
Korupsi. Kata yang begitu seksi akhir-akhir ini. Kata yang berasal dari bahasa latin Cooruptio ini seakan-akan sudah mendarah daging dalam benak kita.Penyuapan untuk mempermudah urusan bukan hal yang tabu lagi.Problematika penegakan hukum yang masih tebang pilih, serta masih kaburnya kasus yang menampar aparat penegak hukum dengan kaburnya Gayus Halomoan Tambunan makin membuktikan bopengnya wajah hukum di negeri ini. Gambaran detail tentang budaya korupsi dengan gamblang bisa kita ketahui dari novel ini. Meskipun latar kejadiannya di Maroko, akan tetapi ini menjelaskan bahwa di negara manapun korupsi adalah persoalan Universal semua bangsa.
Novel dengan judul asli L’Homme Rompu atau Korupsi ini merupakan hasil terjemahan karya seorang penulis kelahiran Fez, Maroko bernama Tahar Ben Jelloun. Ia mendeskripsikan secara detail proses terjadinya korupsi di Maroko. Meski mengambil setting di Maroko, pola para pelaku di novel ini dalam melakukan korupsi mirip betul dengan pola yang terjadi di Indonesia. Novel setebal 233 halaman ini ia dedikasikan juga untuk Sang Begawan Sastra dari Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Karena dari novel dengan judul sama milik Pram-lah, karya Tahar ini lahir.
Satu kutipan menarik dalam buku ini bisa diketengahkan. Keinginan seorang anak yang mempunyai cita-cita tinggi dalam pendidikannya terpaksa harus gigit jari. Sebabnya, Ayahnya yang merupakan Pegawai Negeri Dinas Pekejaan Umum tidak mempunyai koneksi untuk memuluskan keinginannya.
“Aku belajar saja, kadang aku putus asa, terutama ketika tahu bahwa perlu ada koneksi untuk segala hal. Aku ingin masuk ke Universitas. Tentu saja ada ujian saringan, tapi seringkali hal itu tidak cukup. Perlu ada rekomendasi. Dan hal itu tidak bisa dibeli”.
Novel dengan judul asli L’Homme Rompu atau Korupsi ini merupakan hasil terjemahan karya seorang penulis kelahiran Fez, Maroko bernama Tahar Ben Jelloun. Ia mendeskripsikan secara detail proses terjadinya korupsi di Maroko. Meski mengambil setting di Maroko, pola para pelaku di novel ini dalam melakukan korupsi mirip betul dengan pola yang terjadi di Indonesia. Novel setebal 233 halaman ini ia dedikasikan juga untuk Sang Begawan Sastra dari Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Karena dari novel dengan judul sama milik Pram-lah, karya Tahar ini lahir.
Satu kutipan menarik dalam buku ini bisa diketengahkan. Keinginan seorang anak yang mempunyai cita-cita tinggi dalam pendidikannya terpaksa harus gigit jari. Sebabnya, Ayahnya yang merupakan Pegawai Negeri Dinas Pekejaan Umum tidak mempunyai koneksi untuk memuluskan keinginannya.
“Aku belajar saja, kadang aku putus asa, terutama ketika tahu bahwa perlu ada koneksi untuk segala hal. Aku ingin masuk ke Universitas. Tentu saja ada ujian saringan, tapi seringkali hal itu tidak cukup. Perlu ada rekomendasi. Dan hal itu tidak bisa dibeli”.
Itulah ungkapan sang anak pada ayahnya yang bekerja di Kementerian Pekerjaan Umum di Casablanca, Maroko. Murad nama ayah anak tersebut. Seorang Pegawai Negeri yang mempunyai integritas serta kejujuran sangat tinggi dalam bekerja. Pemalu, tapi tidak jika dihadapan Koruptor. Pantang baginya melakukan kongkalikong dengan siapapun. Meski kehidupannya selalu berada dalam kekurangan.
Tugas Murad menyeleksi seluruh berkas yang masuk dalam Kementerian PU. Tanpa tandatangannya jangan harap izin pembangunan akan berjalan. Gelar Insinyur ia raih di Sekolah Insinyur Prancis, serta sarjana ekonomi ia raih di Universitas Muhammad V di Rabat.
Istrinya seorang perempuan berwatak keras, bermata duitan. Hilma namanya. Semua saudaranya bergelimang harta dan hidup dalam kemewahan. Hal itu membuatnya terus menekan Murad untuk meminta komisi dari tiap berkas yang ditandatangani. Keinginannya hanya agar anak-anaknya tidak hidup dalam kesukaran layaknya hidup yang mereka jalani.
Dari hasil perkawinannya dengan Hilma, Murad memiliki dua buah hati yang selalu memberi motivasi untuk mempertahankan kejujuran. Si sulung bernama Wassit. Seorang pelajar SMA yang mempunyai impian untuk bisa melanjutkan pendidikan ke Universitas melalui program beasiswa. Selalu mengulang pelajarannya tidak di rumah, tapi di jalan raya. Di bawah temaram lampu jalanan. Berkali-kali Murad mengajukan permohonan beasiswa untuk anaknya ini melalui pos. Berkali-kali pula penolakan yang ia terima. Alasannya hanya satu, tak punya koneksi!
Sedangkan si bungsu, Karina, mengidap penyakit asma. Perhatiannya sangat besar pada Murad. Mimpi yang selalu diharapkan jadi kenyataan adalah keinginannya untuk menginap di hotel yang mempunyai kolam renang. Dan Karima berharap kalau ayahnya bisa mengajaknya berlibur ke Tangier. Harapan yang selalu ia pendam sejak dulu.
Lingkungan kerja yang korup, membongkar nalar bebal Murad untuk berlaku korup pula. Ia yang dikenal gigih mempertahankan kejujuran, pada akhirnya runtuh juga imannya. Keinginan yang besar untuk membahagiakan dua buah hatinya membuat Murad melakukan tindak pidana korupsi.
Korupsi pertama ia lakukan kala mempermudah proyek Tuan Sabbane dengan menandatanganinya melalui perantaraan Haji Hamid. Ia yang tidak pernah merasakan memegang uang sebanyak dua juta sen, gemetar badannya. Hingga pertarungan batin terjadi dalam dirinya. Pelajaran tentang keluwesan dalam menjalani hidup akhirnya ia praktekkan juga. Keluwesan dalam artian tidak memegang prinsip secara kaku ia dapatkan dari Direkturnya di kantor. Keluwesan melakukan secara tersembunyi bukanlah korupsi, namun ekonomi parallel. Dan itu diperlukan untuk menjaga stabilitas Negara dari pemberontakan. Pemberontakan para pegawai pemerintah yang digaji sangat kecil.
Didalamnya novel ini tidak hanya mengisahkan tentang pertarungan batin Murad dalam pekerjaannya. Tapi juga menyingkap konflik rumah tangga antara Murad dan Hilma, istrinya. Pertengkaran yang sering terjadi antara mereka membuat biduk rumah tangga yang dibangun menjadi karam.
Lepas dari Hilma, Murad merasa menemukan cinta sejatinya pada sosok Nadia, gadis yang masih sepupu dengannya. Sedang Nadia sendiri seorang janda beranak satu. Suaminya meninggal dalam kecelakaan mobil saat menabrak truk yang berhenti di jalan tol.Kecintaan Nadia pada Murad karena integritas kejujuran yang dimiliki oleh Murad. Kemarahan Nadia pada Murad saat melakukan korupsi, membuka mata Murad bahwa kejujuran adalah sesuatu yang sangat mahal harganya. Julukan Manusia Butiran Pasir pada Murad merupakan julukan buat manusia-manusia yang tidak mau di suap ataupun melakukan korupsi di tempat kerjanya.
Dengan cermat Tahar menggambarkan modus operandi korupsi di Maroko dalam novel ini. Memberi dan menerima suap untuk memuluskan proyek yang digawangi. Menandatangani berkas-berkas hingga bisa membuat proyek pembangunan di sana sini sudah dianggap hal yang lumrah terjadi. Korupsi sepertinya sudah membudaya dan menjalar ke lapisan paling bawah sekalipun. Dekatnya prilaku korupsi semacam penyuapan dalam kehidupan sehari-hari, membuat keyakinan bahwa perbuatan itu bukanlah bentuk daripada prilaku korupsi.
Meski ending akhir dari novel ini agak membingungkan dengan tidak diketahuinya nasib dari kedua anak Murad. Novel ini layak sekali di baca oleh seluruh kalangan yang ada di negeri ini. Pegawai negeri, Hakim, Pengusaha, serta praktisi hukum. Agar aparat penegak hukum itu bisa mengetahui seluk beluk serta bentuk-bentuk prilaku korupsi. Selain itu, dengan sampul yang bergambar segepok uang dalam amplop, mencitrakan uanglah yang dijadikan rayuan untuk melakukan tindakan itu. Istilah yang ada di tengah-tengah masyarakat KUHP bukan lagi Kitab Undang-undang Hukum Pidana tapi malah Kasih Uang Habis Perkara. Sebab dengan uanglah segala urusan bisa beres.
Judul Buku : Korupsi (L’ Homme Rompu)
Penulis : Tahar Ben Jelloun
Penerjemah : Okke K.S. Zaimar
Penerbit : PT.Serambi Ilmu Semesta
Cetakan : Pertama, November 2010
Tebal : xiii 233 hal
ISBN : 978-979-024-073-5
Peresensi Aktif di Bengkel Menulis Bibliopolis Surabaya
(Resensi ini di Muat di koran Radar Surabaya Minggu,6 Februari 2011)
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !