Vitamin T? Buku tentang apa ini?. Tentang
kesehatankah? Demikian tanya saya dalam hati saat berada di antara
tumpukan buku dalam agenda cuci gudang Penerbit Mizan di Surabaya.
Sebelumnya saya tidak begitu memperhatikan buku dengan judul aneh
tersebut. Mencuekkannya. Pikiran yang menyembul dalam benakku, buku ini
mungkin buku kesehatan. Habis judulnya begitu. Namun setelah saya
membayar sekitar delapan buku yang saya letakkan di kasir, mendadak saya
sekilas membaca nama penulis buku Vitamin T tersebut. Hernowo.
Ini Hernowo yang mana ya? Penuliskah? Atau seorang
Dokterkah? Seketika saya mengambil kembali buku itu dan
membolak-balikkannya. Oh ternyata Hernowo penulis tho. Batinku. Tapi
kenapa dia menulis soal Vitamin ya? Vitamin T pula. Vitamin apaan ini?
Pertanyaan kembali menggelayut dalam benakku. Dan mungkin sebagaimana
keraguan yang dituturkannya dalam buku ini, mungkinkah namanya bisa
menjadi garansi bagi pembaca untuk membelinya?
Saya termasuk penyuka tulisan-tulisan beliau yang ada di
jejaring sosial facebook. Sering saya membacanya dan setelah membacanya
saya jadi termotivasi untuk membaca dan menulis. Seketika itu juga
saya, berkeyakinan bahwa buku ini bagus. Jangan dilewatkan begitu saja.
Kuambillah buku ini dan kukumpulkan bersama buku-buku yang sudah masuk
dalam hitungan kasir.
Alhamdulillah. Ternyata dugaanku benar. Namanya menjadi
garansi. Buku ini membangkitkan kembali minat membaca dan menulisku yang
sudah sebulan lebih ini mengalami kevakuman. Diantara Sembilan buku
yang kubeli, buku inilah yang pertama kali kubaca. Subhanallah.
Saya tertegun. Tak jarang bulu kuduk merinding setiap
kali Pak Hernowo mengutip beberapa pendapat para tokoh-tokoh besar yang
menjelaskan tentang kekuatan yang tersimpan dan akan meledak tiap kali
proses membaca dan menulis dilakukan. Buku ini benar-benar menyadarkan
akan kelalaianku sebulan terakhir ini. Saya suka pola penyampaian
gagasan pak Hernowo yang begitu mudah dipahami, tak berbelit-belit. Prak
prak prak. Langsung mengena ke sasaran.
Saya suka membaca namun untuk menulis terkadang kemalasan
sering menyerang hingga membuatku terbelenggu oleh waktu yang kejam.
Tulisanku memang sering dimuat di media. Dan itu kebanyakan resensi.
Opini dan esai hanya beberapa saja. Kesukaan menulis resensi dilakukan
karena memang itulah cara yang paling mudah untuk memulai proses menulis
selain menulis diary.
Selain itu, saya selalu teringat dengan perkataan
Muhidin M.Dahlan saat pelatihan menulis di Bibliopolis awal tahun 2011
kemarin. Dia menuturkan bahwa seorang penulis professional pada mulanya
ia adalah seorang resensor buku. Seorang peresensi buku!!. Hernowo
bilang “Mengikat Makna adalah Meresensi Buku”
Dan saya baru menyadarinya setelah sekian lama bergelut
dengan buku. Ada banyak hal yang saya dapatkan setelah menelusuri dunia
teks ini. Saya dibawanya hanyut entah kemana. Saya diajaknya untuk
melakukan dialog imajiner dengan beberapa tokoh besar yang karyanya saya
baca kemudian saya resensi. Sayapun jadi tahu pengalaman seseorang yang
dituangkannya dalam bentuk kata.
Saya sangat berterima kasih sekali pada mentor-mentor
menulis saya. Mbak Sasa, Gus Muh, Pak Suparto Brata. Merekalah yang
menanamkan benih menulis dalam diri saya. Pak Hernowo, Sinta Yudisia,
Rizal Mumazziq Zionis, serta beberapa penulis lain yang memberikan
provokasi pada saya untuk segera meledakkan diri dengan potensi yang
saya miliki.
Buat pak Hernowo, terima kasih pak atas ilmunya dalam buku Vitamin T ini. Terutama dalam bab berjudul “Meresensi Buku Dalam Setting Mengikat Makna”.
Maklum pak. Khan sebagaimana saya katakan di depan saya suka menulis
resensi. Menulis opini ataupun esay jarang saya lakukan. Bukannya tidak
bisa. Tapi saya ingin agar saat menulis esay ataupun opini, tulisan saya
itu sarat dan kaya akan gagasan. Dan itu tak mungkin saya capai tanpa
membaca buku lalu meresensinya.
Tekhnik meresensi buku yang bapak terangkan sungguh makin
mempermudah saya untuk menulis resensi. Saya ingin ada di tahap yang
ketiga. Tahap Comparing.Tahap yang membandingkan satu buku dengan buku
yang lain dalam tema yang sama. Inilah tahap mengkritisi sebuah buku.
Inilah sebenarnya yang diajarkan oleh Gus Muh dulu, agar saya
menggunakan mata seorang penyidik.
Terakhir, sebagai upaya dalam mengedit ego, saya
benar-benar dilambungkan oleh kata-kata bijak Ursula K. Le Guin dalam
Buku Vitamin T ini. Dia berkata “Kita membaca buku untuk mencari
tahu tentang diri kita sendiri. Apa yang dilakukan, dipikirkan, dan
dirasakan oleh orang lain, entah itu nyata atau imajiner. Itu adalah
petunjuk buat kita untuk menyadari siapa kita dan akan menjadi seperti
apakah diri kita ini”
Salam ta’dzim buat mentor-mentor saya. Mbak Sasa, Gus
Muh, Pak Suparto Brata, Pak Hernowo dan yang lainnya. Semoga kita semua
bisa mengajak masyarakat Indonesia untuk kembali membangun peradaban
tinggi melalui proses membaca dan menulis. Salam.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !