NODA HITAM SASTRA INDONESIA

Jumat, 03 Februari 2012


Resensi ini di muat di harian Radar Surabaya, Minggu 22 Januari 2012

Judul Buku :Aku Mendakwa Hamka Plagiat : Skandal Sastra Indonesia 1962-1964

Penulis : Muhidin M Dahlan

Penerbit : Scripta Manent

Cetakan : I, September 2011

Tebal : 238 halaman



Penggemar buku sastra dan agama tentunya tahu dengan nama Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau biasa di kenal dengan nama HAMKA. Penulis tafsir Al-Azhar ini merupakan sosok manusia kelahiran Kampung Molek, Maninjau Kabupaten Agam Sumatera Barat. Sejarah jagad sastra Indonesia sepertinya serasa belum lengkap bila tanpa menyertakan sosok manusia satu ini.

Sebuah karyanya, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijks, pernah menjadi perdebatan panjang selama beberapa tahun di bumi sastra tanah air. Disinyalir itu hasil plagiasi dari novel karya sastrawan Prancis, Alphonse Karr, Sous Les Tilleuls yang diterjemahkan oleh pujangga Mesir , Mustafa Lutfi Al-Manfaluthi ke dalam bahasa Arab dengan judul Al-Majdulin.

Melalui buku berjudul Aku Mendakwa Hamka Plagiat, Skandal Sastra Indonesia 1962-1964 ini, Muhidin M Dahlan, mengajak pembaca untuk menyaksikan pertarungan laskar-laskar jago laga di palagan sastra Indonesia.

Sinar redup halaman-halaman lepas Bintang Timur Lentera menjadi petunjuk baginya untuk mengungkap kebenaran yang telah kian lama terpendam. Meski harus diakui pula, pertarungan waktu itu tak lepas dari dua kubu yang selalu berhadap-hadapan antar kelompok yang mengusung jargon seni untuk seni dan kelompok pengusung jargon politik adalah panglima.

Kontroversi plagiasi Hamka ini menjadi bacaan yang menarik dalam media Bintang Timur Lentera, sebuah koran yang digawangi oleh gembong-gembong sastra dari Lekra. Dalam buku Lekra Tak Membakar Buku : Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965, Muhidin M Dahlan dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri menyebutkan banyaknya pentolan Lekra yang menyebar di berbagai media termasuk Bintang Timur sekalipun.

Lembar kebudayaan Lentera, sebuah kolom yang menjadi tempat penghakiman terhadap karya Hamka itu sendiri di asuh oleh Pram dan S Rukiah Kertapati. Hal ini, menjadikan pentolan Lekra begitu kreatif untuk menghadang sastra yang kontra revolusi.

Genderang perang mulai di tabuh pertama kali oleh Begawan sastra Indonesia yang pernah menjadi kandidat kuat pemenang hadiah Nobel Sastra, Pramoedya Ananta Toer. Tanpa tedeng aling-aling, Pram menulis esei “Yang Harus Dibabat dan Yang Dibangun”. Esei ini menyengat siapapun yang mencoba berbuat culas, licik, bohong dan manipulatif dalam sastra Indonesia. Tak pelak esei pendek Pram ini di sambut antusias oleh Abdullah SP dengan langsung menudingkan telunjuknya pada Hamka

Ada tiga metode yang dipakai oleh Abdullah SP untuk menunjukkan bukti-bukti plagiasi yang dilakukan Hamka. Pertama, metode idea Script. Metode ini merupakan metode baru dalam babak sastra Indonesia pada masa itu.Penerapannya dengan menyarikan beberapa gagasan lalu memperbandingkan kalimat demi kalimat dalam sebuah buku.

Kedua, metode idea strip. Metode ini berasal dari permainan jiplak anak-anak dengan menggosok-gosokkan pensil di atas kertas yang dilandasi mata uang hingga terbentuk gambar yang ada pada mata uang tersebut. Ketiga, metode idea sketch. Metode ini adalah praktek dalam ilmu ukur untuk menvisualkan jumlah tokoh dalam kedua buku sebagai perbandingan. Hal.70

Tiga hal tersebutlah bukti-bukti yang diajukan Abdullah SP untuk mendakwa Hamka plagiat. Sebuah buku sudah dipersiapkan oleh Pram dengan judul sangar, menvonis. Hamka Plagiator. Belum sempat anak rohani Pram itu lahir, ia keburu disembelih oleh peristiwa tsunami politik Gestok 1965.

Selain menyajikan skandal sastra plagiasi Hamka, buku setebal 238 halaman ini juga berisi percikan beberapa skandal yang di anggap plagiasi yang pernah terjadi di dunia sastra Indonesia. Dari Cerpen Dadang Ari Murtono,Puisi Taufik Ismail, Dodolit Dodoltolstoy-nya Seno Gumira Aji Darma hingga setetes perjalanan plagiator Yahya Muhaimin yang bahkan bisa melenggang kangkung menjadi pejabat elit di negeri kaya seni ini.

Buku ini hadir untuk memberikan pencerahan sikap pada pembaca agar bisa mengetahui mana padi mana gulma. Mana karya yang harus ditumbuh kembangkan, mana yang harus di babat pula. Sebab sejarah sastra adalah sejarah bangsa, sekelam apapun itu tetaplah ada dalam memori kolektif bangsa kita.

Tak perlu lagi memperdebatkan seni untuk seni ataupun seni untuk rakyat. Yang harus dilakukan adalah kerja, kerja dan kerja. Karya, karya dan karya. Itulah yang harus dilakukan oleh generasi pasca Pram, pasca Jassin, dan pasca petarung-petarung dalam perang sastra 1960-an.

Sudah saatnya konflik laten ideologi dalam sastra tidak lagi digembar gemborkan. Biarkan mahkamah sejarah nanti yang akan memutuskan. Namun satu hal pasti, berkesenian mestilah di tempuh dengan jalan yang sehat, penuh keringat dan bukan jalan kotor asal terabas untuk merengkuh popularitas. Demikianlah sabda Muhidin M Dahlan dalam buku ini. Selamat Membaca.

* Peresensi Mahasiswa Theologi & Filsafat IAIN Sunan Ampel, bergiat di DBUKU Bibliopolis Surabaya
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Mas Template
Copyright © 2011. SHOFA AS-SYADZILI - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website | Edited by Arick Evano
Proudly powered by Blogger