih
untuk berani beradu gagasan dengan siapapun. Apakah kita akan
sepakat, menolak, atau mengkritisi pendapat-pendapat orang tersebut.
Dengan berusaha menulis untuk menanggapi pendapat orang lain,
kebiasaan menulis akan kerap kita lakukan. Apalagi saat ini banyak
para tokoh berargumen prihal apa aja yang saat ini lagi booming. Soal
pemilu presiden, piala dunia, hingga soal tindak kekerasan seksual
yang membuat coreng moreng wajah pendidikan tanah air.
Tak
tahulah. Yang jelas aku harus makin banyak membaca, melihat,
mendengar, merasakan dan mencari pengalaman hidup untuk aku jadikan
bahan tulisanku nantinya. Buku karya Haderi ini membukakan mataku
yang selama ini enggan untuk menulis apa yang kudengar, kulihat,
kurasakan dan yang kualami. Usai membaca buku ini, inilah tulisan
yang telah aku hasilkan. Meski hanya sekedar catatan tak berarti,
sedikit banyak mungkin ini ada hasil yang bisa dipetik olehku. Apakah
itu? Aku PUAS!! Puas menumpahkan segenap rasa dan keinginan yang
selama ini masih tersumbat di kepala. Seperti kataku tadi, saat
menuliskan catatan ini, aku seperti bersenggama lalu menikmati
orgasme bersama huruf-huruf itu.
Kemudian
buku kedua yang tuntas aku baca minggu ini adalah buku karya Arroyyan
Dwi Andini yang berjudul Menulis
Bersama
Allah
terbitan Al-Manar Yogjakarta. Buku ini berupaya membahas prihal tulis
menulis dengan mengaitkannya sebagai persoalan ibadah kepada Allah.
Seorang penulis, menurut penulis buku ini, harus memulai kegiatannya
dengan terlebih dahulu meluruskan niatnya bahwa tulisan yang hendak
disusunnya adalah karena Allah.
Dalam
buku ini penulisnya mengajak pembaca untuk selalu melibatkan Allah
dalam setiap proses penulisan. Diawali dari niat yang tulus karena
Allah, berdoa saat hendak mulai menulis, kemudian berdzikir kepada
Allah saat menulis. Awalnya saya membaca buku ini agak sedikit risih
juga. Kenapa buat buku praktis menulis kok kayak gini? Menulis jadi
terkesan ribet, sulit. Tapi setelah aku pikir ulang. Buku praktis
menulis yang begini memang langka dan tak ada di pasaran. Menjadikan
proses menulis sebagai jalan ibadah kepada Allah adalah nilai jual
yang selayaknya menjadikan pembaca tertarik untuk membeli kemudian
membacanya.
Selain
itu, buku ini juga mengupas beberapa sikap yang harus dimiliki oleh
seorang penulis. Ia harus sabar, ihlas, tawakkal, ridha, pandai
berbagi dan pandai bersyukur atas segala nikmat yang diberikan oleh
Allah. Dari buku inilah saya menemukan tentang kedekatan seorang
penulis itu dengan Tuhan-nya. Dari buku ini akumemetik sebuah
pelajaran, jika anda ingin menghasilkan ide seluas samudera, maka
janganlah menjauh dari Tuhan-mu. Dengan-Nya, dari-Nya semua ide akan
ditumpahkan-Nya ke otakmu untuk dijadikan bahan tulisanmu. Maka,
mulailah melibatkan Tuhan dalam setiap aktivitas menulismu.
Surabaya,
05 Juni 2014.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !