WAJAH INDONESIA PASCA WAFATNYA BIDUAN DEMOKRASI

Selasa, 19 Januari 2010

Oleh : Muhammad Shofa*

         “ Matahari besok akan terbit mengembangkan senyummu, Lalu dilanjutkan oleh bibir bayi-bayi yang baru lahir, merekalah nanti yang akan bangkit, membetulkan arah sejarah” ( D.Zawawi Imron )

         Itulah sepenggal bait puisi karya dari penyair yang terkenal dengan julukan Sang Celurit Emas, D.Zawawi Imron yang dipersembahkan buat salah satu tokoh bangsa ini. Dimana saat menjelang fajar 2009 menyingsing keperaduannya, Republik ini kembali kehilangan salah satu putra terbaiknya, KH.Abdurrahman Wahid, Cucu dari pendiri organisasi terbesar Nahdlatul Ulama Hadratussyaikh KH.Hasyim Asyarie. Beliau dinyatakan telah menghembuskan nafasnya yang terakhir di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada Hari Rabu (30/12) Pukul 18.45 . Kepergiannya diiringi tangisan dan doa jutaan rakyat di negeri ini. Lautan massa terus mengalir sampai saat ini di lokasi pemakaman Pondok Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur.
        Hal ini menunjukkan ketokohan Gus Dur yang hampir menyelimuti berbagai kalangan. Dari para tokoh nasional, agamawan, selebritis hingga kaum waria sekalipun. Alunan melodi demokrasi yang beliau dendangkan sudah melampaui sekat sekat etnis, agama, dan golongan. Maka tidaklah heran bila akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat memberikan kata sambutan pada upacara pemakamannya menyebut Gus Dur adalah Bapak Pluralisme dan Multikulturalisme.
        Lain lagi dengan julukan yang diberikan oleh Abdul Wahid yang menyebut Gus Dur sebagai Ayatullah Demokrasi (Jawa Pos,1/1/2010). Dan yang lebih unik lagi, oleh Jaya Suprana, Gus Dur dianggap layak masuk MURI sebagai Tokoh yang sering dikelirutafsirkan. Beragam tokoh memberikan penilaian yang berbeda terhadap sosok controversial yang satu ini. Hal ini mengingatkan penulis pada pendapat Fachry Ali yang menyebut Gus Dur sebagai sosok yang Beyond the Symbol. Akh ternyata Gus Dur tidak hanya membuat orang bingung di waktu hidupnya saja setelah wafatpun orang-orang sibuk memberikan penilaian terhadap pemikiran dan gerakannya. Tapi cukupkah dengan memberi julukan dan gelar, lalu kita tidak dapat mengambil sesuatu yang sangat berharga yang pernah Gus Dur ajarkan pada bangsa ini. Tentu tidak bukan?

Nasib Demokrasi
         Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana nasib demokrasi nantinya pasca wafatnya Gus Dur?. Wajar saja jika pertanyaan ini sampai muncul ke permukaan. Mengingat akhir-akhir ini, penguasa negara ini sepertinya sudah mulai menampakkan wajah sangarnya. Masih segar ingatan kita saat Prita yang hanya menyampaikan keluh kesahnya tentang pelayanan Rumah Sakit OMNI Internasional sampai diadukan ke meja hijau meskipun pada akhirnya pengadilan menyatakan Prita tidak bersalah. Belum lagi kasus pelarangan beberapa karya tulis yang dilarang beredar oleh pihak kejaksaan dengan alasan yang tidak jelas. Kekuatiran akan munculnya politik eksklusif monolitik, kekerasan pada minoritas serta kebebasan beribadah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing akan mendapat tantangan dan hambatan dari orang-orang yang tidak setuju akan ide-ide yang pernah dilantunkan Gus Dur dengan lantang semasa masih hidupnya.
      Tanda tanda ini merupakan suatu indikasi awal bahwa demokrasi natinya akan mengalami keterpasungan kembali di negeri ini. Hak untuk menyampaikan pendapat baik melalui lisan atau tulisan yang di jamin oleh undang-undang sudah tidak diindahkan lagi oleh penguasa saat ini. Keadilan dalam proses penegakan hukum yang tebang pilih juga makin menambahkan wajah kusam dan carut marutnya pengelolaan Negara. Itulah yang menurut pendapat penulis merupakan potret buram bangsa ini ke depan.
     Lalu akankah kita selaku penerus dari perjuangan dan pemikiran Gus Dur akan diam saja menyaksikan hal itu. Sekarang bergantung pada para pengikutnya itulah kalimat yang dikeluarkan oleh KH.Mustafa Bisri seorang karib Gus Dur sewaktu belajar di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir.
     Warisan alat-alat musik demokrasi yang dulu pernah dilantunkan oleh Gus Dur semasa hidupnya seperti pluralisme, persamaan hak, serta kebebasan beragama adalah instrument musik yang harus tetap kita dendangkan dengan rancak agar nantinya menghasilkan alunan irama dan simponi yang indah di dengar disaksikan oleh seluruh rakyat yang ujung-ujungnya adalah menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Bhineka Tunggal Ika.
      Karena hanya dengan menjadi anak ideologis dari Gus Durlah kita bisa mengabadikan ajaran-ajarannya yang mengajarkan kita untuk menghormati dan memanusiakan manusia, toleran terhadap segala perbedaan baik ide ataupun gerakan senyampang itu tidak merugikan pihak lain serta berani berkata benar pada saat melihat ketimpangan ketidakadilan di negeri ini.
    Terakhir, penulis sebagai salah seorang anak bangsa yang sedang resah melihat arah bangsa ini kedepan pasca wafatnya Sang Biduan Demokrasi hanya bisa mengucapkan Selamat jalan Wahai Guru kami, ajaranmu tentang nada-nada demokrasi akan selalu kami lantunkan dengan irama yang menghentak. Semoga bersemayam dengan damai disisi-Nya. Amien.



Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Mas Template
Copyright © 2011. SHOFA AS-SYADZILI - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website | Edited by Arick Evano
Proudly powered by Blogger