IBNU SINA, SKETSA DOKTER TELADAN

Minggu, 20 Februari 2011


     “Saya mengusulkan pada Dewan Dokter dan Dewan Ulama’ untuk melarang keras praktek-praktek dokter yang belum mumpuni. Sebab mereka bisa membahayakan nyawa banyak orang dan selalu menyalahgunakan pekerjaannya untuk mengumpulkan harta benda, emas dan perak”
     
     Itulah salah satu kalimat menarik yang ada dalam buku terbitan Penerbit Zaman ini. Sebab, beberapa hari yang lalu, public dikejutkan oleh kabar masih beroperasinya praktek aborsi illegal yang dilakukan oleh dr. Edward Armando. Dokter kelahiran Suriname ini berdasarkan penyelidikan aparat kepolisian telah melakukan pengguguran terhadap 1500 janin tak berdosa para pasien yang datang padanya. Kalangan dokter di buat meradang karena ulahnya. Kalangan agamawan, apalagi. Etika dalam dunia kedokteran sepertinya sudah tak dihiraukan lagi olehnya. Harta, uang telah membuat dr. Edward menggadaikan profesi terhormat yang menyangkut nyawa manusia.

   Etika kedokteran yang dulu pernah ada, sepertinya harus dimunculkan kembali ke permukaan. Agar nantinya profesi dokter kembali ke-khittah-nya sebagai penyelamat nyawa pasiennya. Dan Hussayn Fattahi adalah salah satu penulis yang mencoba mengingatkan dan melakukan terobosan itu dengan menelurkan karya tulis berjudul asli Sajin Qal’ah al-Aswar as-Sab’ah yang diterjemahkan oleh penerbit Zaman dengan judul Tawanan Benteng Lapis Tujuh.

   Dengan menggunakan metode penceritaan atau novel, Husayn Fattahi menyuguhkan perjalanan intelektual dan spiritual seorang tokoh dalam dunia kedokteran. Kalangan dokter tentu tahu dengan tokoh satu ini. Padanya terdapat kelebihan-kelebihan anugerah dari Tuhan. Guru-gurunyapun mengagumi akan kecerdasan yang melekat padanya. Ia hanya butuh waktu satu tahun untuk menimba ilmu pada guru yang satu lalu berpindah pada guru yang lain.

   Kecerdasannya yang luar biasa menghantarkan perjalanan hidupnya menuju puncak tertinggi dalam dunia keilmuan. Hingga beberapa gelar tersemat didadanya. Dari As-Syaikh ar-Rais, Hujjatul Haqq, Syaraf al-Malik, Mashdar Tasis, ad-Dustur, Aristhu al-Islam, hingga Faylasuf ad-Dahr. Dialah dokter-filsuf muslim, Ibnu Ali Sina atau akrab di kenal dengan nama Ibnu Sina. Di Eropa ia di kenal dengan nama Avicenna. Ia kelahiran Bukhara, Iran.

  Abdullah, ayahnya adalah sosok figure yang sangat peduli dengan pendidikannya. Berusaha mencari guru-guru terbaik untuknya. Syekh Nahawi, salah seorang gurunya yang ahli dalam ilmu al-Qur’an mengajari Ibnu Sina hingga hafal akan isi al-Qur’an saat usianya mencapai sepuluh tahun. Selanjutnya pada Syekh Massah, Ibnu Sina belajar ilmu matematika, handasah dan aljabar.

   Hanya dalam hitungan bulan saja, seluruh ilmu yang ada pada Syekh Massah dikuras habis oleh Ibnu Sina. Merasa apa yang ada pada dirinya telah diambil oleh Ibnu Sina, Syekh Massah mengembalikan Ibnu Sina pada Abdullah, ayahnya.

   Tidak mau berlama-lama, Abdullah kembali lagi mencarikan seorang guru buat Ibnu Sina. Diketemukanlah seorang guru yang ahli dalam ilmu manthiq (logika), filsafat dan hikmah. Guru itu adalah Syekh Abu Abdillah an-Natili, salah seorang filsuf dan ilmuwan andal pada masa itu. Hanya beberapa hari saja Ibnu Sina belajar padanya., Syekh Abu Abdillah an-Natili mengikuti jejak para guru Ibnu Sina yang lain. Menyerahkan Ibnu Sina kembali pada orang tuanya.

   Sattarah, Ibu Ibnu Sina adalah sorang wanita yang salehah.  Selalu menunggu kedatangan Abdullah, suaminya, di depan pintu rumahnya. Meraih dan mencium tangan suaminya bila telah sampai ke dalam rumah. Ia selalu berharap para keluarganya untuk bertandang kerumahnya. Hingga pada suatu waktu, Sattarah jatuh sakit. Sudah tak terhitung dokter yang dipanggil oleh Abdullah untuk mengobati sakit istrinya. Namun penyakitnya tak kunjung jua bisa disembuhkan.

   Tak tega dengan sakit yang terus menerus diderita oleh ibunya. Ibnu Sina muda memutuskan untuk mengobati sendiri ibundanya. Pertentangan di dapat Ibnu Sina dari ayahnya karena menganggap Ibnu Sina masih anak muda. Akan tetapi keteguhan hati dan tekad yang kuat untuk menyembuhkan sakit yang diderita ibunya membuat Abdullah, sang ayah, mengizinkan Ibnu Sina untuk turun tangan mengobati Sattarah, ibunya. Berkat obat-obatan yang diraciknya, ibunya sembuh total dari sakitnya. Berawal dari sanalah, profesi dokter digeluti oleh Ibnu Sina.

   Novel biografi setebal 295 halaman ini tidak hanya mendeskripsikan perjalanan hidup Ibnu Sina dalam dunia kedokteran. Tapi juga mengupas kesabaran, penderitaan dan penindasan yang dialaminya saat bersinggungan dengan dunia politik. Dunia politik sendiri sebagaimana yang dikatakannya adalah buah paling pahit yang diciptakan oleh Tuhan untuk manusia. (Hal 228)

    Awal mula terjunnya Ibnu Sina ke dalam dunia politik diawali saat menyembuhkan pemimpin Bukhara, Raja Nuh II yang mengalami kelumpuhan total. Imbalan untuknya hanyalah pemberian izin untuk masuk ke dalam perpustakaan Samaniyyin. Beberapa tahun sesudahnya perpustakaan Samaniyyin mengalami kebakaran sangat hebat. Tudingan tangan para pembesar kerajaanpun mengarah pada Ibnu Sina. Hingga akhirnya Ibnu Sina terusir dari Istana Raja Manshur, pengganti raja Nuh II.

   Masuknya Ibnu Sina ke dalam lingkaran kekuasaan tak lepas dari pengobatan yang dilakukannya sebagai dokter pribadi para pembesar negeri yang ia singgahi. Hingga akhirnya nasib buruk menimpanya. Penguasa Turki, Sultan Mahmud Ghaznawi menginginkan ia hidup-hidup. Ribuan pamflet di sebar di seluruh negeri. Penguasa Turki itu menjanjikan 5.000 keping emas bagi siapapun yang bisa menyerahkan Ibnu Sina padanya.

   Bertahun-tahun Ibnu Sina mencoba untuk lari dari kejaran Sultan Mahmud Ghaznawi. Mulai dari Bukhara, Gurghanj, Jurjan, Teheran, Hamadan hingga Isfahan. Di masa pelariannya itulah Ibnu Sina pernah di tahan di benteng Fardajan, benteng yang sangat masyhur di penjuru Hamadan. Selama masa pelariannya itu banyak pula karya-karya dalam bidang kedokteran telah berhasil ditelurkannya hingga bisa menggemparkan khazanah ilmu kedokteran. Diantaranya Al-Qanun fi al-Thibb, As-Syifaa, Al-Hikmah Al-Masyriqiyyah dan Al-Akhlaq.

   Ada satu pelajaran dari Ibnu Sina yang seharusnya bisa dipetik oleh kalangan dokter pelaku praktek aborsi. Yaitu kala Ibnu Sina melakukan operasi pembedahan pada Layla, istri dari raja ‘Ala ad-Dawlah yang mengalami kelahiran sungsang. Pilihan antara menyelamatkan sang ibu dan mengorbankan sang jabang bayi ibarat buah simalakama bagi Ibnu Sina. Namun pilihan tengah diambilnya dengan melakukan operasi pembedahan. Operasi itu sendiri ternyata berhasil dengan tertolongnya nyawa ibu dan putra mahkota raja ‘Ala Ad-Dawlah.

   Buku yang disunting oleh Damhuri Muhammad ini layak sekali dibaca oleh kalangan dokter khususnya, agamawan, mahasiswa, pencinta sejarah peradaban dan umat Islam pada umumnya. Agar memahami kekayaan khazanah klasik Islam yang begitu banyak serta belajar pada Ibnu Sina tentang begitu berharganya nyawa manusia.



Judul Buku   : Tawanan Benteng Lapis Tujuh

Penulis          : Husayn Fattahi

Penerjemah : Muhammad Zainal Arifin

Penyunting  : Damhuri Muhammad

Penerbit       : Penerbit Zaman

Cetakan       : Pertama, 2011

Tebal           : xiii 295 hal

ISBN            : 978-979-024-266-1



*Peresensi Mahasiswa Theologi & Filsafat IAIN Sunan Ampel, Aktif di Bengkel Menulis Bibliopolis Surabaya

Resensi ini dimuat di koran Radar Surabaya, Minggu 20 Februari 2011
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Mas Template
Copyright © 2011. SHOFA AS-SYADZILI - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website | Edited by Arick Evano
Proudly powered by Blogger