Paska tergulingnya Presiden Tunisia Zein Al-Abidine Ben Ali, dunia Arab mengalami konstalasi politik yang menegangkan. Ibarat bola salju, Revolusi Melati di Tunisia tersebut diikuti oleh beberapa Negara lain. Albania, Mesir, Al-jazair, Mauritania dan terakhir Yaman. Revolusi Melati yang bermula dari pembakaran diri seorang pedagang asongan, Mohammed Bouazizi pada tanggal 17 Desember lalu, akhirnya diikuti oleh beberapa pemuda dari Negara Arab lain.
Di Yaman sendiri, Presiden Ali Abdullah Saleh yang berkuasa selama tiga puluh dua tahun menghadapi gelombang demonstrasi dari seluruh rakyat. Terinspirasi dari Tunisia, telah banyak lahir Bouazizi-Bozuazizi lain di dunia Arab. Meskipun tindakan pembakaran itu tidak sesukses Bouazizi Tunisia.
Kekecewaan rakyat dari beberapa negara Arab tersebut disebabkan karena kondisi ekonomi, politik dan social yang mengalami ketimpangan. Kemiskinan, korupsi serta pengangguran sepertinya sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Sejarah mencatat bahwa tumbangnya suatu rezim itu tidak lepas bermula dari krisis ekonomi.
Dalam konteks keindonesiaan saat ini, kita bisa amati beberapa krisis yang sudah mencengkeram perjalanan pemerintahan SBY kali kedua ini. Korupsi yang merajalela sepertinya sudah menjadi budaya. Pelaku korup bukan hanya pejabat yang ada di pusat pemerintahan saja. Tapi bahkan sudah mulai mengakar ke pemimpin di tingkatan daerah.
Dari segala tingkatan, kepemimpinan di negeri ini sudah tersandera oleh korupsi. Ironisnya, hanya lima dari 33 provinsi di Indonesia yang kepala daerahnya bebas dari korupsi (Kompas,24 Januari). Hal inilah yang menyebabkan terjadinya tsunami kepercayaan rakyat pada pemimpinnya. Pemimpin bukan lagi seorang panutan tapi malah menjadi ceemohan dan pesakitan.
Setidaknya itu bisa dilihat dari pernyataan SBY kala bertemu dengan para petinggi militer dan kepolisian. Pernyataan SBY kalau gajinya tidak pernah mengalami kenaikan selama tujuh tahun masa kepemimpinannya, bukannya malah mendapat apresiasi dari masyarakat. Tapi malah cibiran. Meskipun pada akhirnya keluhan itu disambut juga dengan dinaikkannya gaji presiden. Tapi, hal itu ironis sekali di atas kondisi perekonomian rakyat yang masih belum stabil. SBY selayaknya memperhatikan faktor-faktor penyebab runtuhya rezim Ben Ali. Apalagi saat keran demokrasi di buka sebebas-bebasnya saat ini. Rakyat bebas menyuarakan apa pun. Termasuk menghina simbol negara sekalipun.
Hal itu bisa dilihat dari aksi penggalangan dana berupa koin buat SBY. Presiden yang merupakan symbol daripada sebuah negara kini mengalami derivasi dalam jabatannya. Berbeda sekali saat masa orde lama dan orde baru. Pada orde lama, Sukarno begitu wibawa dengan pola demokrasi terpimpin yang dicanangkannya. Tak banyak aksi yang bisa menjatuhkan wibawa serta kehormatannya. Rakyat terhegemoni dalam buaian orasi-orasi kebangsaan Sukarno. Meskipun pada akhirnya, Sukarno jatuh lewat aksi kudeta merangkak yang dilakukan oleh Soeharto.
Soeharto yang menggantikan Sukarno malah lebih berwibawa. Tak satupun yang berani melakukan kritik secara terang-terangan didepannya. Undang-undang subversive bisa menjerat siapapun yang dianggap menghina symbol-simbol negara. Tak heran pada masa kepemimpinannya, Soeharto berkuasa selama tiga puluh dua tahun. Slogan pembangunan Soeharto ibarat jarum suntik pembius kesadaran rakyat. Rakyat tanpa sadar menjadi mabuk dengan kata pembangunan.
Sukarno, Soeharto dan Ben Ali adalah contoh kasus yang harus dipelajari oleh SBY. Ketiganya terguling karena factor ekonomi negara yang carut marut serta proses penegakan hukum yang tidak optimal. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh SBY agar nantinya kepemimpinan yang diembannya bisa sampai di ujung pengabdiannya.
Respon pemerintah yang cepat, tepat serta terukur sangat diharapkan sekali agar nantinya konsentrasi pemerintah tidak terganggu. Jamak diketahui kalau saat ini SBY banyak mengalami serangan kritik, baik dari dalam parlemen ataupun dari luar parlemen. Dari dalam parlemen, adanya suara sejumlah fraksi di DPR yang kembali menyuarakan isu Hak Menyatakan Pendapat atas kasus Century.
Sedangkan dari luar parlemen, SBY sepertinya selalu kena gebuk di sana sini. Gerakan anti kebohongan pemerintah yang disuarakan oleh tokoh-tokoh lintas agama membuat jalan pemerintahan untuk sementara menjadi pincang. Serangan dari luar parlemen tidak hanya berhenti di kaki para tokoh lintas agama. Di gedung joeang 45 Jakarta, 100 tokoh masyarakat dari berbagai unsur menyatakan dukungannya atas pernyataan tokoh lintas agama itu. Ditambah lagi dengan dikeluarkannya 33 kegagalan pemerintah oleh elemen Gerakan Rakyat Untuk Demokrasi (Garuda).
Meningkatnya perlawanan atas pemerintah ini tak terlepas dari pola kepemimpinan SBY yang terlalu mementingkan pencitraan. Sudah saatnya SBY berani keluar dari politik pencitraan yang sering dimainkannya. Sebab jika tidak, akumulasi ketidakpercayaan ini bisa mengakibatkan terjadinya distrust rakyat pada pemimpinnya. Distrust rakyat ini bukannya tanpa alasan, tapi karena rakyatlah yang merasakan langsung dampak dari kebijakan yang dikeluarkan oleh SBY.
Tak ada jalan lain buat SBY selain menggunakan ketegasannya dalam proses penegakan hukum serta melakukan langkah-langkah konkret dalam menekan laju angka kemiskinan. Jika hal demikian diabaikan, bukan hal yang mustahil kalau SBY nantinya mengalami nasib yang sama dengan Ben Ali. Sebab, bukankah politik itu adalah seni kemungkinan?
Dimuat di Koran Radar Surabaya, Jum'at 28 Januari 2011
Di Yaman sendiri, Presiden Ali Abdullah Saleh yang berkuasa selama tiga puluh dua tahun menghadapi gelombang demonstrasi dari seluruh rakyat. Terinspirasi dari Tunisia, telah banyak lahir Bouazizi-Bozuazizi lain di dunia Arab. Meskipun tindakan pembakaran itu tidak sesukses Bouazizi Tunisia.
Kekecewaan rakyat dari beberapa negara Arab tersebut disebabkan karena kondisi ekonomi, politik dan social yang mengalami ketimpangan. Kemiskinan, korupsi serta pengangguran sepertinya sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Sejarah mencatat bahwa tumbangnya suatu rezim itu tidak lepas bermula dari krisis ekonomi.
Dalam konteks keindonesiaan saat ini, kita bisa amati beberapa krisis yang sudah mencengkeram perjalanan pemerintahan SBY kali kedua ini. Korupsi yang merajalela sepertinya sudah menjadi budaya. Pelaku korup bukan hanya pejabat yang ada di pusat pemerintahan saja. Tapi bahkan sudah mulai mengakar ke pemimpin di tingkatan daerah.
Dari segala tingkatan, kepemimpinan di negeri ini sudah tersandera oleh korupsi. Ironisnya, hanya lima dari 33 provinsi di Indonesia yang kepala daerahnya bebas dari korupsi (Kompas,24 Januari). Hal inilah yang menyebabkan terjadinya tsunami kepercayaan rakyat pada pemimpinnya. Pemimpin bukan lagi seorang panutan tapi malah menjadi ceemohan dan pesakitan.
Setidaknya itu bisa dilihat dari pernyataan SBY kala bertemu dengan para petinggi militer dan kepolisian. Pernyataan SBY kalau gajinya tidak pernah mengalami kenaikan selama tujuh tahun masa kepemimpinannya, bukannya malah mendapat apresiasi dari masyarakat. Tapi malah cibiran. Meskipun pada akhirnya keluhan itu disambut juga dengan dinaikkannya gaji presiden. Tapi, hal itu ironis sekali di atas kondisi perekonomian rakyat yang masih belum stabil. SBY selayaknya memperhatikan faktor-faktor penyebab runtuhya rezim Ben Ali. Apalagi saat keran demokrasi di buka sebebas-bebasnya saat ini. Rakyat bebas menyuarakan apa pun. Termasuk menghina simbol negara sekalipun.
Hal itu bisa dilihat dari aksi penggalangan dana berupa koin buat SBY. Presiden yang merupakan symbol daripada sebuah negara kini mengalami derivasi dalam jabatannya. Berbeda sekali saat masa orde lama dan orde baru. Pada orde lama, Sukarno begitu wibawa dengan pola demokrasi terpimpin yang dicanangkannya. Tak banyak aksi yang bisa menjatuhkan wibawa serta kehormatannya. Rakyat terhegemoni dalam buaian orasi-orasi kebangsaan Sukarno. Meskipun pada akhirnya, Sukarno jatuh lewat aksi kudeta merangkak yang dilakukan oleh Soeharto.
Soeharto yang menggantikan Sukarno malah lebih berwibawa. Tak satupun yang berani melakukan kritik secara terang-terangan didepannya. Undang-undang subversive bisa menjerat siapapun yang dianggap menghina symbol-simbol negara. Tak heran pada masa kepemimpinannya, Soeharto berkuasa selama tiga puluh dua tahun. Slogan pembangunan Soeharto ibarat jarum suntik pembius kesadaran rakyat. Rakyat tanpa sadar menjadi mabuk dengan kata pembangunan.
Sukarno, Soeharto dan Ben Ali adalah contoh kasus yang harus dipelajari oleh SBY. Ketiganya terguling karena factor ekonomi negara yang carut marut serta proses penegakan hukum yang tidak optimal. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh SBY agar nantinya kepemimpinan yang diembannya bisa sampai di ujung pengabdiannya.
Respon pemerintah yang cepat, tepat serta terukur sangat diharapkan sekali agar nantinya konsentrasi pemerintah tidak terganggu. Jamak diketahui kalau saat ini SBY banyak mengalami serangan kritik, baik dari dalam parlemen ataupun dari luar parlemen. Dari dalam parlemen, adanya suara sejumlah fraksi di DPR yang kembali menyuarakan isu Hak Menyatakan Pendapat atas kasus Century.
Sedangkan dari luar parlemen, SBY sepertinya selalu kena gebuk di sana sini. Gerakan anti kebohongan pemerintah yang disuarakan oleh tokoh-tokoh lintas agama membuat jalan pemerintahan untuk sementara menjadi pincang. Serangan dari luar parlemen tidak hanya berhenti di kaki para tokoh lintas agama. Di gedung joeang 45 Jakarta, 100 tokoh masyarakat dari berbagai unsur menyatakan dukungannya atas pernyataan tokoh lintas agama itu. Ditambah lagi dengan dikeluarkannya 33 kegagalan pemerintah oleh elemen Gerakan Rakyat Untuk Demokrasi (Garuda).
Meningkatnya perlawanan atas pemerintah ini tak terlepas dari pola kepemimpinan SBY yang terlalu mementingkan pencitraan. Sudah saatnya SBY berani keluar dari politik pencitraan yang sering dimainkannya. Sebab jika tidak, akumulasi ketidakpercayaan ini bisa mengakibatkan terjadinya distrust rakyat pada pemimpinnya. Distrust rakyat ini bukannya tanpa alasan, tapi karena rakyatlah yang merasakan langsung dampak dari kebijakan yang dikeluarkan oleh SBY.
Tak ada jalan lain buat SBY selain menggunakan ketegasannya dalam proses penegakan hukum serta melakukan langkah-langkah konkret dalam menekan laju angka kemiskinan. Jika hal demikian diabaikan, bukan hal yang mustahil kalau SBY nantinya mengalami nasib yang sama dengan Ben Ali. Sebab, bukankah politik itu adalah seni kemungkinan?
Dimuat di Koran Radar Surabaya, Jum'at 28 Januari 2011
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !