Awalnya,
aku mengetahui prihal film ini dari membaca Koran Sindo edisi Sabtu, 10 Januari
2014. Aku baca synopsis film tersebut sambil membatin, “ini film bagus! Wajib
nonton!”. Entah apakah karena memang sudah jalannya, aku semakin penasaran
untuk segera mencari cara agar bisa menonton film yang dibintangi oleh Aamir
Khan ini.
Bagaimana
tidak, saat tangan dengan lincahnya membuka social media Twitter, ada teman
dumay-ku yang ngecuit prihal film tersebut. Penasaran pertama mulai tumbuh.
Kedua, saat makan Nasi Goreng Gila disekitaran wilayah Tebet Barat, ndilalah
temanku, si Asghar malah bercerita soal film tersebut. Rasa ingin tahuku
semakin membesar hingga sepulangnya dari makan malam tersebut, aku berusaha
meminta temanku untuk mencari film tersebut.
Film
tersebut mengisahkan tentang perenungan Tipsy (Aamir Khan) dalam mencari Tuhan.
Pencarian itu bermula saat kalung yang dimilikinya dirampas penduduk bumi.
Sedangkan kalung itu berfungsi sebagai alat komunikasi antara Tipsy dengan
mahluk yang sama dengannya yang berada di luar bumi. Tipsy selalu bertanya pada
tiap orang yang ditemuinya apakah mereka menemukan kalung miliknya itu. Jawaban
mereka sama semuanya. Mengarahkan dan menyarankan Tipsy untuk bertanya dan
menyerahkan segala permasalahannya kepada Tuhan.
Mulailah
ia berpikir tenang siapakah Tuhan itu? Di mana keberadaan-Nya? Di manakah ia
bisa menemui-Nya? Pertanyaan-pertanyaan filosofis yang meluncur keluar mengajak
penonton yang menonton film ini serasa diajak masuk merenungi eksistensi
keberagamaannya. Untuk mencari Tuhan, Tipsy keluar masuk tempat peribadatan
umat manusia. Kuil, vihara, masjid ia masuki. Namun tak satupun dari tempat itu
yang bisa mempertemukannya dengan Tuhan dan bisa menyelesaikan masalahnya.
Tipsy
bahkan melakukan ritual agama berbagai
keyakinan yang ada. Pembaptisan, sholat, kebaktian, persembahyangan hingga
ritual agama yang ada di Delhi, yang menurut akal sangatlah tidak rasional.
Tipsy, dalam film ini sepertinya hendak menyampaikan pesan bahwa sebenarnya
antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya tak ada perbedaan.
Manusia, dari manapun ia berasal, saat kelahirannya mestilah telanjang. Agama
dan keyakinan kemudian menjadi pemberi sekat dan batas antar manusia.
Ujung-ujungnya agama menjadi sebagai sebuah identitas social di masyarakat.
Masyarakat
bahkan terjebak pada cara berpakaian penganut agama. Simbol keagamaan akan bisa
dilihat dari cara berpakaian seseorang, bukannya dinilai dari prilakunya dalam
kehidupan. Tipsy ini bahkan menyuguhkan pada penontonnya, masih banyak dijumpai kalangan agamawan yang
menjadikan agama sebagai tunggangan untuk mengeruk keuntungan pribadi.
Ketenaran, kekayaan bahkan hingga yang paling parah menjadikan ayat-ayat Tuhan
sebagai dalil untuk melakukan pembunuhan atau terorisme atas sesamanya.
Penganut agama yang seperti inilah yang disebut oleh Tipsy sebagai penganut
agama yang ‘wrong number’. Salah dalam memahami maksud dari Tuhan akan adanya
keragaman agama dalam dunia ini.
Sebagian
besar dari film ini memang menunjukkan bagaimana prilaku umat beragama dalam
kehidupan mereka sehari-hari. Yang kebanyakan bagi mereka, kepercayaan akan
Tuhan adalah hal yang mutlak bagi manusia. Tak peduli, apakah kepercayaan
tersebut bertentangan dengan rasio dan akal sehatnya. Mungkin inilah yang
dikatakan oleh Filsuf Gila Nietzsche yang mengatakan bahwa manusia tak bisa
hidup tanpa adanya pegangan, dalam hal ini, sesuatu yang bisa memberikan
keamanan, kenyamanan dan kebahagiaan dalam menjalani hidup ini atau Tuhan.
Film
PK ini menunjukkan realitas keberagamaan manusia yang bertentangan dengan
hakikat adanya agama di atas bumi. Sebuah film menarik yang mencoba menggedor
kesadaran manusia untuk melihat ke dalam prilaku keberagamaannya. Menyaksikan
film ini ibarat membaca buku Zarathustra karya penjagal Tuhan dari Jerman itu,
Nietzsche. Bedanya, Nietzsche menganggap Tuhan telah mati. Sedangkan Tipsy
dalam film ini berusaha untuk mencari ‘Tuhan’.
Yah…
Film ini bila dilihat dengan kacamata kuda terkesan akan dianggap sebagai
sebuah penghinaan terhadap agama. Hindu dilecehkan, Islam dihina, Kristen
dikutuk, hingga agama lainnya yang mengajak para penganutnya untuk membenci sesama
dikritiknya habis-habisan. Inilah sebuah film yang mengajak penontonnya untuk
kembali mencari esensi dari agama itu sendiri.
Tuhan
memang adalah hal paling seksi dan sensitive bila dibicarakan. Mengutak-atiknya
akan dianggap sebagai sebuah upaya untuk mendekonstruksi bangunan keyakinan
yang sudah sejak dulu dibenarkan oleh manusia. Dan itu dianggap sebagai hal
yang tabu dilakukan. Mungkin sudah seharusnya perkataan Ahmad Wahib diajukan
dalam tulisan ini. Lewat catatan hariannya ‘Pergolakan Pemikiran Islam’, Wahib
mengatakan bahwa ‘Tuhan bukanlah wilayah yang terlarang untuk dipikirkan’.
Wahib juga mengatakan bahwa ia sudah mengetahui Islam menurut Hamka, menurut
Abduh, Al-Ghazali, Al-Afghani, namun ia belum mengetahui Islam menurut Allah.
Begitu
pula agama. Masih banyak yang belum mengetahui dan membedakan, agama sebagai
sebuah produk dari Tuhan dan agama sebagai sebagai sebuah produk pemikiran
manusia yang diwujudkan dalam bentuk ritualitas yang berbeda-beda antar umat
beragama. Di sinilah pentingnya melakukan ‘passing over’. Melintasi berbagai
bentuk ritual dan symbol yang dilakukan oleh penganut agama.
Agama
sudah selayaknya tidak lagi dijadikan sebagai alat untuk melakukan pembenaran
atas pembunuhan pada sesamanya. Melainkan ia harus menjadi tali yang menyatukan
antara umat yang satu dengan dengan yang lainnya. Wassalam….
Film bagus, kanda. Kritik terhadap simbol.
BalasHapushttp://injenuitas.blogspot.com/