
Perjalanan revolusi di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sosok Sutan Syahrir. Lelaki kelahiran Padang Panjang, 5 Maret 1909 ini perannya dalam menentukan arah laju revolusi Indonesia tidak bisa di anggap kecil. Berawal dari pertemuannya dengan Dr. Tjipto Mangunkusumo, rasa nasionalisme yang berada di dalam dada menggelegak menjulang tinggi ke cakrawala pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Buku Sjahrir, Peran Besar Bung Kecil menjelaskan pada kita pentingnya diplomasi sebagai senjata untuk mempertahankan kemerdekaan yang di raih saat itu. Pidatonya di hadapan beberapa pemimpin negara-negara dunia dalam sidang Dewan Perserikatan Bangsa Bangsa, 14 Agustus 1947 di Lake Success, New York, Amerika Serikat mampu menggetarkan nyali Belanda yang berusaha untuk kembali mencengkeram kebebasan yang telah di raih Bangsa Indonesia.
Paham akan pentingnya pengakuan negara-negara lain sebagai syarat berdirinya sebuah negara, Sjahrir berbeda jalan dengan dengan Bapak Revolusi yang lain. Kepada Panglima Besar Jenderal Soedirman, Sjahrir menudingnya sebagai antek Jepang disebabkan karena Pasukan Pembela Tanah Air (PETA) adalah bentukan Jepang. Berlaku sebaliknya, Sjahrir dianggap mengkhianati perjuangan oleh Tan Malaka yang mempunyai karakter konfrontasi radikal dengan Belanda. Tan Malaka dan Jenderal Soedirman merasa kecewa dengan politik diplomasi Sjahrir dalam konferensi Linggarjati yang menyetujui pengakuan kedaulatan hanya pada Pulau Jawa, Sumatera dan Madura.
Dalam sebuah karya tulisnya, Perjuangan Kita yang menimbulkan kontroversi di kalangan para pejuang republik, Sjahrir memaparkan bagaimana seharusnya Republik Indonesia ditegakkan. Ada dua hal yang berbeda antara Sjahrir dan para Founding Fathers dalam menegakkan kedaulatan Republik Indonesia. Pertama, menurut Sjahrir, kekuatan bisa terbentuk bila itu di mulai lewat revolusi yang disebutnya “revolusi kerakyatan”. Revolusi Kerakyatan adalah revolusi yang harus dikomandoi oleh kaum demokrat, bukan kaum nasionalis yang menghamba pada fasis.
Kedua, kemerdekaan tetap harus diraih tapi dengan beberapa tahapan, sistematis dan elegan bukan dengan bentrok fisik hingga mengakibatkan jatuhnya korban jiwa.(hlm 140).
Meskipun Belanda melakukan embargo ekonomi terhadap Indonesia. Karena dua pola pendekatan inilah pada akhirnya negara-negara di belahan dunia lainnya menoleh untuk melihat perjuangan rakyat Indonesia. India yang saat itu mengalami gagal panen menerima bantuan tangan Sjahrir lewat diplomasi barter beras dengan tekstil India. Ke Amerika Serikat dan Inggris, Indonesia mengekspor karet dan Kopra. Dengan demikian terbongkarlah embargo ekonomi Belanda secara perlahan-lahan.
Perjuangan diplomasi Sjahrir dalam kancah internasional sayangnya tidak berimbas di dalam negeri. Rakyat ternyata tidak menjatuhkan pilihannya pada partai bentukan Sjahrir, Partai Sosialis Indonesia saat pemilihan umum 1955. Kekalahan ini mengakibatkan peran Sjahrir selangkah demi selangkah mulai memudar bagai matahari di senja hari. Keterlibatan beberapa pentolan PSI dalam pemberontakan PRRI/PERMESTA pada akhirnya berakibat ditangkapnya sejumlah top leader partai ini oleh Soekarno. Puncaknya adalah pembubaran Partai Sosialis Indonesia melalui Kepres Nomor 200 Tanggal 15 Agustus 1960.
Menjadi tahanan politik Soekarno, Sjahrir menjadi pesakitan. Dua kali terserang stroke serta komplikasi penyakit yang dideritanya, Sjahrir dibawa berobat ke Zurich, Swiss pada tanggal 21 Juli 1965. Hingga mengehembuskan nafas terakhirnya pada 9 April 1966.
Ada sisi menarik lain dari kehidupan Sjahrir yang diungkap oleh buku ini yaitu roman cinta segitiga antara Sjahrir, Salomon Tas –sahabat dekat Sjahrir, dan Maria, Istri dari Tas. Meskipun pada akhirnya jalinan cinta antara Sjahrir dan Maria terpisahkan karena tidak disetujui oleh ulama’ setempat. Selain itu, Sjahrir sangat tidak menyukai kekerasan dan fasisme. Dunia politik yang kejam diterjemahkan oleh Sjahrir lewat permainan kata, kalimat dan bahasa diplomasi yang memikat hati lawan politiknya. Namun, meskipun para penulis mempraktekkan jurnalisme investigasi, merekonstruksi sejarah –sebagaimana dikatakan oleh Luis Cottschalk- secara utuh adalah sebuah kemustahilan, sebab ia adalah bersifat lampau. Yang ada adalah mengumpulkan serpihan sejarah yang berserak.
Seri buku Tempo tentang Bapak Bangsa Sjahrir ini, sangat layak di baca oleh berbagai kalangan. Baik itu politisi, aktivis pergerakan mahasiswa, sejarawan serta seluruh anak bangsa yang peduli akan akar sejarah terbentuknya Republik ini. Agar nantinya segala hal yang baik dalam sejarah hidup Sjahrir bisa kita aplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena anak bangsa yang baik adalah mereka yang tak pernah melupakan jasa para pendiri bangsanya. Jika tidak demikian adanya, maka identitas sebagai anak bangsa telah tercerabut dari akar sejarahnya.
Judul : Sjahrir, Peran Besar Bung Kecil
Penyunting : Arif Zulkifli, Dkk.
Penerbit : KPG-Tempo Jakarta
Cetakan : Pertama, 2010
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !